Dua Puluh Satu: Candice

1029 Kata
Candice memandangi pria yang sedang menyetir dan terlihat fokus pada jalanan di depannya. Barusan… dia tak salah dengar, kan? Tuannya ingin mendengar cerita tentang ibunya? Dia masih ingat ekspresi tuannya saat dia mengatakan nama ibunya, terlihat amat marah. Yang hingga sekarang dia tak tahu apa alasannya. Apakah…. Apakah Tuannya pernah menggunakan jasa ibunya? Dia mengerjap cepat, berusaha mengenyahkan pikiran itu.  Dia tak benci pada ibunya karena pekerjaannya. Dia memahami bahwa dengan keterbatasan Ibunya, dia masih terpikirkan cara untuk bertahan hidup, melahirkan dan membesarkanya seorang diri. Itu tak mudah. Malah, kalau dia harus jujur, dia bangga terhadap Ibunya. Hanya saja… bayangan Tuannya berhubungan dengan Ibunya… itu sama sekali bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dibayangkan. Disa berdehem, menarik paksa dirinya untuk kembali pada saat ini. “Ibu saya… apa yang harus saya ceritakan, Tuan?” Tanyanya. “Apa yang kau pikirkan saat tahu pekerjaan Ibumu?” Dia terdiam. Dia sering sekali mendapatkan pertanyaan serupa. Biasanya dengan nada penuh keingintahuan yang tak perlu, atau nada mengejek. Dia tak pernah mengingkari bahwa dirinya lahir dari ibu yang berbeda dengan orang kebanyakan. Ibunya istimewa. Dia juga menerima takdirnya sebagai anak yang terlahir entah dari benih siapa saja yang tertampung di rahim ibunya. Bagaimanapun, itu Ibunya. Dia tak pernah meminta dilahirkan. Pun Ibunya, tak pernah meminta untuk diberi beban tambahan untuk diajari moral dan nilai - nilai kehidpan lainnya sementara saat itu kehidupannya sendiri kacau balau. Hari ini masih hidup, masih bisa makan, besok belum tentu. Bisa jadi tubuhnya memar dan luka - luka karena dipakai oleh pria tak bertanggung jawab dan memiliki penyimpangan dalam berhubungan badan.  Dia pernah menemukan Ibunya dengan kaki berdarah - darah dan wajah penuh memar di tergeletak begitu saja di gang sepulang sekolah. Dia berteriak - teriak histeris meminta pertolongan, tapi semua orang yang ada di sana hanya memandanginya saja sambil lewat. Akhirnya, dengan tertatih - tatih, dia membawa ibunya pulang dan mengobatinya sendiri di rumah.  Ya, dia tak membawa ibunya ke rumah sakit. Uang dari mana? Walaupun ada, Ibunya tak akan memberikannya padanya. Dia bilang dia menabung untuk masa depan Disa. Dia bahkan masih ingat suara ibunya yang masih terdengar riang di telinganya saat dia membersihkan lukanya sambil menangis. “Ca va, cherie, ca va. Tak apa, Sayang, tak apa. Ini terlihat mengerikan tapi tak sakit. Mama masih bisa berdiri dan membuatkanmu ratatouille. Kita masih punya beberapa aubergine (jenis terong ungu yang besar) dan courgette (zucchini) untuk dimasak.” Saat itu Omanya kebetulan sedang bersembunyi di camp pengungsi perang bersama teman - temannya yang lain karena beberapa hari terakhir ada pemeriksaan tentang status imigrasi seseorang. Dia tak ingin dideportasi atau dikirim ke negara antah berantah yang jauh untuk suaka, jadi dia bersembunyi di sana hingga suasananya aman. “Disa?!” Dia tersentak kaget dan lebih kaget lagi saat menemukan dirinya ternyata sedang melamun. “Ah! Pardonnez-moi, Monsieur! Maaf.” Dia meringis saat melihat tuannya mendesis. Bagaimana mungkin dia tak meminta maaf saat dirinya berbuat salah? Bagaimana caranya? Tuannya mengangguk, membuatnya berpikir bahwa kali ini dia kan dilepaskan. Tapi dia kemudian menelan ludahnya kasar saat mendengar penuturan tuannya selanjutnya. “Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?” Kesepakatan? “Kau, akan kuhukum jika kau meminta maaf?” “Pardon?!” Dalam hati dia memukul kepalanya sendiri. Dia lidahnya sudah tersetting otomatis untuk mengatakan kata itu. Bahkan, mungkin kata itu adalah kata pertama yang dia ucapkan saat dia bisa berbicara dulu, mengingat seringnya dia mengucapkannya. “Ehm, haruskah aku menghukummu sekarang?” Disa menggigit bibirnya dengan khawatir, menatap Tuannya dengan pandangan yang memelas. “Hukuman… hukuman apa yang akan ada berikan untuk saya, Tuan?” “Hmmm…” Tuannya itu menggaruk ujung dagunya dengan kuku telunjuk tangan kirinya. Gerakan kecil yang membuat dia tersipu, entah kenapa. Menurutnya, gerakan yang dilakukan Tuannya barusan, amat…. Dia bahkan malu mengakuinya, tapi rasanya seperti dia telah menyaksikan Tuannya melakukan hal yang tak senonoh tepat di depan matanya. Mungkin karena wajah tampan Tuannya? Atau tangan bahkan jari - jarinya yang terlihat kuat dan berorot? Entahlah! “Sejujurnya, aku belum memikirkan hukuman apapun untukmu saat ini. Jadi, hukumanmu kali ini ditunda, hingga aku memutuskan hukuman apa yang cocok untukmu.” Kata Tuannya setelah beberapa lama terdiam. Dia pasti sudah g*la. Seharusnya saat ini dia senang, karena hukumannya ditunda, tapi kenapa dia malah kecewa?! Ini sungguh tak masuk akal. Dia pasti sudah tak waras. Karenanya, dia hanya bisa membisikkan terima kasih dan kembali memfokuskan pandangannya pada gedung - gedung yang kini lebih sering terlihat di depan matanya. Mengira percakapan mereka sudah selesai. Tapi sepertinya Tuannya belum ingin mengakhiri pembahasannya. “Jadi, apakah kau tak ingin menjawab pertanyaanku tadi?” PS: Sedikit disclaimer untuk kepribadian Candice ya, sebelum dia dihujat, kan kasihan huhuhu Jadi Candice ini tipe seorang submisive sejati atau total submisive. Yang baca atau nonton Mr. Grey pasti tau apa itu Submisive :3 Jadi, dia adalah tipe orang yang selalu menurut pada satu orang atau satu kondisi tertentu. Biasanya dikaitkan dengan hubungan badan, sih,. Tapi untuk kasus Candice, ini teraplikasi pada kehidupan dia sehari - hari. Dia di setting dari sono buat jadi anak yang nurut sama ortunya. Karena keadaan juga, kan. Dia dibesarkan dengan Ibunya yang nggak normal, dia nggak punya role model lain yang sempurna untuk ditiru. Ada Oma juga kan dia nggak selalu ada di sana buat Candice. Jadi pada dasarnya, Candice ini tumbuh besar sendiri, meniru dan menelaah apa saja yang dia lihat dan dia alami dalam hidupnya. Kepribadian Candice ini mulai jadi kuat sejak dia mulai kerja cari duit sendiri buat ngobatin ibunya. Latar belakang dia nurut banget ya.. itu tadi yang dibilang di atas, karen dia lihat Mamanya di sakiti sampe begitunya. Dia nggak mau jadi begitu. Nah, di kepala si Candice ini, begini dia mikirnya; kalau dia nurut, orang itu bakal baik sama dia, dia nggak akan diapa - apain, tenanganya bakal terus dipake dan dia bakal bisa terus dapat duit. Jadi, siapapun majikannya, dia akn sendiko dawuh nurut total sama dia. Nah, kebetulan majikan dia ini sekarang ya si Theo. Makanya nanti jangan heran ya, kok si Candice mau - mau aja disuruh begini begitu sama Theo. Kok nggak ngelawan nggak bantah. You guys already knew the answers. Begitiuuuu Updatenya dikit dulu nggak papa yaa Besok lagi XD Luv Luv!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN