Seperti perkiraannya, mereka sampai di Paris setelah hati gelap. Mereka langsung menuju hotel tempat penthouse nya berada.
Mereka tak banyak bicara di sisa perjalanan ini Gadis itu terlihat capek dan sakit. Jadi dia membiarkannya beristirahat.
Dia selesai mengambil kunci penthouse nya dari reception dan langsung menuju lift untuk naik ke lantai di mana penthouse nya berada. Ternyata selain mabuk kendaraan, Candice juga tak bisa menggunakan lift. Dia panik saat kotak besi itu menutup dan langsung mundur ke belakang untuk mencari sesuatu untuk berpegangan saat benda itu berjalan naik dengan kecepatan tinggi.
Mungkin karena tak terbiasa. Banyak orang mengalami sensasi seperti udara di sekitarnya di sedot hingga kepalanya menjadi pening tiba - tiba saat menaiki lift. Mereka akan kehilangan orientasi dan sedikit keseimbangan saat lift tiba - tiba bergerak dan beehenti. Itu normal. Hanya saja baginya, ini memalukan.
Untungnya tak ada siapapun di lift itu selain mereka berdua. Jadi rasa malunya tak tersebar. Untuk saat ini, orang - orang tak akan mengenalinya. Dia bukan siapa - siapa. Hanya wajah tanpa nama. Tapi besok… semua orang akan tahu siapa dia.
Penulis kenamaan, yang bukunya berkali - kali mendapatkan predikat best seller di seluruh dunia.
"Kalau kau tak cepat keluar, pintu ini akan menutup kembali, dan kau akan dibawa turun."
Siapa yang menyangka kalimatnya yang berupa ancaman kosong itu benar - benar dipercaya oleh Candice? Gadis itu cepat - cepat meraih tasnya, berdiri dan langsung mengikutinya keluar dari lift dengan sempoyongan.
Saking sempoyongannya, candice menabrak tubuhnya, membuat mereka berdua terdorong mundur dan menabrak tembok di belakangnya. Untunglah mereka tak jatuh ke lantai dengan memalukan.
Insting pertamanya adalah memarahi dan menegur gadis itu karena sudah tak berhati - hati. Tapi di menit dia menggunakan otaknya untuk berpikir, bayangan tubuh ramping dengan payuda*a sintal yang, perut rata dan pinggul bulat Candice yang bergoyang saat dia berjalan tadi di rest area muncul di kepalanya.
Theodore memaki - maki dalam hati, karena tubuhnya bahkan bereaksi lebih cepat dari pada petir yang menjawab panggilan kilat saat badai.
Disa bukan untuk Theodore. Dia mengingatkan dirinya sendiri. Tujuannya membawa Disa ke sini adalah untuk mengetahui reaksi - reaksi gadis itu terhadap beberapa emosi yang kompleks. Tapi tidak saat ini. Dia terlalu capek…
"Putain!"
Makiannya itu sepertinya membuat gadis itu tersadar dan segera beranjak memisahkan diri darinya. Tapi karena dia masih pusing, gerakannya tak berjalan mulus, dia berkali - kali jatuh dan berakhir dengan menggesekkan dirinya pada tubuh Theo. Membuat pria itu mengumpati tubuhnya dan Candice berkali - kali.
Dia tak menyangka tubuhnya akan bereaksi sebegitu hebatnya hanya karena bersentuhan. Dia memang memiliki libid* yang tinggi. Dia mengakui dan tak akan menyangkalnya. Tapi, keinginan tak sama dengan kesiapan. Butuh waktu dan usaha yang cukup untuk membuatnya siap. Tapi gadis ini…
Dia memijat kepalanya yang tiba - tiba pusing. Disa masih berusaha berdiri dan mencoba untuk tak tersandung atau limbung. Jika ini dibiarkan lebih lama lagi, mereka akan berakhir dengan memalukan di lorong ini.
Jadi dia menegakkan bahu candice dan memeganginya sampai gadis itu bisa berdiri tegak.
"Oh, Dieu ! Finalement! Ya ampun, akhirnya! Merci…"
Theo menaikkan salah satu alisnya. "Tak ada maaf?"
"Ah! Maafkan aku, Tuan!"
Dia tertawa dalam hati. Triknya berhasil dengan mudah. Menghukumnya jika dia meminta maaf? Dia bisa akan memanfaatkan kesempatannya ini nanti dengan amat baik. Tapi nanti. Nanti. Saat ini yang paling dia perlukan adalah… tidur.
***
"Kenapa?"
Candice terlonjak kaget mendengar suaranya, dan segera berbalik.
Gadis itu berdiri di depan pintu kamar sejak beberapa saat yang lalu tanpa bergerak. Dia sudah memperhatikannya sejak dia keluar dari kamar mandi tadi.
"T-Tuan." Katanya gugup. Tangannya menunjuk ranjang di tengah kamar. "Hanya ada satu kamar." Katanya dengan suara mencicit dan wajah kebingungan.
"Et alors ? Terus?"
Jawaban santainya rupanya membuat Candice semakin gugup. Tapi sayangnya, kali ini gadis itu cepat tanggap, membuat kesenangannya berakhir dengan cepat.
"Saya… saya…" dia berdehem karena suaranya pecah oleh kegugupan. Dia juga menjilat bibirnya. Gadis ini memiliki kebiasaan itu. Menjilat bibirnya saat dia gugup. "Saya akan tidur di sofa saja." Katanya cepat.
Kemudian dia menyingkir, menuju tas yang dibawanya san mengeluarkan perlengkapan mandinya. Theodore hanya mengangkat bahu dan melenggang masuk ke kamar, merebahkan dirinya yang pegal setelah perjalanan panjang di ranjang yang empuk.
Tidak, dia memang tidak gentleman. Tidak untuk urusan ranjang pada para gadis. Disa tak terkecuali. Jika dia ingin tidur di ranjang, dia tak keberatan berbagi. Tentu saja, dia tak akan bertanggung jawab pada apapun yang terjadi saat mereka berbagi ranjang.
Dia tak bisa disebut menipu atau memperdaya jika gadis itu bersedia. Dia dia mau, berarti dia akan naik dengan sukarela ke ranjang ini, dengan mengetahui segala resiko yang mungkin terjadi.
Dan, jika dia tak mau, well, sofa selalu bisa menjadi pilihan mereka untuk tidur. Seperti pilihan Candice saat ini.
Berharap dia menawarkan diri untuk tidur di sofa? Siapapun yang berpikir seperti itu pasti sudah tak waras. Semua ini propertinya. Kenapa dia harus tidur di sofa saat dia memilih ranjang untuk ditiduri?!
Dia membalas pesan - pesan dari Louise, Phillip dan beberapa orang lainnya sebelum tidur. Terlebih Louise. Wanita itu…. Theo tak tahu apa yang merasuki wanita itu sehingga dia amat terobsesi dengan Lucifer menulis cerita romance, sampai dia mengusulkan agar dia menjadikan Candice sebagai bahan risetnya. Seolah - olah dia tak pernah bersama dengan wanita sebelumnya.
"Oh! Bien-sûr! Tentu saja! Soal wanita kau adalah pakarnya. C'est sans doute! (Aku tak ragu akan hal itu). Tapi kau hanya tau tentang anatomi mereka! Sebatas fisik saja. Kau perlu gadis ini untuk mengeksplorasi perasaannya." Katanya berapi - api saat dia datang mengunjunginya di Marseille beberapa waktu lalu.
"Tapi kenapa harus dia?" Protesnya yang saat itu masih menganggap hal ini adalah hal terabsurd yang pernah dia dengar.
Mendengarnya saja membuatnya terheran - heran, apalagi sampai terpikir untuk melakukannya.
"Karena gadis itu bagaikan kanvas kosong. Kau bisa membuat sketsa dan melukis di atasnya dengan bebas, semaumu!"
Harus dia akui, Louise benar dalam hal itu. Candice seperti tanah liat yang siap dibentuk. Papan kayu polos yang menunggu untuk diukir. Dia bisa melakukan apapun untuknya. Dan dia akan melakukannya, tenang saja.
Dia punya banyak motif untuk gadis itu.
Bibirnya tersenyum miring membaca pesan yang dikirimkan oleh Louise.
'Pastikan doa istirahat yang nyenyak malam ini. Besok, dia akan menjelma menjadi ratu. Aku bertaruh, kau akan meneteskan air liur saat melihatnya soap besok!'
Mengubah Candice menjadi ratu. Louise dan segala imajinasi yang ada di kepalanya. Butuh ibu peri handal untuk mengubah Cinderella menjadi ratu.
Dia tak membalas pesan tersebut, alih - alih, dia melempar ponselnya ke sebelahnya dan menarik selimutnya, siap untuk beristirahat.
Ratu apa yang cocok untuk diperankan Candice?
PS:
Nggak double up dulu yaa, aku mau beredar dari timur ke barat selatan ke utara XD agak sok sibuk akhir tahun :(