Empat Belas: Theodore

1090 Kata
Dia pasti sudah gila! Bisa - bisanya sekarang ini dia mempertimbangkan pendapat Louise untuk menjadikan Candice bahan riset novelnya. "Pancing reaksinya akan hal - hal tertentu yang kau ingin ketahui tentang romansa. Aku rasa, dia akan menjadi riset yang paling realistis yang bisa kau dapatkan selama menulis. Perlakukan dia dengan baik seperti layaknya kau memperlakukan kekasihmu. Selamat mencoba menjadi pria baik - baik, Lucifer. Aku menantikan bab berikutnya dengan tidak sabar." Saran editornya tadi sebelum berlalu pulang. Tidak apa - apakah? Dia memang sering membuat riset untuk buku - bukunya. Itu memang harus dilakukan. Meskipun dia menulis sesuatu yang tak nyata, dia tetap ingin menyajikan hal - hal serealistis mungkin agar pembacanya dapat merasakan atmosfir bukunya dengan nyata. Dia jarang menulis genre romance. Jika ada, itu terbatas pada dark romance atau military romance yang menceritakan tentang seorang tentara yang meninggalkan kekasihnya untuk terjun ke medan perang. Yang mana penceritaannya jika digabung tak akan melebihi dua hingga tiga bab dalam satu buku. Minim adegan romance yang kata Louise diharapkan oleh pembaca. Suara ketukan terdengar di pintunya. "Masuk." Pintunya terbuka, dan sosok yang sedari tadi ada di kepalanya kini muncul di hadapannya. "Tuan. Maaf. Hari ini jadwal saya membersihkan kamar Tuan." "Hmm." Dia hanya berdehem menanggapinya. Lalu menoleh lagi pada gadis itu saat dia masih saja berada di posisinya, berdiri di dekat tembok, di samping pintu. " Ada apa?" "Maaf. Apa Tuan akan berada di situ saat saya membersihkan kamar Tuan?" "Apa aku tidak boleh berada di kamarku sendiri?" Dia menggeleng cepat. Rambutnya yang tersanggul rapi ke belakang dengan menyisakan beberapa helaian membandel yang membingkai wajahnya bergoyang mengikuti gerakan kepalanya. Membuat Theodore sedikit terpana melihatnya. Candice adalah gadis yang cantik. Muda, cantik dan periang. Sosoknya lebih mirip boneka daripada manusia. Hanya saja, terlalu kurus, sehingga tulang pipinya agak terlalu menonjol. Dan Theodore kurang menyukainya. Itu saja. "Bukan seperti itu Tuan. Tentu saja Tuan boleh berada di dimana saja di kastil ini. Ini milik Tuan semua beserta isinya." "Berarti kau juga milikku?" "Pardon? (Ya?)" *** Dia masih tetap duduk di kursi kerjanya. Memperhatikan gadis itu bolak balik dan mondar mandir mengelilingi kamar untuk membersihkan tempat itu. Meskipun jelas dia gugup, tapi dia tidak berkata apapun. Gadis itu berkali - kali menabrak berbagai furniture yang ada di sana dan mendadak jadi memerah malu saat pandangan mata mereka bersirobok. Benar. Gadis itu ceroboh seperti karakter Inez yang dibangunnya. Apakah dia juga akan bereaksi seperti Inez saat berada di dekat seorang pria? Kenapa tidak dia coba saja? Theodore meluruskan tubuhnya. Dia bisa melihat bahu Candice yang semakin menegang, dia rupanya sangat sadar akan kehadirannya. Dia berjalan mendekat perlahan menuju gadis yang sedang mem vacuum lantai kamarnya yang dilapisi karpet, membelakanginya. “Sepertinya kau tegang sekali. Apa bekerja di sini membuatmu kecapean?” Theodore memijat pelan bahu kecilnya. Membuatnya sedikit terlonjak pada awalnya. “T-tuan.” Theodore bisa mendengar dengan jelas sentakan nafasnya dan wajahnya yang tiba - tiba memerah. Tangan kecilnya berusaha menjauhkan tubuhnya dari jamahan Theodore. Ya, reaksinya mirip seperti reaksi Inez yang dia bayangkan. Apakah dia harus lanjut? Menuruti saran Louise? “Kenapa? Tak suka kusentuh?” “Bu-bukan begitu, Tuan. Hanya saja, saya hanya maid. Tidak etis rasanya jika tuan memijat saya. Ini semua sudah tugas saya.” “Kenapa harus tidak etis?” Dia semakin mendekatkan dirinya pada Candice, penasaran dengan reaksi Candice selanjutnya. “Karena sudah tugas saya melayani Tuan.” “Dalam hal?” Theodore masih menatap tajam wajah yang tersipu memerah itu. Nafasnya tersengal - sengal seperti habis berlari, padahal dia tau kalau Candice tidak sedang habis berlari. Dia diam saja di sini bersamanya sejak tadi. Menarik. Menurutnya, jika gadis ini berakting, dia pasti artis yang luar biasa karena reaksinya selalu terlihat alami. Jauh di lubuk hatinya, dia masih belum ingin percaya ada orang sepolos dan senaif Candice di dunia nyata. “Segalanya.” Gadis itu menjawab berbisik, menjilat bibirnya dengan cepat dengan lidah kecilnya. Merdre! (makian dalam bahasa Prancis) Dia yang menjadi penggoda di sini! Kenapa jadi dia yang tergoda?! Dan lucunya, hanya karena jilatan singkat di bibir. “Benarkah? Kau akan melayani semua kebutuhanku?” Dia sengaja memakai kalimat yang ambigu. Ingin melihat reaksi Candice lebih jauh lagi. Gadis itu mengangguk gugup. “Pasti menyenangkan dilayani olehmu. Selesaikan pekerjaanmu. Aku akan berada di perpustakaan untuk bekerja.” Tangannya menggantung di udara, hanya beberapa sentimeter dari wajah Candice, sebelum akhirnya dia berbalik pergi. Keluar dari kamar meninggalkan gadis itu tersengal sendirian. *** Bohong. Dia tidak bekerja. Dia memang berada di perpustakaan. Tapi dia malah mengeluarkan koleksi vodka dari tempat persembunyian yang sejak dulu Ayahnya pakai. Dia tidak repot - repot mencari gelas. Dia langsung menenggak isinya dari botol, menuangkan nya begitu saja ke dalam kerongkongannya. Dia perlu menenangkan diri. Dia yang biasanya mengendalikan keadaan nyaris saja terhanyut oleh gadis polos yang jelas - jelas bukan tandingannya. Perasaan asing dan aneh ini… dia tidak suka. Tapi dia terus merasakannya akhir - akhir ini. Dan semakin menggila sampai membuatnya mual dan sesak nafas saat gadis itu ada di sekitarnya. Gadis itu...apakah dia menularkan penyakit aneh padanya? “Allo? (Halo dalam bahasa Prancis, Huruf h adalah huruf mati dan tidak diucapkan.)” “Hi, Pal. Mendengar dari suaramu… banyak masalah?” Itu Phillip. Bukan, bukan karakter dalam n****+ terbarunya, tapi salah satu temannya. Mungkin satu - satunya yang berani mendeklarasikan diri sebagai orang dekatnya. “Ada apa menelpon?” Dia tidak terpancing untuk menceritakan apapun pada pria itu. “Kau benar sedang mengasingkan diri? Kau jarang terlihat di sekitar sini akhir - akhir ini.” “Aku tidak tau kalau kau begitu membutuhkanku sehingga mencariku saat aku jauh.” Dia meledek. Hubungan keduanya memang aneh. Jauh dari kata harmonis, tapi saling membutuhkan. “Sial*n. Hei, walaupun beritanya sudah menghilang akhir - akhir ini, aku dengar kau mendapat masalah dengan model majalah dewasa itu?” “Sekarang kau tertarik pada kehidupan pribadiku?” “Ya Ampun… Ecoute, Theo (Dengar Theo). Aku menelpon karena tidak ingin kau terjerat semakin banyak masalah. Aku baru tau akhir - akhir ini kalau perempuan itu adalah mantan kekasih… anak ayahmu yang lain.” Theodore menyeringai. Phillip cukup bijaksana untuk tidak menyebutnya sebagai Kakak tiri. Setidaknya tidak di depannya. “Mengingat hutang budimu padaku, bukankah itu hal yang pantas kau lakukan?” “Dasar Tuan Arrogant. Dengar. Dia sering sekali datang ke sini akhir - akhir ini. Membuatku kewalahan setengah mati. Aku sudah memblacklist nya dari kelab, tapi dia menggunakan otaknya untuk berpikir dan selalu bisa mendatangiku.” “Siapa yang kau maksud?” “Mereka berdua. Perempuan itu dan Leo. Mereka mencarimu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN