Kepanasan

1356 Kata
Auris pergi ke panti asuhan milik Mamanya untuk mengembalikan ponsel Rajata yang tertinggal. Dia meminta izin pada kedua orang tuanya ingin melihat acara amal yang diadakan di panti asuhan. “Kamu ngapain kesini?” “Memangnya kenapa kalau aku ke sini? kok kamu yang sewot sih!” “Pakai jaket kalau mau keluar malam. Udara sudah mulai dingin.” Rajata melepaskan jaketnya lalu memakaikan pada Auris yang menggunakan dress tanpa lengan. “Eh, aku nggak kedinginan.” “Sudah pakai saja.” “Ponsel kamu," ucap Auris, menyerahkan ponsel Raja. "Ketinggalan di meja makan Eyang Husna.” Rajata menerima ponselnya yang diberikan oleh Auris. Dia lupa memasukkan kembali ponselnya pada saku jaket setelah membalas pesan dari Omanya. “Terima kasih,” ucapnya. “Aku nggak sengaja buka pesan saat mau cari nomor ponsel Oma kamu.” “Pesan dari siapa?” “Ciara.” “Oh.” Hanya itu saja jawaban dari Rajata. Gadis itu kasihan pada dirinya sendiri mendapatkan perlakuan cuek dari Rajata. “Apa kamu tahu Oma dan Eyang ada dimana?” “Itu,” tunjuknya pada barisan kursi paling depan. Auris mengangguk sebagai jawaban. Dia membalas apa yang baru saja dilakukan oleh Rajata. Gadis itu tidak mengucapkan terima kasih. Bergegas menyusul kedua neneknya yang menjadi panitia acara. Malam ini ada acara amal untuk membantu sekolah di pedalaman Indonesia yang belum memiliki bangun permanen. Oma Hani dan Eyang Husna membuat acara itu atas permintaan para sahabatnya yang menjadi donatur tetap panti asuhan. “Sayang, kamu datang sama siapa?” tanya Oma Hani saat melihat kedatangan Cucunya. Auris langsung memeluk Omanya. “Di antar sama Pak Supir, Oma.” “Kata Eyang, Kakak kakinya terkilir waktu di kampus. Kenapa malah ke sini bukannya istirahat saja di rumah?” “Sudah sembuh kok Oma. Sudah di pijat sama Eyang.” Eyang Husna berada di atas panggung untuk memulai acara amal. Sementara Oma Hani menunggu di bawah karena kurang enak badan sejak kemarin. “Daddy juga lagi demam, Oma. Kayaknya kecapekan ambil banyak jadwal operasi sejak minggu kemarin.” “Cuaca sedang tidak menentu, Sayang. Siang hari panas sekali sorenya hujan deras. Jadi, banyak yang terserang flu, batuk dan juga demam. Apalagi, Daddy kamu punya segudang kesibukan yang tidak ada habisnya. Pastinya jarang punya istirahat yang cukup.” “Benar sekali Oma. Mommy tadi sudah memberikan ceramah panjang lebar sama Daddy gara-gara tidak mau ambil libur beberapa hari buat istirahat.” Oma Hani terkekeh. “Kakak dan Adek ngapain waktu Daddy kena omel Mommy?” “Seperti biasa, Oma. Daddy minta kami peluk karena takut sama omelan pedas Mommy.” Auris tertawa saat mengingat kelakuan lucu Ace setiap kali diberi ceramah oleh Nala karena kurang peduli dengan kesehatannya sendiri. Padahal, dia adalah seorang Dokter yang tugasnya mengobati pasien. “Besok kalau Daddy sudah pulang ke rumah giliran Oma yang kasih omelan.” “Auris akan menunggunya, Oma,” jawabnya, gadis itu terkikik geli membayangkan wajah memelas Daddy nya. Karena sudah jam 9 malam Auris harus pulang ke rumah Eyang Husna. Dia pamit dengan Oma dan Eyang sebelum meninggalkan halaman belakang panti yang dijadikan tempat acara. Oma Hani ingin mengantarkan Auris sampai tempat parkir tapi gadis itu menolak. Dia mengatakan jika supirnya sudah menunggunya di dapur panti sambil ngopi bersama dengan teman sesama supir. “Mau kemana?” “Pulang.” Auris melepaskan jaket yang dipakainya sejak tadi. “Bawa saja. Kembalikan besok saat ke kampus.” “Nggak usah. Aku sudah mau pulang kok.” Rajata memakaikan kembali jaketnya secara paksa pada Auris. Dia kesal dengan sikap keras kepala gadis yang kini sedang menggigil kedinginan. “Bandel banget kalau di bilangin!” “Di mobil ada selimut tebal.” “Jarak halaman belakang dan parkiran lumayan jauh. Kamu bisa membeku saat sampai sana.” “Aku ‘kan lewat dalam panti. Nggak akan ada angin.” “Kata siapa? lihat saja semua pintu dan jendela masih terbuka. Meskipun lewat dalam tetap saja akan terasa dingin.” Rajata menarik tangan Auris dengan seenaknya sendiri. Dia pergi meninggalkan gadis yang kini hanya terdiam melihat interaksi antara kedua orang tadi. “Kamu tunggu disini dulu. Aku akan ambil kunci mobil.” “Buat apa?” “Kalau mau naik mobil harus punya kuncinya.” Auris mendengkus kesal dengan perlakuan Rajata padanya. Dia terlihat perhatian sekali padanya namun cara bicaranya masih tetap saja ketus. “Aku kesini diantar Pak Supir.” Rajata tidak mau mendengarkan perkataan Auris. Laki-Laki tampan itu tetap masuk untuk mengambil barang-barangnya. “Yuk ...” ajaknya dengan kembali menggandeng tangan Auris. “Supir aku gimana?” “Telpon saja sekarang. Bilang kamu pulang diantar sama aku.” “Nanti dimarahi Daddy kalau pulangnya kamu yang antar.” “Tidak akan,” Rajata membuka pintu mobil. Membantu Auris masuk ke dalam dan memasangkan sabuk pengaman. “Aku sudah minta ijin sama Om Ace buat anterin kamu pulang.” “Beneran?” “Hmmm.” Rajata menutup pintu mobil. Sedikit berlari memutari mobil. Namun saat dia akan membuka pintu. Gadis yang tadi duduk di sampingnya menghampirinya. Keduanya kini tengah berbincang tapi Auris tidak dapat mendengarkan pembicaraan. “Kalau mau lanjut pacaran harusnya nggak usah sok baik mau anterin aku!” gerutu Auris. Gadis itu hanya bisa melihat punggung Rajata. Kalau belum berada di dalam mobil Auris pasti akan mendengar obrolan keduanya. Auris hanya bisa pasrah menunggu Rajata dan perempuan yang tak dikenalnya selesai berbincang. “Maaf membuatmu menunggu.” Auris tidak menjawab. Dia membuang muka ke arah luar jendela. Kekesalannya bertambah saat gadis tadi sengaja memeluk Rajata sebelum pergi. “Kamu ngantuk?” tanya Rajata saat tidak mendapatkan jawaban dari Auris. “Enggak. Cepetan anterin aku pulang!” “Iya, ini juga mau nyalain mesin mobilnya.” “Kalau nggak niat anterin aku pulang bilang dong! Biar aku minta Pak Supir buat putar balik kembali ke panti.” “Siapa yang bilang gak niat?” Auris tidak menjawab. Dia lebih memilih melihat ke arah luar jendela dengan menekuk wajahnya. Sementara Rajata mulai mengemudikan mobilnya menuju ke arah gerbang panti asuhan. Dia tahu jika Auris sedang kesal dengannya karena temannya tadi tiba-tiba memeluknya sebelum kembali ke tempat acara amal. “Namanya Ciara. Dia tetangga Oma.” “Aku tidak mau tau. Ngapain sih pakai dijelaskan segala?!” “Hanya ingin memberitahumu agar tidak cemburu.” “Idih ... siapa juga yang cemburu?! aku tidak peduli kamu mau peluk-pelukan sama siapa saja. Itu bukan urusanku!” Rajata tersenyum saat mendengar jawaban ketus dari Auris. Gadis di sebelahnya berkata tidak cemburu namun sikapnya menunjukkan yang sebaliknya. “Kelihatannya kamu sedang kepanasan. Padahal cuaca sedang dingin.” “Iya, jaket kamu harganya pasti murah jadinya nggak cocok sama aku.” “Apa hubungannya sama bahan jaket Auris?” “Ngak tahu. Pikir saja sendiri!” Perjalanan menuju ke arah rumah Eyang Husna dipenuhi dengan omelan Auris mengenai jaket Rajata yang membuatnya gerah. Dia juga mengatakan, jika kulitnya gatal-gatal karena memakai jaket itu. Auris akan meminta ganti rugi pada Rajata dengan nominal yang cukup besar. Mobil yang di kendarai Rajata sampai di rumah Eyang Husna. Auris langsung turun dari mobil tanpa menunggu mesin dimatikan. “Jangan berharap aku akan menawari buat mampir.” Auris memberikan jaket pada Rajata tanpa mengucapkan terima kasih. “Aku juga tidak berniat mampir.” “Oh, bagus dong kalau begitu. Silahkan pergi sekarang juga.” “Selamat malam. Jangan lupa sebelum tidur berdoa dulu agar kobaran api dalam hati cepat padam.” Auris melotot galak ke arah Rajata. “Maksud kamu apa?” Rajata hanya menghendikkan bahu lalu kembali menuju mobilnya. Sebelum masuk ke dalam mobil dia menyempatkan tersenyum pada Auris. Bukan sejenis senyuman manis atau senyuman cinta. Melainkan senyum mengejek karena Auris tengah dilanda cemburu. Dengan menghentakkan kedua kakinya Auris berjalan mendekati mobil Rajata. Dia mengetuk kaca mobil agar di buka. “Kamu pikir aku cemburu dengan gadis tadi?” “Tidak.” Rajata menjawab dengan cepat. “Dengarkan aku Rajata. Aku tidak akan pernah cemburu dengan perempuan yang ada di sekelilingmu. Titik!” Auris meninggalkan Rajata yang kini tengah tersenyum. Gadis itu memang mengatakan tidak cemburu namun kelakuannya menunjukkan jika sedang kepanasan. “Yakin tidak akan cemburu, Auris?!” gumam Rajata sebelum pergi dari kediaman Eyang Husna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN