Pagi itu, Zoe terbangun mendadak ketika suara alarm di ponselnya berbunyi keras, mengingatkannya bahwa waktunya untuk segera kembali ke apartemennya dan bersiap bekerja di rumah sakit.
Dalam keheningan kamar yang hanya diterangi oleh cahaya lembut dari lampu minyak, dia menyadari posisinya—dalam pelukan erat Maximus yang masih terlelap.
Nafasnya yang teratur dan tenang terasa hangat di lehernya.
Dengan sangat pelan, Zoe mulai melepaskan diri dari pelukan di pinggangnya, berharap tidak membangunkan pria di sampingnya.
Namun, Maximus, meskipun tampak tertidur pulas, menyadari pergerakan Zoe.
Dalam hitungan detik, tangan kekarnya menangkap kembali pinggang ramping Zoe, menahannya.
"Mau pergi ke mana, Baby?" suaranya terdengar serak namun terdengar menggoda di telinga Zoe.
Mata abu-abu terang Maximus menatap Zoe dengan tatapan yang memikat, penuh rasa ingin memiliki.
Zoe tersenyum tipis, sedikit ragu untuk menolak. "Aku harus ke rumah sakit, Max. Tugas panggilan sudah menanti," ucapnya, meski ada nada enggan di suaranya.
Sebagai seorang dokter, Zoe memiliki tanggung jawab besar untuk hadir tepat waktu, terutama di hari-hari sibuk seperti ini.
Maximus tampak mengerutkan keningnya, masih enggan untuk melepaskannya. "Hari ini saja … izinkan aku memiliki waktumu sedikit lebih lama." Ia merapatkan tubuhnya ke arah Zoe, mendekatkan wajah mereka.
Zoe bisa merasakan godaan itu. Dalam jarak yang begitu dekat, tatapan mata Maximus terasa membakar, menghadirkan gelombang panas yang sulit dia abaikan.
Pria itu benar-benar tahu caranya menarik Zoe kembali dalam jaring pesonanya, meskipun mereka baru saja menghabiskan malam yang panas bersama.
"Max … jangan menggodaku. Aku harus bekerja." Zoe berbisik dengan nada lembut, berusaha mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap rasional. "Kau tahu aku tak bisa absen begitu saja."
Namun, Maximus menarik Zoe lebih erat, membisikkan kata-kata yang menyihirnya, "Satu kali lagi, sebelum kau pergi, Dokter Zoe. Aku janji tak akan menghalangimu pergi setelah ini."
Senyum nakal tersungging di bibirnya, seolah dia tahu betul bahwa Zoe tak akan bisa menolak.
Zoe menatap wajah pria di hadapannya. Maximus, dengan segala karisma dan daya tariknya, benar-benar sosok yang sulit ditolak.
Ia bukan hanya pria tampan dengan mata tajam dan tubuh atletis. Maximus adalah sosok yang penuh bahaya, ketertarikan, dan misteri—seorang mafia yang memiliki kekuasaan besar.
Namun, di saat-saat seperti ini, Zoe merasa Maximus adalah pria yang hanya ingin bersamanya, dengan segala keintiman dan kehangatan.
Tanpa sadar, Zoe menyerah pada keinginannya sendiri. Ia mengangguk pelan, dan dalam hitungan detik, Maximus mencium bibirnya dengan penuh gairah.
Ciuman itu terasa begitu dalam, penuh dengan intensitas yang seakan ingin menyatakan bahwa dia tak akan pernah ingin membiarkan Zoe pergi.
Zoe membalas dengan penuh gairah juga, membiarkan dirinya tenggelam dalam arus yang diciptakan Maximus.
Di sana, dalam dekapan pria yang telah membuatnya jatuh ke dalam hubungan yang penuh resiko ini, Zoe merasa hidup, seolah waktu berhenti hanya untuk mereka berdua.
Keheningan pagi yang semula menyelimuti kamar mereka berubah menjadi penuh hasrat.
Maximus menyusuri tubuh halus dan hangat Zoe yanh telah membuatnya kecanduan untuk selalu menyentuhnya.
Ciumannya tak pernah lepas dari bibir dan seluruh tubuh Zoe yang begitu memikat.
“Aku tak bisa membayangkan jika tak menyentuhmu dalam sehari saja,” bisik Maximus sembari menyesapi leher jenjang Zoe.
Zoe tersenyum dan melenguh hingga lenguhan itu membuat Maximus semakin ganas menghujam tubuh indah Zoe.
Mereka bergerak seirama dan ruangan temaram itu tak lagi dingin karena dua tubuh kini menyatu dengan begitu intens.
Suara lenguhan mereka bersahutan dan gerakan Maximus tak lagi lembut seperti semalam.
Dia semakin liar dan tak bisa menahan hasrat yang begitu membuncah di dalam dirinya.
Zoe telah mengambil alih dunianya dan itu membuat Maximus sadar bahwa tampaknya hubungan ini tak sesederhana kesepakatan awal mereka.
Zoe melingkarkan tangannya dia leher Maximus ketika pria itu memagut bibirnya sambil bergerak liar di atasnya.
Kegiatan panas itu ternyata tak berlangsung singkat seperti yang dikatakan Maximus tadi, namun tampaknya Zoe benar-benar menikmati percintaan liar mereka di pagi ini dan mengesampingkan pekerjaannya di rumah sakit.
Maximus tak ingin melepas Zoe dan masih ingin bercinta lama dengannya, meski dia tahu seharusnya tak menghalanginya pergi bekerja.
Zoe membiarkan dirinya terlarut dalam kehangatan pria penuh pesona itu.
Tubuh mereka saling bertautan dan mencari sebuah kenikmatan yang tampaknya tak ada habisnya mereka rasakan.
Maximus memegang pinggang Zoe dan memutar tubuh mereka hingga posisi Zoe berada di atas.
Zoe melihat ke arah luka di perut six pack Maximus yang masih tertutup perban. “Apakah kau tak sakit jika aku bergerak di atas?” tanya Zoe lirih.
“Tidak, bergeraklah. Sekarang giliranmu.” Maximus tersenyum miring dan memegang erat pinggul Zoe yang indah seperti gitar spanyol.
Zoe mulai bergerak, memimpin permainan. Maximus pun sedikit mengarahkannya agar permainan mereka semakin menggebu dan penuh kenikmatan.
“Aarrrhh … Maaxx …” tubuh Zoe bergetar ketika dirinya hampir merasakan puncak kepuasan. Tangannya mencengkeram bahu kekas Maximus yang penuh tato.
Hingga akhirnya mereka pun merasakan kepuasan yang sama dan Maximus memeluk erat tubuh sintal Zoe, seolah tak rela jika Zoe meninggalkannya meskipun hanya sebentar.
Napas mereka masih terdengar memburu di akhir permainan, dan kemudian Zoe menepuk bahu Maximus. “Max, aku harus pergi,” bisiknya sembari mengecup leher Maximus.
“Hmm … aku enggan melepasmu.” Maximus tak melepaskan pelukannya.
“‘Max, please.” Suara itu begitu lembut hingga akhirnya pria itu melepaskan pelukannya di tubuh Zoe.
Lalu Maximus menciumi wajah cantik Zoe yang begitu alami tanpa riasan apa pun. “Kau wanita tercantik yang pernah kutemui.”
“Jangan menggombal.” Zoe tertawa lirih.
“Kau sempurna di mataku.” Maximus mengecup mata Zoe dan juga bibirnya.
*
*
Beberapa waktu kemudian, saat Zoe akhirnya bersiap untuk benar-benar pergi, dia menghela nafas panjang, merasa bersalah namun juga puas.
Maximus, yang kini bersandar di atas bantal dengan senyum puas, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak.
Ia tampak menikmati setiap detik yang telah mereka habiskan bersama sejak semalam.
"Sampai nanti," bisik Maximus, memberikan ciuman singkat di pipi Zoe sebelum dia bangkit dari ranjang.
Zoe tersenyum tipis, merasa jantungnya masih berdegup kencang hanya karena ciuman ringan itu.
Zoe berpakaian dengan cepat, mengenakan kemeja dan celana panjangnya, menata rambutnya dengan rapi.
Meski tubuhnya terasa sedikit lelah setelah malam dan pagi yang begitu intens, dia tahu bahwa di rumah sakit nanti, dia harus tetap profesional dan penuh dedikasi.
Saat melangkah keluar kamar, Zoe menoleh sekali lagi ke arah Maximus yang masih terbaring di kasur angin.
Pria itu menyeringai padanya dengan pandangan penuh arti, seolah berkata bahwa dia akan selalu menunggu Zoe kembali, tak peduli berapa lama atau seberapa jauh Zoe pergi.
“Bye, see you soon,” ucap Zoe.
“Hmm … hati-hati di jalan,” sahut Maximus.