Dalam perjalanan menuju apartemennya, Zoe berusaha menenangkan pikiran dan memfokuskan diri pada tugas-tugasnya di rumah sakit.
Namun, bayangan Maximus terus menghantuinya—sentuhan tangannya, tatapan mata penuh gairah, dan senyum misterius yang selalu membuatnya tak kuasa menolak.
Di satu sisi, dia merasa perlu menjaga batasan, mengingat siapa Maximus sebenarnya dan awal kesepakatan mereka.
Namun, di sisi lain, Zoe sadar bahwa hatinya telah tertambat pada Maximus.
*
*
Begitu sampai di apartemen, Zoe menyiapkan diri dengan cepat. Setelah berpakaian dan menyiapkan peralatan medis yang akan dibawanya, dia segera menuju rumah sakit dengan terburu-buru karena sedikit telat.
Dalam benaknya, Zoe berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap fokus pada pekerjaannya, meski dia tahu tantangan terbesar adalah mengabaikan ingatan akan pagi panas yang baru saja dia lalui bersama Maximus.
*
*
Sepanjang hari itu, Zoe bekerja keras, mengatasi pasien demi pasien, memberi perawatan dengan penuh dedikasi.
Setiap kali pikiran tentang Maximus muncul, dia segera mengalihkannya, mencoba mempertahankan profesionalismenya.
Namun, hati kecilnya tahu bahwa Maximus selalu hadir dalam benaknya, seperti sebuah bayangan yang tak pernah hilang.
Di malam hari, saat Zoe akhirnya bisa mengambil waktu istirahat di ruang dokter, dia menutup matanya sejenak, istirahat dari rasa penat seharian ini.
Namun, tiba-tiba ingatannya kembali pada adegan percintaan liarnya dengan Maximus.
Zoe menggigit bibirnya, tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di wajahnya.
Meski dia tahu bahwa hubungannya dengan Maximus penuh risiko dan tantangan, ada bagian dalam dirinya yang tak bisa menyangkal kebahagiaan aneh yang dirasakannya saat bersama pria itu.
Meski dunia mereka berbeda—dia seorang dokter, Maximus seorang mafia—kehadirannya mulai membuat hidup Zoe lebih berwarna dan lebih hidup.
*
*
Ketika malam tiba dan jam kerja Zoe berakhir, dia merapikan dirinya, menyisir rambut, dan mengenakan sedikit parfum.
Setelah itu, Zoe keluar dari ruangan ganti, dan berjalan pelan menyusuri koridor rumah sakit yang sunyi, bersiap pulang setelah kesibukan hari ini.
Hari itu benar-benar melelahkan, dan bayangan akan kembali ke rumah tua itu dan beristirahat di pelukan Maximus memberi Zoe sedikit energi tambahan.
Namun, begitu dia mencapai ruang depan rumah sakit, ponselnya bergetar dengan panggilan darurat yang memintanya segera pergi ke ruang UGD.
Dia berhenti sejenak, menghela napas panjang. Rasa lelah di tubuhnya memprotes, tapi kewajibannya sebagai dokter tidak memberinya pilihan lain.
Begitu tiba di UGD, Zoe melihat Alerd berdiri di dekat meja perawat, tampak tenang tapi dengan raut wajah dingin seperti biasanya.
Alerd, salah satu dokter senior di rumah sakit itu, selalu tampak memiliki semacam ketidaksukaan yang khusus terhadap Zoe.
Ketegangan di antara mereka sudah berlangsung sejak beberapa bulan lalu, sejak Alerd mengutarakan perasaannya pada Zoe, dan Zoe dengan sopan menolaknya.
Sejak saat itu, Alerd tampaknya selalu mencari setiap kesempatan untuk membuat hari-hari Zoe di rumah sakit lebih berat dari yang seharusnya.
Zoe menghampirinya dengan sikap profesional, berusaha menekan perasaan tidak nyaman yang selalu muncul ketika berhadapan dengan Alerd. "Dr. Alerd, aku mendapat panggilan darurat untuk kembali ke UGD," katanya sambil mempertahankan nada tenang.
Alerd menatap Zoe tanpa senyum, lalu mengangguk perlahan. "Ya, Zoe. Ada dokter yang tidak masuk hari ini, dan kita kekurangan tenaga. Aku pikir kau bisa menggantikannya sementara." Nada suaranya terdengar datar, namun Zoe bisa merasakan nada puas yang terselip di balik perkataannya.
Zoe menahan napas, mencoba menjaga ketenangannya meskipun merasa sangat terganggu.
Dalam hati, dia tahu Alerd bisa saja menugaskan dokter lain, tapi pria itu tampaknya sengaja memilihnya—mungkin untuk “membalas” karena penolakannya dulu.
"Apakah tak ada dokter lain?” tanya Zoe, berharap ada dokter lain.
“Tidak ada,” jawab Alerd singkah.
“Baiklah, aku akan bersiap di ruang UGD," jawab Zoe akhirnya, menelan rasa kesalnya.
Pergi ke UGD berarti Zoe harus melanjutkan pekerjaannya sampai pagi lagi.
Itu berarti harapannya untuk pulang dan beristirahat harus ditunda, dan lebih dari itu, dia juga tidak akan bisa bertemu Maximus malam ini.
Semuanya membuat perasaannya kacau, tapi dia berusaha menyingkirkan itu semua demi fokus pada para pasien yang membutuhkannya.
*
*
Malam semakin larut, dan Zoe terus bekerja tanpa henti karena malam itu UGD cukup ramai akibat sebuah kecelakaan beruntun.
Tubuhnya terasa semakin berat seiring jam berlalu, tapi tidak ada pilihan untuk berhenti.
Ia menangani berbagai pasien yang masuk dalam kondisi kritis, yang terlibat dalam kecelakaan itu.
Semua kekhawatiran dan rasa lelahnya terkikis sejenak saat berada di tengah pasien-pasiennya.
Di saat-saat seperti itu, dia sadar bahwa menjadi dokter adalah panggilan yang datang dari dalam dirinya sendiri, bukan hanya sekadar pekerjaan.
Namun, pikiran tentang Maximus yang menunggunya di rumah tua itu selalu muncul di sela-sela kesibukan itu, membuatnya semakin merindukan istirahat yang cukup dan kehangatan pelukannya.
*
*
Ketika akhirnya pagi menjelang, Zoe merasa tubuhnya sudah mencapai batas.
Ia mengambil keputusan untuk mengajukan cuti hari itu agar bisa beristirahat. Tapi, ketika dia menyampaikan permintaannya kepada Alerd, pria itu hanya menatapnya dengan senyum tipis yang penuh arti.
"Cuti?" tanya Alerd dengan nada dingin. "Tak ada yang bisa menggantikan posisimu hari ini, Dr. Zoe. Aku tidak bisa mengizinkan cuti untuk hal sepele seperti ini. Tanggung jawabmu masih banyak di sini.”
Zoe menatap Alerd tak percaya. Setelah 24 jam bekerja tanpa istirahat, dia sangat berharap untuk mendapatkan izin cuti, namun pria itu justru menolak tanpa pertimbangan. "Tapi, Dr. Alerd, aku sudah bekerja penuh sejak kemarin. Aku pikir cuti sehari adalah hal yang wajar."
Alerd hanya mendengus. "Ini bukan masalah pribadi, Zoe. Ini adalah tentang tanggung jawab. Kau seorang dokter, dan pasien membutuhkanmu. Besok malam, pastikan kau hadir. Setidaknya aku sudah memberimu keringanan dengan masuk malam hari, bukan?"
Zoe merasa ada amarah yang merambat naik, tapi dia menahannya. Dengan tenang, dia mengangguk tanpa berkata-kata lagi.
Alerd bukan hanya mempersulitnya secara profesional, tapi seolah berusaha mengambil kendali atas hidupnya.
Kecewa dan lelah, Zoe akhirnya memutuskan untuk meninggalkan UGD dan kembali ke ruang istirahat dokter, berharap bisa beristirahat sebelum pulang ke rumah karena matanya sudah begitu berat dan dia butuh tidur agar tak membahayakan di jalan.
Sesampainya di ruang istirahat, Zoe merebahkan tubuhnya di sofa dan memejamkan mata.
Di kepalanya, wajah Maximus muncul, memberinya rasa tenang yang tak dapat dia temukan di tempat lain.
Dia sangat merindukan pria itu—dan setelah dia tidur sebentar, dia akan langsung pulang ke rumah itu untuk menemui Maximus.
*
*
Satu jam berlalu dan Zoe akhirnya membuka matanya kembali. Dia merasa sedikit segar meskiun hanya tidur satu jam saja.
Lalu Zoe bergegas pulang karena tak sabar untuk menemui pria yang telah mengisi hari-harinya belakangan ini.
*
*
Zoe menghirup napas dalam-dalam saat dia melangkah masuk ke rumah tua itu.
Pintu berderit menutup di belakangnya, meninggalkan keheningan yang mencekam.
Zoe memandang ke sekeliling, mencari tanda-tanda Maximus. Biasanya, dia berada di ruang bawah tanah, tempat yang gelap dan tersembunyi—satu-satunya ruangan yang cukup aman bagi Maximus.
Namun, saat Zoe turun dan menemukan ruangan itu kosong, hatinya berdebar-debar penuh kekhawatiran.
“MAX?” panggilnya, namun tak ada sahutan.
Dia bergegas naik kembali, memeriksa setiap ruangan di rumah besar itu.
Dengan napas tersengal, Zoe mencoba tetap tenang, meskipun kekhawatiran menyusup di pikirannya.
Maximus bisa pergi kapan saja tanpa peringatan. Meskipun dia tahu bahwa pria itu memang bisa saja menghilang, tetap saja, bayangan bahwa dia mungkin benar-benar telah pergi kali ini membuat Zoe cemas.
Saat akhirnya langkahnya sampai di tangga menuju rooftop, Zoe berhenti sejenak.
Dia merasakan kehangatan matahari menyentuh wajahnya saat dia menaiki anak tangga satu per satu.
Begitu tiba di puncak, Zoe mendapati Maximus terbaring di atas selimut tebal, tubuhnya dikelilingi sinar matahari yang hangat.
Matanya terpejam, kedua tangan bersandar di belakang kepala, wajahnya terlihat tenang dan damai.
Untuk sesaat, Zoe hanya berdiri diam, mengamati pria yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Perasaan lega mengalir di tubuh Zoe. Dia tersenyum lembut, melangkah mendekat, dan berlutut di samping Maximus.
Tanpa ragu, Zoe membungkuk, melingkarkan tangannya di sekitar tubuhnya yang hangat.
Maximus membuka matanya perlahan, dan begitu melihat Zoe, seulas senyum muncul di wajahnya.
"Hei, kau sudah datang?" tanya Maximus dengan suara rendah, serak oleh kehangatan matahari.
Zoe mengangguk, tak bisa menahan senyum lega yang merekah di wajahnya. "Ada tugas mendadak semalam dan aku harus berjaga di UGD menggantikan dokter lain. Maaf."
Maximus meraih wajah Zoe, jari-jarinya yang dingin menyentuh kulitnya dengan lembut. "Tak apa, aku baik-baik saja sendirian," bisiknya.
Dia menarik Zoe lebih dekat, hingga wajah mereka hanya terpisahkan oleh jarak yang tipis.
Zoe merasakan tubuhnya mencair dalam kehangatan pelukan Maximus, dan saat bibir mereka bertemu, semuanya terasa tepat.
Ciuman mereka lambat dan penuh perasaan, seperti mengukir waktu di tengah kehangatan matahari.