Part 10 : Ada Apa dengan Wildan?

1312 Kata
(PoV Rindang) ***** Selepas kepergian mas Eza dan temannya, aku mengajak Ayu, Wildan dan Tama untuk segera masuk ke dalam rumah. Ada aroma lezat yang menguar dari dapur begitu aku membuka pintu. "Assalamu'alaykum ibu...Rindang pulang nih sama teman-teman juga." "Wa'alaikum salam sayang, masuk dulu aja..ibu lagi di dapur. " seru ibuku. "Kalian duduk saja dulu ya, aku mau ke dapur sebentar." Ketiga temanku itu pun hanya manggut-manggut dan mulai duduk di kursi yang berada di ruang tamu. Tiba-tiba…. "Gak usah susul ibu." aku menoleh ke arah suara ibu dan terkejut melihat ibu keluar dari dapur dengan membawa sebuah kue ulang tahun berwarna coklat, berlilin angka 17 dan ada namaku yang tertulis di sana. "SELAMAT ULANG TAHUN Rindang Hanin Abdillah. " semakin terkejut ketika mendengar suara serentak dari depan rumah. Ternyata teman-teman sekelas diam-diam ikut berdatangan ke rumah. Aku tak bisa menyembunyikan rasa haru bahagiaku. Aku sendiri saja lupa jika hari ini adalah ulang tahunku. Aku peluk erat ibuku. Beliau tersenyum lalu mencium kedua pipiku, memberikan ucapan selamat dan do'a yang membuatku kembali meneteskan air mata. Bagaimana tidak, ketika didoakan oleh sosok yang melahirkan kita pasti hati ini bergetar dan bulir bening refleks tak bisa disembunyikan. "Ibu semestinya gak perlu sampai seperti ini." "Gak apa-apa sayang, ini semua sudah jauh dipikirkan secara matang oleh bapak dan ibu, bahkan bapak lho yang punya ide untuk mengadakan acara kecil-kecilan dengan mengundang teman-teman sekolah kamu." tukas ibuku. Ibu mengurai pelukannya, kemudian mendekati dan bersalaman satu per satu dengan teman-temanku. "Ayo semuanya masuk, sebentar ya ibu ambilkan hidangannya dulu." "Biar Rindang bantu ya bu." tawarku. "Gak usah, ibu udah ada yang bantu kok, tuh mbak Sinta, kamu cukup temani teman-temanmu saja, ajak mereka ngobrol sembari menunggu Ibu siapkan soto buat dimakan bareng-bareng." Aku mengangguk saja menuruti perkataan ibuku. Aku berbalik badan menghampiri teman-teman yang sudah berebut makanan. "Kalian ini diam-diam kerjasama dengan orang tuaku ya?" Aku berkacak pinggang seolah kesal dengan mereka. "Iya dong, namanya juga kejutan masa suruh terang-terangan, iya gak guys..??" seru Dewi yang seketika mendapatkan banyak suara dukungan. "Rindang.." "Ya.." aku menoleh ke arah Ardian yang memanggilku. Ia mendekat untuk memberikan sebuah kotak berbungkus kertas kado yang diatasnya terdapat pita berwarna merah maroon, sangat manis. Kami sama-sama canggung sebab teman-teman beramai-ramai menggoda kami. Aku berterimakasih pada Ardian dan menyimpan kado pemberiannya. "Kado dari kami nanti ya menyusul, tadi soalnya kami diberitahu dadakan oleh bapakmu yang mampir ke sekolah, makanya kami belum bisa menyiapkan kadonya." sahut Dewi yang mulutnya sibuk mengunyah kari puff buatan ibuku yang memang rasanya sangat enak. "Tapi beda ya kalau yang punya rasa pasti langsung gercep nyari kado meski waktunya mepet tadi eheemmm…" sekarang giliran Ayu yang bersuara. Aku mencolek lengannya agar tidak terus meledekku dan Ardian. "Gak ngasih kado juga gak apa kok, yang penting doa tulus dari kalian semua untuk kebaikanku." "Eh jadi tugas kelompoknya??" imbuhku lagi sembari menatap Wildan, Ayu juga Tama. "Tugas kelompok kita sebenarnya sudah beres sejak kemarin kok, tanya saja sama Wildan." kata Tama menjelaskan. "Iya betul apa yang dibilang Tama,"tukas Wildan. Aku menganggukan kepala tanda mengiyakan meski aku sedikit bingung tentang tugas kelompok yang tiba-tiba sudah selesai tanpa aku tahu. Ibu dan mbak Sinta dengan cekatan dan rapi menata persiapan jamuan soto di meja prasmanan untuk kami. Cuaca yang mendung semakin mendukung kami menyantap makanan yang berkuah gurih dan pastinya enak. Ibuku memang jago memasak, bahkan ibu biasa dipanggil untuk memasak jika ada tetangga yang hajatan. Hasil uangnya lumayan untuk menambah penghasilan, belum lagi bungkusan makanan yang dibawakan oleh empunya hajatan pada Ibu untuk dibawa pulang. "Bapak pulang jam berapa hari ini bu?" "Bapakmu lembur lagi sampai malam pulangnya..titip salam ucapan dulu buat kamu." Terenyuh hatiku mendapati bapak yang tak kenal lelah bekerja untukku dan ibu. Tak jarang ibu mengerik punggung bapak untuk membuat badan bapak lebih enak jika sedang merasa agak meriang. Terdengar suara pintu rumah yang diketuk dan ucapan salam. Aku menilik ke depan, ada mas Eza yang terlihat rapi seperti biasanya berdiri di ambang pintu dengan satu tangan yang ia taruh di balik punggungnya. "Oh ada mas Eza, sini mari masuk mas, kebetulan ini ibu ada buat soto." ucap ibuku yang berjalan menghampiri mas Eza, aku turut berjalan menyusul ibu. "Gak usah tante, takut mengganggu kebersamaan Rindang dengan teman-teman. Saya hanya mau mengantar ini buat Rindang. " bibirku sedikit terbuka melihat buket bunga yang dibawa oleh mas Eza. Yang katanya untukku, jangan lupakan kertas ucapan berwarna putih berkombinasi soft pink. Ibu tersenyum lalu menolehku, aku yang paham akan maksud ibu, segera mengulurkan tangan untuk menerima buket bunga tersebut. "Terimakasih." hanya itu kata yang bisa keluar dari mulutku, sebab aku sedikit merasa tidak nyaman menerima buket bunga yang berisi bertangkai-tangkai mawar merah yang wanginya sungguh sangat semerbak. "Terimakasih mas Eza, beneran ini gak mau masuk?" tanya ibuku lagi. "Iya gak usah tante, tadi dari toko florist memang sengaja mampir kesini untuk langsung ngasih ke Rindang, ini mau jemput mama. Mama minta jemput katanya supir mama istrinya melahirkan. Mama minta pak Diman untuk fokus ngurus istrinya dulu, jadi mobil masih sama pak Diman." "Kalau begitu tunggu sebentar ya, biar tante bungkuskan sotonya buat mama kamu, beberapa hari lalu mama kamu sempat bilang katanya baru makan soto di sebuah rumah makan tapi katanya gak seenak bikinan tante, jadi ini mumpung tante lagi bikin soto sekalian mama kamu harus nyicip juga ya." pinta ibuku. Mas Eza mencoba menolak dengan halus, namun ibuku kukuh meminta mas Eza untuk menunggu sebentar. Ibu dibantu mbak Santi menyiapkan bahan soto dalam box kontainer untuk dibawa mas Eza. "Duh ini apa gak terlalu banyak tante?" tanya mas Eza "Insya Allah ini cukup untuk 4 porsi, barangkali mas Eza, pak Hendra dan bibi dirumah juga mau mencicipi sotonya." ucap Ibu. "Ya sudah ini saya terima sotonya ya tante, terimakasih dan selamat ulang tahun untuk kamu Rindang." "Iya terimakasih mas Eza, semoga suka dengan sotonya." kataku. Aku dan ibu melihat mas Eza yang berjalan hingga keluar pagar, menaiki mobilnya. Ibu meraih pundakku, mengajak kembali ke dalam rumah bergabung dengan teman-teman. Sesuai dengan apa yang ku duga, teman-temanku sibuk bertanya tentang siapa mas Eza. Terutama yang cewek, udah langsung main berebut ingin melihat buket bunganya. "Itu tadi namanya mas Eza, rumahnya yang itu tuh dua rumah dari sini yang berlantai dua di sisi kiri jalan juga, mas Eza ini saingannya Ardian karena dia udah lama naksir loh sama Rindang." celetuk Ayu yang langsung aku pelototi. "Apaan sih, udahlah gak perlu bahas orang lain, ayo makan lagi aja." kataku. "Tapi bener kan apa yang aku bilang." Ayu berbisik sambil menaik turunkan kedua alisnya. "Sudahlah, jangan berisik." ketusku yang langsung disambut bibir Ayu yang manyun seketika. "Wah anak orang tajir ya dia?" Dewi ikut-ikutan membahas mas Eza. "Apa lagi sih ini kalian? Udah deh close the topic, okay. "pintaku yang seketika membuat Ayu dan Dewi nyengir kuda. Beberapa teman-temanku berangsur berpamitan pulang. Menyisakan Dewi, Ayu, Swasti, Nita, Cika, Tama, Frandi dan Wildan. Selang tiga puluh menit kemudian, mereka pun berpamitan undur diri. Namun tidak dengan Wildan, ia berkata ada yang perlu dibahas berkaitan dengan tugas kelompok. Bahkan ia meminta Cika untuk pulang bersama Swasti. "Senang kalau banyak yang naksir?" tanya Wildan ketika tinggal aku dan dia saja di teras rumah. Ibu dan mbak Santi sedang berada di dapur. "Maksudnya?" bertaut alisku sebab aku memang cukup terkejut dan tidak tahu pada arah pertanyaan Wildan. Bukankah tadi ia hanya berkata ada yang perlu dibahas tentang tugas kelompok? "Masa begitu saja perlu dijelaskan, ya pastinya lah ya senang di hari spesial dapat dua kado sekaligus dari dua orang pria, hemm bunga…!!" kata Wildan sambil melirik buket bunga yang aku taruh di kursi teras. Aku diam saja menunggu Wildan melanjutkan kalimatnya. Wildan meraih buket bunga pemberian mas Eza, membolak baliknya lalu menghempaskannya dengan sedikit keras ke meja. "Aku pulang." itu kata terakhir Wildan sebelum ia pergi meninggalkan rumahku yang membuat hatiku mencelos tak habis pikir dengan sikapnya. "Aneh", gumamku memandang punggung Wildan yang berlalu tanpa menoleh lagi padaku. *******

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN