Part 8 : Senja dan Eza

1391 Kata
(Pov Rindang) *** "Non...?" Sapaan bibi membuyarkan lamunanku yang masih memegang spon pencuci piring. "Walah...mestinya gak usah dicuci segala non, biar bibi saja." "Ahhh gak apa kok bi..sekalian sama cuci tangan, " ucapku sembari tersenyum. "Ehh ada Arthur, dari mana?" aku mencoba menyapa adiknya Wildan yang sudah terlihat tampan seperti kakaknya. Aku menjadi flashback pertama kali melihat Wildan, wajahnya sangat mirip dengan Arthur yang kini sudah kelas 1 SMP. "Baru main dari tempatnya Reyhan," Arthur menjawab sambil menunduk. Setelah diberi minum, bibi memintanya untuk bersiap mandi sebab waktu sudah semakin sore. "Itu Non maksudnya dari rumah tante Sukma, adik dari mamanya den Wildan." Aku mengangguk mendengar penjelasan bibi. "Ya sudah bi..kayaknya sudah sore juga jadi aku mau bersiap untuk pulang," "Ohh iya non..hati-hati pulangnya, sering-sering main kesini, bibi senang rumah ini jadi ramai," "Insya allah, mari Bi...Assalamu'alaykum," "Wa'alaykum salam non Rindang..." Aku mengajak Ayu untuk bersiap pulang, untuk pematangan tugas kelompok kami menentukan akan kembali berkumpul di akhir pekan. Degggggg.... Aku terkejut saat Wildan berpesan aku untuk hati-hati sambil mengatakan aku ini gadis manis dan baik. Bagaimanapun itu termasuk kata pujian pertama kali padaku. Wildan sudah sering berkata jika aku ini baik. Namun sebutan manis ialah baru kali ini ia ucapkan. Dan itu berhasil membuat hatiku seperti dipenuhi kupu-kupu yang terbang kesana kemari. "Rindang...." "Heyy...Rindang...." Aku terperangah saat Ayu melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajahku. "Apaan sih?" protesku. "Yaelahhh...udah sampai kali non, melamun aja...ngelamunin siapa sih hayoooo..." tanya Ayu yang seketika memicingkan matanya. "Ohh udah sampai ya? baiklah kalau begitu terimakasih ya beib, kamu hati-hati, salam buat mamah kamu ya" Aku langsung turun dari sepeda motor Ayu. "Dadah...." ucapku sambil melangkah memasuki rumah. "Ehh bukannya jawab dulu malah langsung masuk ke dalan rumah aja," dengus Ayu yang langsung aku sambut dengan tertawa. Deru mesin sepeda motor Ayu mulai terdengar menjauh. Aku mengetuk pintu pelan, "Assalamu'alaykum ibu..bapak..Rindang pulang.." "Wa'alaykum salam," terlihat Ibu membuka daun pintu sambil menenteng pupuk untuk tanaman hias di halaman rumah kami. "Biar Rindang aja bu yang siram dan ngasih pupuk ke tanamannya, " tawarku sambil meraih pupuk dari tangan ibu. "Lho memangnya Rindang gak lelah kan barusan pulang ngerjain tugas kelompok? biar Ibu saja gak apa," "Enggak lelah dong bu, kan gak angkat-angkat barang tugas kelompoknya," aku meringis memperlihatkan gigiku yang berderet rapi pada Ibu. Akhirnya Ibu pun menyerah dan membolehkan aku mengambil alih mengurus tanaman. "Bapak sudah pulang bu?" "Bapakmu pulangnya nanti malam, hari ini ada jadwal lembur soalnya," Aku ber ohh ria dan mulai menuju ke tanaman-tanaman hias. Dengan perasaan yang indah aku rawat tanaman-tanaman bunga yang indah ini. Senja sore rasanya semakin menambah keindahan di taman hatiku saja. Sekali lagi aku tersenyum sendiri mengingat perkataan Wildan yang menyebutku gadis manis. Ahh mudah sekali bukan hati wanita itu luluh dengan ucapan dari seseorang yang ia cintai. "Pantas bunga-bunga tumbuh dengan cantik, yang merawat cantik sih orangnya," tiba-tiba terdengar suara Eza, anak laki-laki dari tetangga rumahku. Aku sedikit memaksa diriku untuk tersenyum dan mengangguk merespon sapaan Eza. "Ya sudah..silahkan dilanjut lagi siram-siramnya," Ucapnya lalu berlalu menuju rumahnya. Bukan aku merasa terlalu pede dengan menyangka jika Eza menaruh perasaan padaku. Setidaknya memang Ayu pernah menceritakan hal itu beberapa bulan lalu. Itu yang membuatku kurang nyaman ketika ia kerap kali melemparkan kata pujiannya padaku. Atau mencuri pandang ketika tengah melihatku di luar rumah, saat aku berangkat atau pulang sekolah. Usia Eza 2 tahun diatasku, kini ia tengah kuliah mengambil fakultas kedokteran di salah satu kampus terbaik yang berada di luar kota. Sesekali ia terlihat pulang, mungkin karena rindu suasana rumah, pikirku. Keluarganya memang tergolong cukup mampu. Ayahnya seorang pegawai tetap di sebuah perusahaan milik BUMN. Setelah kegiatan menyiram dan memupuk tanaman hias selesai. Aku mendudukkan bobotku di kursi teras rumah sebab aku masih ingin menikmati pemandangan senja yang begitu merona di sore hari ini. Aku memandang ke langit, menatap arah matahari yang perlahan terbenam, dan langit berpendar dengan rona merah, jingga, serta semburat keunguan. Sungguh perpaduan warna yang estetik dan memiliki keindahan tersendiri. Tring.... Aku raih gawaiku yang berbunyi, nampak satu notif pesan baru masuk dari aplikasi berwarna hijau. [ Kalau sempat tengoklah pemandangan senja sekarang juga, sangat indah seperti....] Aku mengernyit begitu membaca pesan Wildan tersebut. Kebetulan sekali, rupanya ia juga sedang menikmati senja. Aku putuskan untuk tidak membalas pesannya. "Rindang..." terdengar suara Ibu memanggil. "Iya bu, sebentar lagi Rindang masuk." Sekali lagi aku menatap langit, kemudian masuk untuk bersih-bersih diri. ----- Klek.... Pukul 20:00 WIB terdengar suara daun pintu terbuka. Aku melihat bapak yang baru pulang kerja. Nampak raut lelah di wajah tuanya. Ibu menyambut bapak seperti biasa, bertanya bagaimana urusan pekerjaan hari ini. sementara aku bergegas ke dapur membuatkan teh hangat untuk bapak. Setelah menerima secangkir teh hangat dari tanganku, bapak memintaku untuk segera istirahat. Tidak lupa pula bapak menanyakan apakah aku sudah mengerjakan PR apa belum. Pertanyaan yang sama sedari dulu aku kecil mulai sekolah. Tapi aku selalu merasa senang diperhatikan seperti itu oleh bapak. Aku menuju pembaringanku, aku mengambil hiasan lumba-lumba pemberian Wildan di laci nakas. Aku pandangi dan sesekali ku usap, rasanya aku amat sayang pada hiasan ini. Aku raih buku harianku dan mulai ku tuliskan segala perasaan yang aku lalui seharian ini. Tiba-tiba aku teringat dengan gelagat yang tak biasa dari Ayu dan Tama. Aku putuskan untuk menelfon Ayu. [ Halo? ] terdengar suara Ayu yang sepertinya sudah mengantuk. [ Gak jadi, besok aja pas ketemu di sekolah ] segera ku tutup sambungan telfon kami. ------ Seusai sarapan, aku berpamitan berangkat sekolah pada Ibu, "Bapak mana bu?" "Itu sedang duduk-duduk di teras." Memang sayup-sayup terdengar suara orang yang sedang berbincang. Aku kenakan sepatu dan betapa kagetnya saat aku membuka pintu melihat bapak yang sedang asik mengobrol dengan Eza. "Ohh ada mas Eza rupanya," ucapku untuk menutupi rasa keterkejutanku tadi. Eza tersenyum lalu menyapaku, "Selamat pagi Rindang..sudah mau berangkat sekolah ya?" "Iya.." jawabku singkat. Aku meraih tangan bapak untuk berpamitan. Tiiiinnnnn.... Terdengar suara klakson dari sepeda motor Ayu. Ia menyapa bapak dan juga mas Eza. Aku berjalan mengampiri Ayu, "Aku kira aku akan berangkat sendirian hari ini." "Kenapa begitu mikirnya?" "Hemmm..sebab aku rasa ada yang lagi kasmaran dan sebentar lagi bakal sibuk kemana-mana berdua," sindirku. "Maksudnya kamu gitu? sama siapa? wahh jangan bilang kamu jadian sama mas Eza?" Sontak aku tampol pundaknya sebab asal bicara, "Ngaco deh...maksudku ya kamu sama Tama..ya udah yuk berangkat..entar lama-lama bisa telat," "Hati-hati, " seru bapak pada kami. ----- 15 menit kemudian aku dan Ayu telah memasuki area parkir sekolah. "Kamu sama Tama ada something?" aku langsung menginterogasi Ayu, ehh yang ditanya malah senyam senyum saja. "Kepo yaaa?" "Bukan kepo, cuma gak terima aja kok selama ini kamu gak pernah cerita apa-apa sama aku?" aku beralibi sebab aku kurang suka dengan istilah kepo. "Iya..iya..nanti aku ceritain dengan lengkap deh, " Ayu mengangkat dua jari tangannya ke depan wajahku. "Peace...damai yaa..." imbuhnya lagi. "Memangnya kita gak lagi damai?" Ayu tertawa mendengar ucapanku. Aku dan Ayu saling menoleh ketika melihat pintu kelas kami yang tertutup. "Rindang...kok pintu kelas tertutup, apa sudah mulai kelasnya?" Ayu menoleh sekitar dan melihat kelas-kelas lain yang siswanya masih ramai, belum nampak ada guru masuk. Aku melirik jam tanganku, "Masih pukul 7 kurang 15 menit kok. Kita ketuk dan buka saja pintunya." Begitu aku membuka daun pintu, aku dapati Tama yang berdiri di depanku dengan memegang bunga dan cokelat. Aku cukup shock dan segera aku kuasai diri. Beruntung aku sudah lumayan tahu meski belum diberi penjelasan dari Ayu tentang ceritanya dengan Tama. Aku pun mundur lalu meraih dan memposisikan Ayu untuk berdiri berhadapan dengan Tama. "Rindang..sini.." panggil Cika dan teman-teman lain yang turut memintaku mendekat ke arah mereka. Seperti yang sudah aku perkirakan, Tama mulai menyatakan cinta pada Ayu. "TERIMA..." "TERIMA..." "TERIMA..." Kami bersorak bersamaan, keberanian Tama mengutarakan perasaan di depan kelas, dihadapan para teman cukup patut diacungi jempol. Aku turut senang melihatnya. Sorak semakin bergemuruh ketika Ayu menerima cinta Tama. Saat aku mengedarkan pandangan, ku lihat Wildan yang sedang tersenyum padaku. "Cokelatnya biar buat kami saja ya, " sergah Dewi merebut beberapa cokelat yang dipegang Tama. Kami pun tertawa bersama. Sementara Ayu nampak manyun, sebab cokelat kesukaannya dibagi-bagikan semua pada kami. "Udah gak perlu manyun gitu, nanti kan bisa minta dibelikan lagi sama Tama," terdengar Swasti menghibur Ayu. "Oke..perhatian untuk semuanya...kembali fokus persiapkan buku mata pelajaran jam pertama karena sebentar lagi guru akan masuk ke kelas, sekali lagi selamat untuk Tama dan Ayu semoga awet relationship nya, " ucap Wildan. "Aamiin..." seru kami bersamaan. *******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN