BAB 14 - Softer

1955 Kata
Gideon mendorong Clary ke atas ranjangnya, dengan cepat Gideon membuka kemejanya dan naik ke atas tempat tidur menindih tubuh Clary. Wanita itu berontak di dalam dekapannya. Ketika Gideon mencium bibirnya dengan kasar, Clary mencoba mendorong tubuh Gideon agar beranjak dari atas tubuhnya. Penolakan itu semakin membuat Gideon geram, Gideon mencengkram kedua pergelangan tangan Clary agar wanita itu tak bisa mendorong tubuhnya menjauh. Clary mengerang ketika lidah Gideon menerobos masuk ke dalam bibirnya dan menghisap bibir atasnya dengan serakah. Clary tidak membalas ciuman itu sama sekali. Ia terlalu kesulitan untuk mencoba bernafas di sela-sela ciuman tersebut. Wajahnya bergerak ke kanan dan ke kiri, menolak ciuman kasar Gideon yang amat menyiksanya. Gideon mengigit bibir bawah Clary hingga menimbulkan sedikit darah. Menggertaknya dalam ciuman, menyuruhnya untuk diam dalam kuasanya. Menerimanya, membalas ciumannya. Clary merasa nyeri dalam hatinya semakin perih tiap detiknya. Clary berubah pasrah, tubuhnya terlalu lemah untuk berontak lebih lama lagi. Ia belum makan apapun sejak siang, tidak ada kekuatan dalam dirinya untuk melawan Gideon. Ciuman itu berubah menjadi lebih lembut, lebih dalam namun tidak sekasar tadi. Cengkraman tangan Gideon juga tidak sekuat tadi. Gideon melumat bibir bawah Clary, menariknya ketika ciuman itu terlepas sebelum kembali meraupnya dan memberikan hisapan lembut. Ciuman itu turun ke dagunya, menyusuri leher nya. Dan ketika sampai di lekukan sisi lehernya Gideon berbisik. "Aku akan bersikap lembut jika kau tidak membuatku marah." Clary memejamkan matanya, wajahnya mendongak ketika Gideon kembali menyusuri lehernya. Nafasnya terputus-putus ketika merasakan lembutnya bibir Gideon di bibirnya. Kembali menciumnya dan menyusuri bibir kenyal itu dengan hisapan dan gigitan kecil yang membuat Clary mendesis. Clary merasa bibirnya kebas, ketika ciuman Gideon terhenti Clary membuka matanya. Tatapan mereka bertemu begitu dalam hingga membuat jantung Clary berdegub. Clary kembali memejamkan mata, lalu ia merasakan Gideon mencium keningnya sebelum beranjak dari atas tubuhnya. "Mandi, lalu temui aku di ruang makan." Ketika mendengar suara pintu kamarnya di tutup Clary baru membuka matanya, air mata meluncur di sudut matanya yang langsung ia seka. Clary merasa lelah, hati dan tubuhnya sangat-sangat lelah. Clary mencoba bangkit untuk duduk, dan merasakan kepalanya pening. Ia mencari-cari ponselnya. Mengirimkan satu pesan pada Andrian dengan cepat. "Maafkan aku. Apa kau baik-baik saja?." "Tidak baik. Jelaskan padaku! Apa yang kau lakukan bersamanya? Apa dia menyakitimu?." "Tidak. Aku baik-baik saja. Kau terluka? Andrian maafkan aku." "Jelaskan semuanya maka aku akan memaafkanmu." "Semoga kau baik-baik saja. Sampai jumpa besok." Andrian sangat penasaran, Clary tidak bisa mengatakannya bahkan melalui pesan sekalipun. Ia menaruh ponselnya di atas kasur lalu beringsut turun dari ranjangnya untuk segera membersihkan diri. *** Clary sudah selesai, ia berjalan keluar dari kamarnya menuju ruang makan untuk menemui Gideon. Dibandingkan untuk makan, ia ke sini agar Gideon tidak marah, dibandingkan untuk mengisi perutnya karena selera makannya sudah hilang. Clary dapat melihat Gideon berdiri memunggungi nya menghadap ke arah jendela seraya menatap langit yang sudah menggelap. Ketika sampai di sana Gideon menoleh padanya, Clary dapat melihat rahangnya yang membiru akibat pukulan Andrian. Hal itu membuat Clary merasa bersalah. Gideon hanya diam untuk beberapa saat, memperhatikannya dari atas hingga ke ujung kaki. Kedua kaki Clary bergerak gelisah, berada di bawah tatapan intens milik Gideon. "Ayo makan."serunya memecah keheningan di antara mereka. Ada daging asap yang di panggang, masih panas dan terasa begitu lezat. Tapi Clary tidak terlalu berselera, rasanya begitu canggung. Ia tak bisa menikmati makanannya ketika Gideon terus saja memperhatikannya tanpa suara. Gideon sudah selesai makan, dan kini sebelah tangannya menopang kepalanya seraya memperhatikan Clary. Hal itu membuat perut Clary seperti di bilas. Sangat-sangat tidak nyaman. Rasanya sulit sekali menelan potongan kecil itu dan duduk di sana lebih lama. Bahkan tangannya terasa kaku ketika memotong daging itu. Kenapa dagingnya tidak habis-habis, Clary rasa ia sudah memotongnya cukup besar agar bisa segera menghabiskan makan malamnya. Jari-jemari kakinya mengerut di bawah meja, bergerak gelisah. Ketika Clary mencuri pandang ke arah Gideon, pria itu masih menatapnya. "Berhenti menatapku."ucap Clary begitu lirih. Gideon bergerak menyandarkan tubuhnya di punggung kursi dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Masih menatapnya, seolah tak pernah bosan untuk melakukan itu. "Aku melakukan apa yang aku sukai."Suka menatapnya, atau suka menginterupsi nya dari sebuah tatapan. Clary tidak merasa terhormat jika Gideon suka menatapnya. Bukankah akan lebih baik jika diabaikan olehnya. Clary mengalihkan tatapannya ke arah lain, menyendokan tusukan besar daging terakhir dan mengunyahnya secara perlahan. Bibir Gideon berkedut menahan tawa, Clary merasa malu dengan tatapannya. Lucu sekali. "Aku sudah selesai."Clary beranjak dari kursinya dan mengambil piring kotor mereka untuk ditaruh di dalam wastafel. Clary mencucinya dan tidak menghiraukan seruan Gideon untuk membiarkannya ada di sana. Hanya ada dua piring kotor dan sepasang gelas juga peralatan makan yang tidak banyak. Ini terlalu sedikit untuk bisa lebih lama menjauh darinya. Ketika Clary selesai dengan bilasan terakhir dan mengeringkan tangannya dengan serbet yang tergantung di samping rak. Gideon menarik tangannya untuk duduk di sebelahnya di ruang tv. Mengajaknya untuk menyaksikan film action. Sebuah film tentang agen mata-mata. Gideon berkutat dengan sebuah map yang berisi tentang laporan pekerjaan, sementara Clary duduk dengan kaku di samping kiri Gideon dengan kedua kaki terlipat di atas sofa. Clary mulai menghayati jalannya acara hingga ia terbawa serius menyaksikan tiap adegan yang ditunjukan di dalam film tersebut. Beberapa kali tanpa sengaja tubuhnya merespon, ketika sang pemeran pria itu terjatuh atau berada dalam adegan berbahaya. Tiba-tiba saja Gideon terkekeh di sebelahnya, spontan Clary menoleh ke arahnya dengan pandangan bingung. "Kenapa kau tertawa!." "Kau lucu."ucapan Gideon spontan membuat Clary mengalihkan pandangan nya ke arah lain. Jantungnya berdebar keras, ini malah membuatnya jadi canggung. Ketika Clary kembali menatap layar TV ia berteriak dengan keras hingga membuat Gideon kembali tertawa. Bagaimana tidak, ia baru saja melihat adegan penusukan yang memperlihatkan begitu jelas adegan tersebut, merobek kaki seseorang hingga menyebabkan semburan darah. "Itu tidak lucu, memangnya kau tidak lihat betapa menyeramkannya itu."gerutu Clary sebal karena ditertawakan Gideon. "Itu hanya akting." "Tapi tetap saja. Menyeramkan."gerutu Clary. Lagi. Dan lagi Gideon terkekeh karenanya. "Baiklah.. Baiklah. Jangan menangis hanya karena adegan itu." "Akh tidak menangis."ucap Clary terbilang cepat. Membela diri. Tanpa di sadari hal itu membuat ketegangan di antara mereka mencair. Gideon bertanya tentang pekerjaan nya dan Clary menjawabnya dengan jelas. Clary selalu siap jika pembahasan itu mengenai pekerjaan. Gideon menyadari hal itu dan menggali lebih dalam hingga membuat pembahasan yang lebih lebar. *** Malam itu Gideon kembali menyentuhnya namun lebih lembut dari hari-hari sebelumnya. Bahkan lebih dari hari pertama kali Gideon menyentuhnya. Clary merasa begitu nyaman dibandingkan malam-malam lainnya. Gideon memeluknya sepanjang malam, tidur di ranjangnya hingga ia terbangun dan menemukan Gideon memeluk tubuhnya dari belakang. Clary merasakan ciuman lembut di lehernya, ketika sebuah tangan menarik tubuhnya menjadi menghadap ke arah Gideon. "Pagi,"sapanya dengan suara bariton berat yang terdengar serak. Gideon mencium kilat bibir Clary sebelum kembali menatapnya. "Kau tidur nyenyak sekali." Ya, lebih lama di bandingkan hari-hari sebelumnya. Biasanya Gideon hanya membiarkannya tidur selama 2-3 jam. Tapi malam ini Clary tidur selama 5 jam. Gideon bersikap lembut, anehnya hal itu membuat Clary mencari-cari hal yang mungkin berefek pada sikapnya sejak malam tadi. Seolah tidak ada pertengkaran yang terjadi malam tadi. Ketika sampai di depan kantornya Gideon mengatakan untuk mengajaknya makan di luar. Butuh beberapa detik bagi Clary untuk tersadar pria itu tersenyum lebar padanya. "Balas pesanku jika aku mengirim chat padamu."Clary berdiri dengan canggung, lalu mengangguk dengan kaku ketika Gideon menatapnya. Jujur saja Clary memang tidak pernah merespon setiap pesan yang Gideon kirimkan Clary mematung menatap kepergian mobil Gideon tanpa ekspresi apapun di wajahnya. Ketika seseorang berdiri di hadapannya dengan wajah bingung. Menuntut penjelasan. "Kau berhutang banyaaaaaaaaaaaaaak penjelasan padaku." "Yura. Kau datang pagi."Clary tersenyum dengan cengiran di wajahnya. Namun mata Yura memincing menemukan luka di sudut bibir sahabatnya itu. "Bibirmu terluka."ucapnya yang membuat senyum di wajah Clary hilang seketika. Ini karena Gideon. Oh sial. Yura pasti berpikir yang tidak-tidak. "Tidak. Eum... Kau naik taksi?."Clary mencoba mengalihkan perhatiannya. Yura mengerutkan keningnya menatap Clary seolah berkata apa. "Jangan mengalihkan topik. Itu tidak mempan harusnya kau memuji make up ku sekalian, karena itu juga tidak mempan. Aku menunggumu sejak pagi-pagi buta di dekat resepsionis. Aku tidak mau menunggu di ruanganmu karena atasanmu akan menelepon ku. Jadi aku menunggu di sini. Kau... Berhutang sangat banyak Clary. Banyaaaaaak sekali." "Yura."Clary terenyuh, biasanya memang tidak ada batasan. Clary selalu jujur padanya tentang apapun itu, tapi tidak saat ini. Clary tak tahu harus berkata apa. Entah bagaimana caranya. Dan harus mulai darimana. "Tidak ada alasan. Masih ada waktu 1 jam setengah untuk bercerita padaku." *** "Sejak kapan?." Pertanyaan Yura Yang menuntut membuat Clary kelabakan, tidak ada satupun perkataan tentang perjanjian antara ia dan Gideon yang Clary bocorkan pada perbincangan ini. Clary hanya mengatakan jika mereka berkencan baru-baru ini dan Gideon memaksanya untuk tinggal di rumahnya. Sekian. Tapi sepertinya tak membuat Yura berhenti untuk menggali lebih dalam. "Sejak beberapa hari yang lalu. Jangan katakan ini pada siapapun, aku tidak mau mereka tahu kami berkencan."Kepala Yura miring ke kanan, memperhatikan Clary untuk beberapa saat. "Ah.. Dan di spesialkan karena kau seorang kekasih dari pria miliarder di Korea Selatan. Kau melewatkan kesempatan emas." "Yura."tegur Clary, tak suka temannya berkata seperti itu. Bukan hal yang di banggakan menjadi seorang kekasih Gideon Greshon. "Maafkan aku, aku tidak tahu apakah harus senang atau sedih. Kau begitu ketakutan ketika ia membuntutimu seperti orang gila, namun kini kau jatuh ke dalam pelukannya. Waktu cepat sekali berlalu, dan pikiranmu cepat sekali berubah."Clary akui orang lain bisa beranggapan seperti itu tentangnya, rasanya murah sekali karena pikirannya cepat sekali berubah. Clary menganggukan kepalanya mengerti. Wajahnya berubah sendu, senyumam itu lenyap dari wajahnya. Ketika menatapnya, Clary tersenyum tipis. Menatap sahabatnya itu dengan ekspresi kelewat sendu. Pikirannya bergelut meneriaki diri, jika apa yang Yura katakan benar. Mungkin dirinya memang murah, sangat murah. Clary merasa wajahnya memanas, rasanya ingin menangis namun Clary mencoba untuk menahan diri, beberapa kali matanya melirik ke atas agar air mata tak keluar dari sudut matanya. Ketika hampir jam masuk kantor Clary mengajak Yura untuk segera kembali. Yura menyetujuinya, pak Kim akan marah besar jika melihatnya masih berada di luar kantor. Clary berjalan di samping Yura, sesekali Yura mengatakan hal lucu, namun tak ada yang bisa membuatnya tersenyum lebar setelah mendengar betapa murah hatinya. Clary tertunduk metapa jari jemarinya, dan tiba-tiba mata nya menangkap sebuah cincin emas putih dengan berlian kecil di tengahnya. Ada ukiran yang meliuk di sepanjang lingkaran. Sejak kapan cincin ini di sana, Clary tak ingat memakai cincin ini semalam. Bahkan kemarin Clary tak memakainya. Kenapa ia tak sadar sudah memakai cincin itu. Apa Gideon yang memakaikannya. Dentingan pintu lift terdengar, tanda bahwa pintu lift telah terbuka. Clary mendongakkan wajahnya, berniat untuk masuk ke dalam. Dan wajahnya berpapasan dengan Andrian. Pria itu ada di dalam sana. Jaket masih melekat di tubuhnya, dan helm yang terapit di salah satu lengannya. Sebelah alisnya terangkat ketika mata mereka menatap satu sama lain. .. "Kalian berdua mau berdiri saja di sana atau segera masuk dan kita naik. Ini hampir terlambat."gerutu Andrian. "Sabarlah tuan. Hei.. Jaketmu bagus Andrian."sapa Yura berjalan masuk ke dalam lift di susul oleh Clary. Clary berdiri di sebelah kanan Andrian sementara Yura di sebelah Clary. "Seseorang memilihkannya untukku. Dia cukup tahu seleraku."gumam Andrian. "Seleramu mudah ditebak."gerutu Clary. "Aha.. Kau yang lebih tahu. Aku mengandalkanmu."Andrian menyenggol bahu Clary, pria itu bersikap seperti biasa. Tadinya Clary khawatir soal sikap Andrian yang akan berubah, setelah insiden semalam tapi ternyata tidak, melegakan mengetahui hal itu. Yura sampai di lantainya, dan wanita itu berlari dengan cepat. Ketika pintu lift tertutup Andrian menekan tombol lantai teratas menuju roof garden. Dahi Clary mengerut dan beralih menatap Andrian yang kini berdiri membelakanginya. "Kau harus menjelaskan semuanya. Aku tahu biaya pertobatan nenekmu semua dibayar atas nama Gideon Greshon. Katakan ada apa! Aku tahu kau punya rahasia besar kenapa bisa tiba-tiba jatuh hati pada pria brngsek itu." Ketika Andrian berbalik menghadapnya. Wajahnya nampak serius. Kenapa pria itu tak menyerah saja dab pura-pura tak tahu tentang dia dan Gideon kenapa Andrian begitu penasaran. "Andrian."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN