Maaf ya, lama update nya >_Oui, Monsieur.” Suara tersebut membenarkan. “Anda ingin saya menyalakan lampunya? Maaf, saya sudah mengetuk beberapa kali tadi sebelum masuk, tapi tak mendapatkan jawaban. Saya khawatir Anda kenapa - kenapa.”
“Duduklah.”
Dia pasti sudah terlalu mabuk. Rasanya saat ini kepalanya kosong dan ringan. Matanya terasa berat seperti mengantuk, tapi banyak hal malah memaksa masuk dan berseliweran di dalam kepalanya.
Dia tidak berharap banyak maid nya yang polos dan bodoh, atau itu hanya kamuflase saja yang membuatnya terlihat tidak seperti perempuan kebanyakan itu, akan menurut. Tapi ternyata dia menurut. Terbukti dengan tidak terdengarnya suara langkah kaki ataupun suara pintu yang terbuka dan tertutup menandakan adanya orang keluar masuk ruangan tersebut.
“Kau tau, aku benci berada di sini. Amat sangat.” Katanya tanpa bisa menahan diri. Dia butuh teman bicara. Siapapun. Bahkan boneka pengusir burung gagak pun mungkin bisa memberinya halusinasi akan kehadiran seorang teman.
Suaranya hilang ditelan keheningan dan kegelapan. Tidak ada sahutan dari belakangnya, dan dia pun melanjutkan. Kaki dan tangannya sudah mulai terasa berat.
“Di sini tempat aku tumbuh. Tempat yang tak bisa digantikan oleh tempat terindah manapun di dunia karena di sinilah aku menghabiskan waktu dengan Mama. Dia adalah cinta pertamaku, Disa. Bahkan di usia saat aku belum mengerti bahwa kata cinta itu ada. Dia perempuan pertama yang mengajarkanku segalanya.” Bibir tebal yang berada di antara dua rahang tegas itu tersenyum. Matanya menatap sayu setengah terbuka pada kegelapan malam. Tidak ada rembulan di sana, gelap, pekat, tertutup mendung.
Ingatan tentang sosok cantik yang dia panggil Mama mengalir deras selama dia di sini. Memenuhi dirinya dengan memori bagus dan juga memori yang tidak ingin dia ingat lagi untuk seumur hidupnya. Membuatnya seperti hidup di tepi kegilaan. Tersiksa tapi bahagia.
"Monsieur…." Suara Candice hanya berupa bisikan ragu. Tak yakin harus menanggapi cerita ini seperti apa. Yah, dia tidak mengharapkan tanggapan apapun. Dia hanya ingin mengeluarkan semuanya dan menjadi lega.
"Sulit untuk bertemu dengannya lagi. Je l'esaayé (Aku sudah mencobanya)." Katanya memberi tahu bahwa dia berkali - kali mencoba untuk bersama kembali dengan sang Mama.
"Sejauh itu?" Lagi, suara itu hanya berupa bisikan dalam kegelapan. Tanpa melihat wajah dengan senyum bodoh itu, suara Disa terdengar sepuluh kali lebih baik. Suaranya amat feminin, dengan nada yang seperti nyanyian peri.
"Trop loin (Terlalu jauh)." Dia membenarkan. "Dia dikirim menghadap Hades oleh orang yang paling dicintainya. Ayahku sendiri."
"Pasti kecelakaan yang buruk." Suara tersebut menyahut pelan. Dia tak yakin sekarang gadis itu ada di mana. Suaranya sudah tidak berasal dari belakangnya, tapi tidak terdengar pula suara langkah yang menandakan adanya perpindahan tempat. Kegelapan ini seharunya menajamkan inderanya bukan?
"C'est pas un accident (Itu bukanlah suatu kecelakaan)." Dia menyangkal bahwa kejadian itu bukanlah sebuah kecelakaan. Kecelakaan apanya. "Mama dibunuh karena menyaksikan suaminya bercinta dengan perempuan lain di kamar tidur mereka. Dan itu semua dilakukannya di depan putra semata wayangnya." Tambahnya pahit.
"Maafkan saya, Monsieur."
"Bagaimana denganmu? Apakah kau masih punya orang tua?"
Hening cukup lama. Matanya kini benar - benar tertutup sepenuhnya, tapi dia tidak tidur. Dia mengira perempuan itu tidak akan pernah menjawab pertanyaannya.
"Ibu saya juga sudah tiada." Jawabnya. "Saya… Ibu saya adalah seorang pekerja sek* komersil… karenanya, saya tidak pernah tau siapa ayah saya." Dia menjawab lirih.
Ah…. Cerita yang tak kalah kelam dengan miliknya.
"Aku tidak ingat kau pernah menyebutkan namamu."
"Candice, Monsieur. Hanya Candice."
"Nama keluargamu?" Kejarnya.
"Saya tidak pernah memilikinya. Hanya Candice."
“Apakah Ibumu tidak memiliki nama keluarga?” Aneh sekali.
“Gladys Besnier.”
Seketika matanya terbuka lebar. Efek alkohol yang sedari tadi mengungkungnya seketika menghilang entah ke mana.
“Siapa kau bilang?”
“Nama ibu saya Gladys Bes….”
“Kau tau, kau bisa dipenjara jika berbohong?!”
“Pardon, Monsieur?”