Part 9 : Keluarga Tamim

1136 Kata
(PoV Eza) *** Aku adalah Areza Pradipta Tamim. Putra tunggal dari Hendrawan Tamim dan Mutiara Tamim. Ayahku bekerja sebagai salah satu atasan di sebuah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang konstruksi serta konsultan. Sementara bundaku mengelola salon kecantikan dan juga butik. Sebenarnya Ayah sangat berharap aku menjadi seorang insinyur, namun aku lebih tertarik mengambil fakultas kedokteran. Entah mengapa aku tidak tertarik untuk menjadi seperti Ayah. Aku tidak menyadari sejak kapan mulai menaruh perasaan pada putri tetanggaku, Rindang. Begitu aku kuliah di luar kota, aku selalu kepikiran dia, rasanya seperti rindu. Untuk itulah aku lebih mengutamakan pulang ke rumah jika mendapat kesempatan libur beberapa hari. Tidak seperti teman-teman kuliahku yang lain, yang sepertinya sangat betah dan menikmati hidup di kota orang. Aku belum berani mengungkapkan rasaku ini pada Rindang. Rencananya aku akan mulai menyatakan cinta ketika nanti dia sudah lulus SMA. Aku sangat harang berbincang dengannya, tetapi aku lumayan akrab dengan bapak Adam yang merupakan bapaknya Rindang. Aku dan Rindang sebenarnya sering bermain bersama sedari kecil. Namun menginjak usia remaja, Rindang menjadi lebih tertutup. Mungkin dia merasa canggung sebab kami berlawan jenis. "Pagi-pagi kok melamun aja ini jagoannya bunda," Aku tersenyum pada bunda yang melangkah ke tepi kolam renang tempatku duduk. "Siapa yang melamun sih bun?" "Hemmm...oke deh kalau gak mau ngaku juga gak apa, sarapan yuk bentar lagi Ayah turun, bunda juga mau siap-siap ke butik." "Siap bundaaaaaa...." Aku beranjak dari dudukku dan mengikuti bunda ke arah meja makan. "Pagi..." sapa Ayah yang baru turun dari lantai 2. "Pagi Ayah..." "Gimana kuliah kamu Eza? ada kendala?" tanya Ayahku. "Baik-baik saja Ayah." Sedikit tersungging senyum di wajah Ayahku, "Gimana udah dapat pacar belum disana?" Uhuuuukkkkk..... Aku seketika terbatuk mendengar pertanyaan Ayah. "Ayah apaan sih, pakai tanya pacar segala, Eza jadi tersedak nih, " protes bunda. "Ya wajar dong bund, Eza kan lelaki dewasa sekarang, barangkali aja diam-diam sudah punya pacar disana tapi gak mau dikenalin ke kita," Ayah membela diri. "Eza belum mikirin pacar, tugas kuliah aja menumpuk," aku beralasan. "Bagus...belajar aja yang rajin, gak usah dianggap itu pertanyaan Ayahmu, maklum dulu waktu masih muda Ayah pacarnya banyak soalnya," aku ber ohh ria mendengarkan perkataan Bunda sambil ngelirik jahil ke arah Ayah. "Tapi dengan begitu kan akhirnya Ayah bisa menemukan pendamping hidup secantik bundamu Eza," tutur Ayah. "Gombal..." kata Bunda sembari mencebik namun tersipu membuat aku dan Ayah tertawa. ----- Ayah dan Bunda berangkat kerja dengan menggunakan mobil masing-masing sebab arah menuju perusahan dan butik tidak sejalur. "Mas Eza..ini handphone nya dari tadi bunyi terus pas simbok lagi bersih-bersih kamarnya mas Eza lho, " Mbok Tun tergopoh menghampiri menyerahkan gawaiku. "Terimakasih mbok, " "Sama-sama mas..ya sudah simbok mau lanjut lagi beresin kamarnya mas Eza," aku mengangguki ucapan Mbok Tun. Aku coba check pada log panggilan ternyata nama Reva yang tertera telah melakukan panggilan berkali-kali ke nomorku. Tring....!! Satu notif pesan masuk dan segera aku baca. [ Lagi sibuk banget? Telfonku gak diangkat dari tadi ] [ Iya ] Balasku singkat, jujur aku memang sedikit risih dengan tingkah Reva yang selalu ingin mendekat denganku. Pernah di suatu malam, Reva menyatakan jika ia suka padaku dan ingin menjadi pacarku. Namun aku tolak secara halus dengan alasan masih ingin fokus pada pendidikan, mengingat kuliah kedokteran itu bukanlah perkara yang mudah. Waktu itu Reva mau mengerti dengan alasanku namun tetap saja memintaku untuk tidak keberatan jika dia ingin lebih dekat denganku. Banyak teman yang mengatakan aku menyia-nyiakan kesempatan karena tidak langsung mengajak Reva pacaran, cewek yang cukup populer di kampus meski terbilang masih junior sepertiku. Aku akui secara fisik Reva memang cewek yang menarik, cantik, pintar dan juga mudah bersosialisasi sehingga ia mudah di kenal sana sini. 2 jam kemudian Adi dan Rio datang, teman saat aku SMA yang memang kemarin aku telfon mereka untuk main ke rumah, menemaniku ngegame pada hari ini. "Hai bro...yuk masuk," sapaku begitu mereka berdua memarkirkan motornya. ------ "Gimana masih setia sama tetanggamu itu?" celetuk Rio tiba-tiba ketika kami masih ngegame. "Setiaa..?? Pacaran juga kagak...!!" sahut Adi yang dibarengin dengan tawa renyahnya. "Ya gitu dehh," aku mengedikkan bahuku. "Kenapa sih lu gak pacaran sama siapa tuh...itu lho teman kuliah lu yang di Bandung, cantik lho anaknya," ucap Adi lagi. "Cinta gak bisa dipaksakan kali sob," kata Rio. "Halah sok iye lu, kayak tau aja apa itu cinta..!" Adi mengejek Rio yang terkenal ciut nyali kalau persoalan cewek. Hari semakin siang dan kami bersiap untuk keluar rumah bertemu dengan kawan-kawan kami yang sedang berkumpul di sebuah caffe. Saat keluar dari gerbang rumah, aku melihat Rindang yang sudah pulang sekolah. Tetapi kali ini ia tidak sendiri, ia bersama ketiga temannya, salah satu diantara mereka adalah Ayu yang juga orang sini. Aku melajukan pelan sepeda motor yang aku bawa lalu menghampiri Rindang dan teman-temannya. "Baru pulang? ada acara apa kok tumben temannya ikut ke rumah?" aku melontarkan tanyaku. "Iya ini mau ngerjain tugas kelompok, " jawab Rindang. "Mas Eza mau pergi kemana?" giliran Ayu yang menanyaiku. "Mau ke caffe 'PAKAR' biasa ngumpul sama teman-teman mumpung lagi pulang." "Wahhh sayang sekali Rindang mau sibuj sama kami jadi gak bisa diajak mas Eza dehh, " Ayu nyengir kuda setelah mengatakan itu. Sementara aku menjadi canggung. Terlihat Rindang menyenggol lengan Ayu. "Ya sudah kami jalan dulu ya," Aku melemparkan senyum dan anggukan pada Rindang, Ayu dan juga kedua cowok teman sekolah Rindang. "Hati-hati mas Eza," seru Ayu. Ku tatap dari spion, mereka berempat mulai masuk ke halaman rumah Rindang. Apakah ini hanya perasaanku saja, sepertinya salah satu cowok teman Rindang ada yang kurang berkenan melihatku tadi. Sesampainya di caffe PAKAR aku, Adi dan Rio menuju tempat duduk yang letaknya di outdoor. Aku dan teman-teman dari dulu memang lebih suka nongkrong di tempat yang terbuka seperti ini. Aku memesan menu untukku, Adi serta Rio pada pelayan Caffe. Tak lupa aku bertanya pada teman-temanku yang sudah sampai terlebih dulu di caffe untuk menambah pesanan makanan mereka. "Rencana balik kapan ke Bandung lu Za?" tanya salah satu dari mereka. "Antara Minggu sore atau malam, tergantung mood aja gimana nanti," mereka mengangguk mengerti. "Gak capek ya hampir tiap minggu pulang?" "Enggak sih, biasa aja, ya gimana dong kan rindu kumpul gini sama kalian," aku asal beralasan. "Masa sihh...bukan karena rindu sama adik kelas kita nih? " satu per satu mereka menggodaku. Memang sudah menjadi rahasia umum diantara mereka kalau aku ini sudah lama mengincar Rindang. "Tunggu apa lagi sih bro, gas lah..sebelum diembat cowok lain nanti yang ada lo menyesal," aku tersenyum saja mendengar celetukan mereka. "Masih pakai putih abu guys, sabar nanti juga bakal aku ungkapin rasaku sama dia," "Bila perlu tayangin secara live Za," Adi berkelakar. "Lu kira kita ini artis apa yang apa-apa ditayangin live," ocehku yang membuat kami terbahak bersama. Karena malam ini adalah malam minggu, suasana caffe semakin ramai selepas maghrib. Diantara kami ada yang menyanyi diatas panggung. Aku memutuskan untuk pulang ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 22:00 WIB. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN