Dua Puluh Dua: Theodore

1457 Kata
Dia berbohong pada gadis pelayannya itu. Theodore bukan orang suci. Sedari muda, dia sudah bersimbah dosa. Dia seperti memang dilahirkan dengan menuruni sifat - sifat Ayahnya yang hampir seperti titisan Lucifer. Meskipun pada kenyataannya dia amat membenci pria itu. Tuhan? Karena Dia mengambil seseorang yang paling berharga untuknya, maka Theo meninggalkannya. Sedari dulu, dia tak pernah ragu untuk melakukan hal - hal tak terpuji. Dia memang belum pernah membunuh. Tapi bukan berarti tak akan dilakukannya jika ada seseorang yang melangkah melebihi batasnya. Candice adalah semua dari kebalikannya. Polos dan seperti tak ternoda. Karakter Inez yang dia ciptakan memang seperti itu, bodoh dan naif. Tapi dia tak percaya kalau gadis itu benar - benar sepolos itu. Tak ada manusia yang suci baginya dia masih yakin kalau gadis itu hanya sedang menggunakan muslihat padanya. Inez adalah karangannya, seseorang yang tak nyata, sedang Disa adalah manusia yang sebenarnya. Pun jika memang benar dia sepolos itu, maka itu merupakan suatu keuntungan bagi Theo karena tak akan susah untuk menggiring Disa masuk ke dalam perangkapnya. Selain menjadi bahan risetnya, dia akan membuat gadis itu bermanfaat di hal - hal lain juga. "Saya tak tahu pekerjaan ibu saya apa hingga umur saya sekitar dua belas tiga belas tahun. Meskipun Ibu saya tak seperti orang - orang pada umumnya, tapi dia amat mampu menjaga saya dengan baik. Dia menyembunyikan saya di rumah, sementara beliau bekerja." Akhirnya gadis itu bercerita juga. Dia mengerutkan keningnya mendengar perkataan gadis itu. "Tidak seperti orang - orang pada umumnya? Maksudnya?" Candice terdiam. Mulutnya yang tadinya terbuka siap untuk menjawab, kembali terkatup. Kepalanya menunduk menekuri jemarinya yang bertaut di atas pangkuannya. "Ibu saya…. Mengalami kelainan kejiwaan… Attention, Monsieur ! Hati - hati Tuan!" Dia berseru khawatir saat mobil yang mereka tumpangi direm dengan tiba - tiba. Candice membalas tatapannya matanya yang tak percaya itu dengan takut - takut. Fakta apa lagi ini?! Besnier yang menjadi penjaja kenikmatan murahan, dan…. Memiliki kelainan jiwa? Sepertinya dia sudah memiliki skenario yang cukup akurat tentang alasan kenapa Ibu Candice merupakan satu - satunya Besnier yang terdampar di Marseille. Dia harus mencari Phillip, temannya itu harus mau membantunya untuk menyelidiki sesuatu. "Aku tak menyangka kalau Ibumu…." Candice tersenyum saat dia tak melanjutkan kalimatnya. Setelah berdehem beberapa kali. Dia kembali melajukan mobilnya. "Dan kau tak terkejut saat itu?" "Non." Jawaban tersebut datang dalam bisikan pelan. "Saya selalu menyayangi Mama dan mungkin, meskipun banyak yang membenci kami, aku bangga padanya." Dia tertawa kecil. Tangannya terangkat untuk menyeka sudut matanya. "Tu pleures? Kau menangis?" Theodore bukan orang yang memiliki tingkat simpatik dan empatik yang tinggi. Dia jarang mau melakukan hal hanya untuk berbasa basi dan tak pernah merasa tak enak jika haris menolak, meminta atau mengatakan sesuatu pada orang lain. Tapi dia sedikit iba melihat Candice menangis. Meskipun tak se drama teman - teman wanitanya yang selama ini pernah dekat dengannya. "Ça va, Monsieur. Saya baik - baik saja. Mengingat Mama selalu membuat saya menjadi sedikit sentimentil. Ah… Merci." Katanya menerima botol minum yang diambil Theo dari dashboard mobil untuknya. Dia menoleh sebentar, saat Candice meminum airnya sambil sedikit memiringkan kepalanya ke arah lain. "Kau bilang kau tinggal bersama satu orang lagi? Oma?" "Ah, oui. Bahkan sampai sekarang beliau masih tinggal bersama saya." "Apakah dia juga… seperti Mamamu?" Candice menggeleng. "Tidak, dulu beliau harus sering bolak balik bersembunyi di barak penampungan saat ada razia. Tapi saat tinggal bersama kami, dia yang mengurus kami. Mama dan saya." Theo mengangguk. Dia sekarang bisa sedikit mengerti dan memahami sikap Candice. Dia bertingkah laku seolah dia orang Asia, bukan orang Eropa. Sedikit sungkan pada orang lain, punya sikap disiplin dan patuh yang tinggi, dan terlalu sopan untuk ukuran orang Prancis. Orang Prancis cukup cuek, meskipun saat mengenal lebih jauh, mereka lebih friendly dan punya rasa kekeluargaan yang tinggi. "Bukankah, dia sudah cukup berumur untuk tinggak sendirian?" Candice menoleh padanya, namun dia dengan cepat membuang wajahnya. Theo sadar. Mungkin pertanyaannya terdengar tak sensitif. Tentunya gadis ini tak punya pilihan. "Kenapa tak kau bawa dia untuk tinggal di kastil?" Tanyanya kemudian. Candice menggeleng cepat. "Itu tak ada dalam perjanjian kerja. Lagipula, Oma sedang sakit saat ini. Saya tak ingin anda ataupun siapapun yang tinggal di kastil merasa tak nyaman." "Kalau dia sakit, bukankah seharusnya kau merawatnya dan dekat dengannya sepanjang waktu?" Suasana mobil hening. Hanya suara mesin mobil saja yang terdengar di antara mereka. "Apakah kau keberatan aku mengunjungi tempat tinggalmu?" "Pardon?!" *** Perjalanan mereka kali ini hampir delapan jam perjalanan. Mereka berangkat sekitar pukul sepuluh pagi dari Marseille, dan kemungkinan akan tiba di Paris pukul enam sore. Mereka berhenti di rest area sebentar untuk makan siang, dan ke kamar kecil. Di sana, Theo sempat menelpon editornya Louise yang perannya lebih mirip dengan sekretarisnya daripada seorang editor. Wanita itu mengurus hampir semua keperluannya. Tapi dia tak merasa bersalah meminta tolong seperti itu. Dia memberikan bagi hasil dengan jumlah yang amat layak dari royalti yang dia terima dari penjualan buku - bukunya. Dia meminta Louise untuk menyiapkan penthouse nya. Satu unit miliknya sendiri di puncak hotel The Penisule Paris. Louise yang memberi tahunya bahwa ada unit penthouse dijual di sebuah hotel. Dia bisa membelinya untuk berinvestasi. Jadi uangnya tak akan habis hanya untuk berfoya - foya dan diporoti oleh gadis - gadis yang dikencaninya. Mengencani gadis - gadis dari kalangan atas tak menjamin bahwa mereka tidak mata duitan. "Aku masih tak percaya kau akan datang di acara award kali ini!" Pekiknya di ujung telepon. "Aku juga tak percaya aku menuruti saranmu untuk datang dan membawanya serta." Louise mendecakkan lidahnya. "Kau tak akan menyesal. Dia bukan pasangan yang memalukan untuk dibawa melintasi red carpet." Theo tahu editornya itu berkata benar. Tapi tentu saja dia tak akan mengakuinya segamblang itu. Orang yang sedang mereka bicarakan sendiri sedang berada di dalam kamar mandi. Mabuk perjalanan. Dia pusing, dan merasa mual. Mungkin ini pertama kalinya gadis itu naik mobil sejauh ini. Theo tak bertanya. Suasana di dalam mobil jadi agak canggung setelah dia dengan berani mengundang dirinya sendiri untuk mengunjungi tempat tinggal gadis itu. Mereka diam saja hingga dia memergoki kepala Candice berayun - ayun rendah karena mengantuk. Dia menurunkan sandaran kursinya agar posisi Candice tak terlalu ekstrim di sebuah pemberhentian lampu merah. Saat hendak kembali, mendadak mata tersebut terbuka, membuat mereka saling bertatapan dalam jarak yang cukup dekat. Dan dia melihat kilatan itu lagi. Kilatan yang tak asing lagi baginya. Kilatan gairan di mata polos Candice. Dia meminta maaf dengan lirih sebelum memalingkan wajahnya dan mengerjapkan matanya sambil menjilat cepat bibir atasnya. "Dengan begini, tidurmu akan lebih nyaman." Katanya pada akhirnya saat itu. "M-merci, Monsieur." "Semoga dia tak mempermalukan diriku besok di sana. Misalnya terserimpet gaunnya dan jatuh terjerembab di depan orang banyak." Louise tertawa mendengar guyonan garingnya. "Kau harus melatih himormubagar lebih manusiawi, Lucifer. Bahkan karakter di dalam bukumu lebih bisa melucu daripada kau, creator nya." Itu benar. Tapi lagi - lagi dia tak akan mengakuinya begitu saja. "Diamlah! Sudah kau siapkan juga semuanya? Sepertinya kami akan memerlukan make up artist. Dia belum terlalu pintar berdandan. Dan sepertinya kami harus berbelanja, dia tak punya gaun, aku yakin." Lagi - lagi decakan Louise terdengar. Ada apa dengan perempuan ini dan decakannya? Dia merasa ditegur karenanya. "Serahkan semua padaku. Kau tinggal tunggu saja hasilnya. Akan aku siapkan dia sebaik mungkin. Tugasmu adalah menggandengnya melewati red carpet, naik ke atas panggung untuk memberikan sambutan dan pulang dengan membawa pialamu. Tu comprends? Mengerti?" "Ya ya ya. Aku tutup dulu." Dia menutup ponselnya saat melihat Candice berjalan dengan lemas keluar dari kamar kecil dan menghampiri dirinya. Rest area ini tak begitu ramai, tapi juga tak sepi. Gadis itu berjalan pelan menghampirinya, kaki jenjangnya yang dibalut wedges melangkah dengan mantap, tak lagi oleng seperti awal - awal dulu. Mantelnya tersibak, memarkan perawakannya yang langsing, dengan payudar* penuh tapi tak terkesan seronok, dan pinggul bulatnya. Gadis itu memiliki proporsi tubuh yang bagus. Tanpa wajahnya, dia bisa saja menjadi seorang model. Tapi sepertinya saat membuatnya Tuhan sedang berbaik hati. Dia memberikan tubuh dan wajah yang bagus, yang sering diimpikan banyak wanita hingga rela membayar mahal dan terbaring kesakitan di atas ranjang operasi untuk mendapatkannya. Theo mengerjap, malu mengakui bahwa dia sempat tersihir pesona Candice. Dia kemudian mengedarkan pandangannya dan mendapati beberapa pria di sana juga sedang memandangi maid ya itu dengan pandangan yang sama. Membuatnya mengumpat dalam hati. Dia tak suka miliknya dilirik dan dinikmati banyak orang! Tangannya mengepal dan giginya bergemeletak geram. Untungnya, Candice cepat sampai di mejanya, membuat mereka yang sedari tadi terpana itu memalingkan kembali wajahnya dengan ekspresi kecewa. Ternyata sudah ada yang punya. "Monsieur?" "Lanjutkan makanmu. Kemudian minum ini. Perjalanan kita masih seperuhnya lagi." Dia meletakkan obat anti mabuk perjalanan yang tadi didapatkannya dari pharmacie (apotek) terdekat di depan gadis itu. Candice hanya mengangguk dan kembali melanjutkan makannya yang tadi sempat tertunda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN