Dia duduk Bersandar di kepala tempat tidur. Laptop menyala dan terbuka di atas pangkuannya yang tertutup selimut.
Jari jemari tangannya dengan lincah mengetik deretan huruf yang berubah menjadi kata, kalimat dan paragraf di sana. Sudah hampir satu jam, dan dia sudah mendapatkan hampir dua bab. Kali ini pun, rasanya seperti menulis diary. Lancar dan tanpa hambatan.
Dia menoleh ke samping, pada sosok yang tertidur tengkurap menampakkan punggung telanjangnya di sisi lain ranjangnya. Sosok yang membuat inspirasinya meledak - ledak menuntut untuk segera dituangkan.
Candice.
Seperti yang diduganya, masih amat amatir. Semalam adalah saat pertama gadis itu. Baginya juga. Kali pertamanya bersama seorang gadis yang belum pernah terjamah.
Dia sempat khawatir. Theo bukan pria yang lembut di atas ranjang. Di tempat ini, dia adalah penguasanya, aturannya, dia bergerak sesukanya. Meskipun tak diragukan lagi kemampuannya, tapi Candice adalah first timer. Dia sempat gugup, bagaimana kalau dia terlalu kasar, bagaimana kalau gadis itu kesakitan, dan pemikiran - pemikiran lainnya.
Tapi desahan lembut dan erangan malu - malu gadis itu mampu mendorongnya sampai ke tepian. Membuatnya mengambil keputusan yang tak bisa dia batalkan. Sekali dia mulai, dia tak bisa berhenti. Semalam pun sama saja.
Dia tak menghitung. Bahkan dia masuk terus menggenjot tubuh lemas Candice saat gadis itu lemas tak berdaya kecapean. Faktor karena belum makan seharian dan berkali - kali dibuat datang olehnya.
Theodore merasa kasihan. Tapi akal sehatnya menghilang entah ke mana. Saat gadis itu sadar, dia kembali menyerangnya. Dia seperti orang sakaw yang menyandu. Candunya adalah gadis itu. Dia tak bisa berhenti.
Suara bel pintu membuatnya mendongak. Sosok di sebelahnya juga ikut menggeliat karena istirahatnya terganggu. Tapi Candice belum bangun. Matanya masih terpejam.
Dia meletakkan laptopnya di atas meja samping tempat tidur dan beranjak, tak peduli meskipun tubuhnya polos tak tertutup apapun. Dia meraih bathrobe dari lemari, memakainya hanya agar terlihat pantas saat membuka pintu, dan berjalan menuju pintu depan penthouse nya.
"Room service, Monsieur."
Seorang staff hotel datang mendorong troli berisi berbagai makanan yang dia pesan tadi. Bukan hanya Candice yang kelaparan. Dia pun sama.
Dibukanya pintu lebih lebar agar staff hotel tersebut bisa mendorong trolinya masuk ke dalam.
"Tinggalkan saja di situ. Kau boleh pergi." Katanya singkat menyodorkan lembaran satu euro yang langsung diterima dengan penuh semangat oleh pelayan tersebut dan langsung membungkuk pergi setelahnya.
Dia kembali ke kamar dengan mendorong troli makanan, meletakkannya di sisi di mana Candice berada, lalu duduk di atas ranjang, di sebelahnya untuk membangunkannya.
Bukan bangun, Gadis itu malah menjawabnya dengan erangan parau yang membuat libid*nya naik kembali. Libid* pria di pagi hari bukanlah sesuatu yang bisa diajak bercandaan. Terlebih punyanya. Sekali lobid*nya naik, dan dia punya seseorang untuk melampiaskan, dia tak akan berhenti hingga dia puas.
Tapi tak bisa. Mereka kelaparan. Terutama gadis ini. Dia harus menjaga property nya agar tak rusak. Jadi saat ini, dia harus rela menahan diri.
"Disa…" dia mencoba lagi. Mengelus lengan atas dan bahu telanj*ng gadis itu dengan lembut.
Gerakan bak kepak sayap kupu - kupu yang membuat tubuh itu bergerak sedikit tersentak karena merasa geli. Kedua matanya mengernyit sebelum akhirnya membuka perlahan. Dengan linglung dia mulai mengedarkan kepalanya di sekeliling ruangan dan terkesiap saat tatapannya bersirobok dengan tatapan Theo.
"Tuan." Cicitnya dengan wajah memerah yang merambat hingga ke leher dan sebagian dad* bagian atasnya.
Dia mencoba untuk bangkit duduk. Sebelah tangannya menyangga tubuhnya, dan sebelah lagi menahan selimut agar tetap menutupi ketelanja*gannya.
"Tuan, saya…"
Kernyitan halus di wajahnya tak luput dari perhatian Theodore.
"Sakit?"
Dia tak terbiasa perhatian dengan para wanita yang dengan sukarela menghabiskan waktu bersamanya. Dia tak peduli wanita itu kesakitan atau tidak, yang dia tahu, dia sudah memberikan apa yang wanita itu inginkan. Keluasan dan pengalaman tak terlupakan. Menurutnya itu setimpal.
No gain, no pain.
Tapi pertanyaannya tadi meluncur begitu saja dari mulutnya sebelum dia bisa mencegahnya.
Candice mengerjap. Lalu pemahaman tentang apa yang mereka lakukan semalam menghambur padanya, membuat wajahnya semakin merah jika mungkin dan nafasnya jadi tersengal satu - satu.
"Saya… saya… "
Kalimatnya tak mencapai akhir.
"Kau kelaparan. Makan dulu."
Seakan ingat kalau dia adalah seorang maid. Dia langsung meminta maaf dengan wajah menyesal. Berkata bahwa seharusnya memasak dan melayani Tuannya adalah tugasnya.
"Kau sudah melayaniku. Sekarang makanlah. Je te prendrai soin. Aku akan mengurusmu (secara tak langsung bisa juga diartikan aku akan bertanggungjawab)"
***
Theodore berdiri diam di bawah pancuran air dingin di dalam kamar mandi.
Merenung, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Setelah makan, mereka melakukannya lagi. Dia kembali membuat Candice menjerit dan lupa daratan dengan aksinya.
Mereka berhenti karena kondo* yang disediakan oleh Louise di laci nakas habis. Dasar perempuan beja*. Bisa - bisanya dia terpikirkan untuk menyediakan barang laknat begitu saat dia bersama Candice, hanya berdua di penthouse ini.
Sebenarnya dia sudah selesai mandi. Dia sudah hampir keluar dari kamar mandi saat melihat Candice berjalan tertatih - tatih dengan terbungkus bathrobe, mengemasi bawaan mereka.
Dia nyaris menubruk gadis itu lagi. Merebahkannya di ranjang mereka yang masih berantakan.
"Merdre! (Salah satu makian dalam bahasa Prancis)" Makinya saat bukti gairahnya tak juga turun bahkan setelah beberapa saat berada di bawah kucuran air dingin yang terasa membakar kulitnya. Dia bisa mati membeku jika lebih lama lagi berada di bawah sini.
Suhu diuar amat dingin, hujan turun dari semalam. Meskipun sekarang sudah tak sederas malam tadi. Dia bisa mendengar suara guntur dari kejauhan saat dia bersatu untuk pertama kalinya dengan gadis itu. Suara gemuruh berisik yang tak mampu menyamarkan suara desah lembut dan erangan pelan Candice saat dia bergerak di atasnya. Saat dia selesai, bunyi hujan yang memukul kaca jendela masih terdengar.
"Apa kau harus direndam dengan es?" Geramnya sambil menunduk. Berbicara pada bagian tubuhnya yang tak menurut padanya, seperti punya pemikiran sendiri. "Tidak. Kau tak akan mendapatkan apa yang kau mau kali ini. Kondo*nya habis. Kau harus bersabar." Jeda sebelum dia melanjutkan. "Aku tahu kau sudah berpuasa amat lama. Tapi, kita sepakat untuk tak lagi mencari resiko apapun setelah kasus Juliette. Jangan menjilat apa yang sudah kau katakan, Mon ami. That's not how real men behave, Dude."
Suara ketukan terdengar di pintu kamar mandinya. Disusul dengan suara Candice yang memanggil dengan nada khawatir.
"Tuan?" Panggilnya di sela - sela ketukan. "Tuan tak apa - apa di dalam sana? Tuan sudah berada di sana hampir tiga puluh menit. Tuan?!" Suaranya berubah menjadi panik saat fak mendapatkan jawaban darinya.
Bagaimana dia bisa menjawab kalau saat ini dia sedang berjuang dengan dirinya sendiri untuk menahan diri?!
Dia memaki Louis dalam hati karena sudah mengusulkan untuk menjadikan Candice sebagai bahan risetnya, memintanya mengajak gadis itu ke sini dan bahkan menyiapkan kondo* untuk mereka.
Ya, ini semua salah Louise!