Dia merasa canggung. Itu sebabnya dia hanya diam meringkuk di kursinya selama perjalanan pulang.
Dia berusaha tak mengingat apapun tentang kejadian semalam. Karena sekelebat saja bayangan itu muncul di kepalanya, tubuhnya langsung meremang dan gelenyar aneh terasa di perutnya. Jantungnya pun ikut berdetak kencang. Terlebih saat teringat suara Tuannya yang dalam dan serak tepat di telinganya.
Candice menelan ludah susah payah.
Dirinya sendiri tak mempercayai apa yang sudah terjadi. Dia… dan Tuannya… mereka melakukan….
"Kau ingin ke kamar kecil?"
Cepat - cepat dia menggeleng sebagai jawaban. Memang ada rasa tak nyaman di bawah sana. Tapi dia tahu, itu bukan karena dia ingin ke kamar kecil. Itu karena…
"Non, ça va, Monsieur. Tidak, saya baik - baik saja."
Kebetulan mereka sedang berhenti di lampu merah. Karenanya, Tuannya kini bisa memandanginya dengan sedikit leluasa.
Dan itu membuat sesuatu di dalam dirinya kembali menggeliat dan membuat wajahnya tersipu. Tuannya selalu memandanginya dengan intens. Tapi kali ini terasa berbeda. Terasa spesial. Apakah alasan selama ini Tuannya bersikap seperti itu adalah karena…
Astaga, Candice tak sanggup membayangkannya. Rasanya hatinya kini membengkak karena… tersanjung? Bahagia? Keduanya?
"Masih terasa sakit?"
***
Rasanya, dia tak pernah merasa setegang ini saat bersama Tuannya. Meskipun awalnya dia sedikit takut karena wajah tampan itu jarang terhias senyum, dan hampir selalu menatapnya dengan agak melotot, tapi dia tak pernah tegang menanggapinya.
Dia selalu berpikir, dia sudah dibayar. Apalagi memang gajinya dibayar di muka. Jadi dia harus mengurus Tuannya yang tinggal di kastil dengan baik.
"Tuan sakit?" Bisiknya saat mereka berhenti di sebuah toko bertuliskan pharmacy.
Sejak pertanyaan frontal Tuannya yang menanyakan keadaannya pasca saat pertamanya bersama seorang pria, suaranya yang biasanya sering terdengar dan cerewet kini mendadak menghilang. Mereka berkendara dalam diam selama sekitar tiga jam hanya ditemani oleh suara rintikan hujan.
Sesekali, dia melirik pada tangan kokoh Tuannya yang sedang memegang kemudi untuk mengendalikan mobil dengan mantap. Hujan memang tak terlalu deras, tapi angin kadang - kadang datang membuat jalanan seperti layaknya arena pacuan mobil.
Dan Dia jadi sedikit kaget karena tiba - tiba mereka berhenti di sini.
"Tunggu di sini." Hanya itu yang dikatakan oleh Tuannya sebelum keluar dari mobil dan masuk ke dalam ruko kecil tersebut.
Candice hanya mengangguk. Terkesima dengan postur tinggi dan tegap Tuannya saat pria itu berjalan sedikit tergesa untuk menghindari hujan saat memasuki toko. Hanya memandanginya saja, rasanya jantungnya hampir ikut meledak.
"Ada apa?" Bisiknya pada diri sendiri.
Perasaannya pada Tuannya kadang terasa menyenangkan, tapi kadang juga terasa memalukan seperti ini. Dia tak tahu ini normal atau tidak. Ini pertama kali baginya. Dan dia tak punya seseorang untuk ditanyakan.
Mungkin dia bisa bertanya pada Oma, atau Lucas? Tapi dia terlalu malu. Jangankan untuk membicarakannya. Baru dirasakan seperti ini saja wajahnya sudah terbakar panas.
Hujan membuat suasana di mobil semakin dingin. Perbedaan udara di dalam dan di luar mobil membuat kaca mobil berembun sampai - sampai dia bisa menuliskan sesuatu di sana.
"Astaga!" Kesiapnya saat sadar bahwa yang dia tulis di sana adalah nama Tuannya.
Buru - buru dia menghapusnya dengan panik.
Tuannya dan hujan.
Candice tak pernah merasa begitu sentimentil terhadap cuaca tertentu. Tapi dia sedikit menyukai hujan. Karena di hari hujan, Mamanya tak akan keluar rumah untuk bekerja. Dan mereka biasa berpelukan sepanjang hari untuk menghangatkan diri sambil bercerita.
Lebih tepatnya, dia mendengarkan apapun yang ibunya katakan. Walaupun kadang tak sinkron antara cerita satu dengan yang lainnya. Tapi mendengar suara Mamanya, rasanya menyenangkan. Membuat dirinya merasa hangat.
Dia pasti melamun sangat dalam hingga tak melihat Tuannya kembali. Dia baru sadar saat suara pintu mobil tertutup terdengar dari arah sampingnya.
Tuannya meletakkan bungkusan plastik di atas dashboard dan mengusak rambutnya. Mengusir butiran air hujan yang singgah di sana.
Bahkan sesederhana gerakan mengusak rambut saja membuat Candice melongo terpesona.
Sekarang, hujan membawa satu lagi perasaan bahagia untuknya.
***
Mereka berdua bernafas terengah. Dia masih berada di atas pangkuan Tuannya. Dengan bagian bawah gaunnya tertarik ke atas dan bagian atas gaunnya tertarik ke bawah. Blazer yang dipakai untuk menutupi bahunya dan sebagai pelengkap penampilan entah dilempar Tuannya ke mana.
Penampilan Tuannya pun tak lebih baik. Kemejanya terbuka dan celananya turun hingga pertengahan pahanya.
Mereka masih menyatu. Candice masih bisa merasakan Tuannya di dalam dirinya. Dan itu membuatnya kembali berdebar. Dan tak sadar menggerakkan pinggulnya.
"Non. Kita harus istirahat. Kau masih kesakitan."
Suara dalam Tuannya yang langsung terdengar di telinga kirinya membuat tubuhnya bereaksi seketika. Dia memberanikan diri mengalungkan kedua lengannya ke leher kokoh Tuannya untuk menahan diri menurut pada Tuannya. Agar mereka tak bertindak semakin jauh.
Mereka masih sekitar satu jam jaraknya dari kastil. Hari sudah gelap. Hujan sepanjang jalan membuat perjalanan mereka sedikit lambat.
Tiba - tiba di jalan yang sepi dengan banyak pepohonan di kanan dan kirinya, Tuannya menghentikan mobil.
"Pindah ke kursi belakang."
Dia menatap Tuannya bingung. Bukankah kemarin saat berangkat dia tak diperbolehkan duduk di kursi belakang? Lalu sekarang?
"Tuan?"
"Aku tak suka mengulang perkataanku. Harus berapa lagi kukatakan hal itu?"
Geraman rendah Tuannya membuat Candice sedikit ketakutan hingga buru - buru membuka pintu mobil di sebelahnya dan turun untuk pindah ke belakang.
Dia sedang mencari sabuk pengaman untuk dipakai saat kursi sebelahnya sedikit amblas.
"Tuan?!"
Dia berseru kaget saat Tuannya juga ikut masuk ke kursi belakang. Mereka berdua ada di kursi belakang! Lalu siapa sekarang yang akan menyetir? Apakah ada orang lain yang akan masuk menggantikan? Di tempat sepi begini?! Apakah orang tersebut bisa dipercaya? Bagaimana kalau orang itu memiliki niat jahat?!
Dia berpikir panik, menolehkan kepalanya ke segala arah, membuat rambut panjangnya yang hari ini digerai, karena saat mereka berangkat tadi masih lembab, mengayun ke segala arah mengikuti gerakan kepalanya.
"Kau mencari siapa?" Tanya Tuannya tenang.
"Kenapa anda di sini? Lalu siapa yang akan mengemudi mobilnya?!" Tanyanya dengan suara yang sedikit melengking karena panik.
"Diamlah."
Dia menutup mulutnya dengan terpaksa, meskipun masih banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalanya, saling menabrak di belakang lidahnya untuk ditanyakan.
Tuannya meraih salah satu pergelangan tangannya, jempolnya tepat berada di titik di mana nadinya berdenyut, seolah sedang menekan tombol yang seketika bisa memanaskan seluruh darah di dalam tubuhnya, membuat tubuhnya meremang.
"Naik ke pangkuanku." Perintah Tuannya singkat.
Kepanikannya langsung berubah dengan cepat menjadi kebingungan. Untuk apa?! da banyak kursi kosong di sini. Kenapa Tuannya ingin memangkunya? Mereka bisa duduk sendiri - sendiri.
"Cepatlah!"
Mendengar nada suara Tuannya yang mulai tak sabar, dia segera menurut. Naik ke atas pangkuan Tuannya dan duduk dengan sedikit kaku di sana.
"Bukan begini."
Bukan? Tadi dia bilang naik ke pang…
"Naik dengan posisi menghadapku."
"Oh!"
Dia berseru paham. Lalu diam lagi karena kebingungan bagaimana cara melakukannya. Dia memakai gaun, setengah paha panjangnya. Dan kaki Tuannya tidak tertutup rapat. Bagaimana…
"Buka kakimu dan naik. Cepatlah!"
Begitulah awalnya hingga mereka berdua bisa berakhir dengan posisi seperti ini.
Dia tak menyangka aktivitas seperti ini bisa dilakukan juga di dalam mobil. Dia kira… bukankah mereka menyebutnya kegiatan ranjang? Jadi bukankah seharusnya kegiatan tersebut dilakukan di atas ranjang?
Tuannya bergerak meraih jaketnya yang tadi juga dilempar entah ke mana. Gerakan yang membuatnya ikut bergerak juga. Dia berpegangan, takut terantuk atap mobil dan jatuh.
"Ini."
Dia sedikit menjauhkan tubuhnya dari Tuannya untuk melihat apa yang diulurkan Tuannya padanya. Sebuah strip dengan banyak pil kecil.
"Ini?"
"Minum itu setiap kali setelah kau bersamaku."
Candice memandanginya bingung.
"Itu agar kau tak kesakitan lagi. Ingat. Minum setiap kali habis bersamaku."
PS:
abis ini pasti aku diserbu sama tim emak - emak yg minum pil KB, dan dipersuasi sama emak - emak pemakai IUD