Tiga Puluh Satu: Candice

1059 Kata
Dia duduk diam di kursi penumpangnya. Lucas juga mengendarai mobilnya dengan tenang di sebelahnya. Keluar dari kamar kerja Tuannya tadi, dia langsung mandi di kamar mandi belakang dan langsung mengambil salah pil yang diberikan Tuannya padanya. Dia sudah tak merasa sakit lagi saat bersama Tuannya, hanya kadang terasa tak nyaman karena Tuannya amat tak sabaran berbeda denga. Saat pertama kali dulu. Dia tak terlalu ingat saat pertamanya, karena dia merasa di awang - awang. Tapi seingatnya itu tak sesakit pagi harinya saat mereka melakukannya lagi sebelum pulang dari Paris dan saat di dalam mobil. Tapi Tuannya bilang dia harus meminumnya sampai habis, jadi dia tetap menurut. Setelah memastikan penampilannya terlihat baik di depan kaca, dia bergegas keluar dan mencari Lucas seperti yang diperintahkan oleh Tuannya tadi. Dia memastikan dirinya terlihat baik bukan untuk menggoda Lucas. Tapi untuk memastikan bahwa dia menyembunyikan apa yang dilakukan Tuannya tadi padanya dari pandangan curiga orang - orang. Termasuk Lucas. Terakhir kali kemarin, dia tergagap saat Lucas bertanya ada apa dengan Lehernya yang ada ruam keunguannya. Tentu saja dia tidak bisa menjawab karena dia pun tak tahu itu disebabkan oleh apa. Tapi sekarang dia sudah lebih tau, dan akan lebih berhati - hati. Lucas langsung mengangguk tanpa banyak bertanya saat dia mengutarakan bahwa dia membutuhkan bantuannya. Dan kini, hampir empat puluh menit setelahnya, mereka sudah bkembali ke dalam mobil, menuju perjalanan kembali ke kastil. Oma ada di kursi belakang mobil dan barang - barangnya yang lain dari apartemen ada di bagasi. "Disa…" Dia berbalik karena panggilan Omanya. "Apakah tak apa aku ikut tinggal di sana? Aku tak ingin merepotkanmu." Kata Omanya dengan wajah sendu. Candice memperhatikan bahwa Omanya sekarang sudah tak sering batuk seperti dulu. Tapi dokter bilang, pengobatannya belum selesai. Masih butuh waktu untuk sembuh sempurna. Jadi Candice harus terus mengawasi kesehatan Omanya. "Ini atas perintah Tuan, Oma. Aku yakin… dia pasti tak keberatan." Katanya dengan senyum terkembang. Sebenarnya dia sendiri pun tak yakin. Tapi dia tak berani membantah keinginan Tuannya. Dia merasa bahagia saat bisa melakukan perintah Tuannya dengan sempurna. "Ngomong - ngomong, kenapa kau tak memakai seragammu?" Omanya kembali bertanya. Merasa heran karena Candice malah memakai long Sleeve one piece di balik mantel jaketnya. Dia menunduk, melihat penampilannya sendiri, lalu melihat Lucas yang terlihat formal dengan jas hitam, celana panjang hitam, dasi hitam, kemeja putih dan disempurnakan dengan sepatu fantofel hitam. Terlihat gagah, resmi dan necis. Lalu dia membandingkan dengan penampilannya sendiri. Dia harus mengakuinya, penampilannya sama sekali tak mirip seorang maid. Dia menoleh pada Lucas yang terus diam saja di balik kemudi. Menyetir dengan tenang. Harapannya untuk dibantu pupus karena pria itu bahkan tak melirik padanya. "Ini seragam baruku, Oma. Tuan sendiri yang membelikannya untukku. Bagaimana menurut Oma?" Katanya pada akhirnya. "Benarkah? Agak… tak biasa untuk seragam seorang maid. Tapi tak buruk. Tuan kalian memiliki selera yang amat bagus." *** "Lucas?" Pria dengan rambut gondrong yang disisir rapi lalu diikat ekor kuda di bawah tengkuknya itu menoleh saat mendengar panggilannya. Dia baru saja mengantar Oma ke kamar. Kamar di sebelah kamarnya. Ada banyak kamar pelayan di kastil ini. Jadi dia menempatkan Omanya di salah satunya, bukan di kamarnya sendiri. Setelah membantu Oma beberes dan beristirahat, dia kembali ke dapur. Perjalanan mereka memang tak jauh, tapi Oma sudah terbiasa untuk tidak bepergian akhir - akhir ini karena tubuh ringkihnya. Apalagi mereka tadi sempat membereskan apartemen mereka seperti sedia kala agar bisa dikembalikan kepada yang punya. Jadi, Omanya merasa lumayan kecapean. Saat dia sampai di dapur, Lucas ada di sana. Tapi saat melihatnya datang, pria itu langsung beranjak pergi, seolah tak ingin hanya berdua saja dengannya. Ini membuatnya terluka. Lucas adalah teman pertamanya di sini. Satu - satunya yang bisa diajaknya bicara, tapi saat ini pria itu seperti tak mengenalnya. "Apakah aku berbuat salah akhir - akhir ini?" Tanyanya berjalan mendekat. Namun bukannya menunggu Candice sampai di dekatnya seperti biasanya, pria itu malah mundur beberapa langkah ke belakang. "Non, bien sûr que non (tidak, tentu saja tak ada)." Jawabnya pendek. "Atau kau sedang ada masalah?" "Non. Kenapa kau berpikir seperti itu?" Tanyanya tanpa membalas tatapan matanya. Itu membuat Candice sedikit kesal pada Lucas. "Lalu kenapa kau menghindariku?" Mulutnya mencebik kesal. "Non…" "Je te pas croix (aku tak percaya padamu). Bilang saja. Ada apa? Jika aku punya salah, aku akan memperbaikinya." Lucas terdiam. Pria itu menunduk, memandangi ujung sepatunya, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Candice menunggu dengan sabar di tempatnya. Sampai hampir lima menit berlalu mereka terus terdiam saling berhadapan begitu. Dia kira, Lucas akan bersikap keras kepala dan tetap tak mau mengatakan padanya apa alasannya. Tapi akhirnya pria itu mengangkat kepalanya dan menatap matanya. "Aku harus menjaga jarak. Aku butuh pekerjaan ini. Meskipun Tuan tak ramah, dan Tuan besar bukan orang yang mudah untuk dilayani, tapi aku benar - benar butuh pekerjaan ini, Disa." Candice menggelengkan kepalanya tak mengerti apa maksud perkataan Lucas. "Maksudmu?" Pria yang sepantaran dengannya itu menatap Candice dengan salah satu alis terangkat ke atas. "Kau benar - benar ingin aku mengatakannya dengan gamblang?" Bukankah itu yang dari tadi dia minta dari pria ini?! Kenapa Pria sulit sekali mengerti wanita, sih?! Padahal dia sudah mengatakannya dengan jelas. Dan karena ketidakmampuan mereka mengerti isi hati pasangannya, mereka berbalik menyalahkan pasangannya, berkata wanita tak punya keinginan yang jelas dan sebagainya. Playing Victim yang sesungguhnya. "Katakanlah. Aku benar - benar tak mengerti apa maksudmu." Tantangnya, menyilangkan kedua tangannya di depan tubuhnya, membuat mata Lucas secara natural mengarah ke sana. Tapi dia cepat - cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Lucas?!" "Baiklah, baiklah. Aku tahu saat Tuan membawamu pergi tempo hari. Kau bukan lagi orang yang sama seperti saat sebelum kau pergi. Dan tanda keunguan di lehermu bukan karena tungau, nyamuk dan sebagainya. Itu tanda miliknya. Jadi, karena aku masih ingin bekerja di sini, aku harus menghormati apa yang menjadi milik Tuan Theo. Termasuk juga kau. Kita tak boleh terlalu dekat." Candice tergagap - gagap mendengar penjelasan Lucas yang gamblang itu. Dia reflek menoleh ke belakang, di mana deretan kamar pelayan, termasuk kamarnya, kamar Lucas dan kamar Omanya berada. Dia sedikit lega saat tak mendapati tak seorang pun ada di sana. "Kau… kau tau?! Bagaimana bisa kau tau?!" "Aku seorang pria, Candice, dan aku tahu beberapa sikap wanita yang membedakan mereka sebelum dan sesudah bersama dengan seorang pria." Candice seperti terpukul mundur. Wajahnya panas luar biasa. Malu dan tak menyangka. Apakah sekarang dia sudah menjadi wanita muraha*?!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN