Tiga Puluh Satu: Theodore

1382 Kata
Dia memandang dalam diam dari kursinya pada sosok tubuh yang masih gemetaran membungkuk tengkurap di atas meja kerjanya. Mencoba bangkit dan membereskan dirinya. Dia masih bergaira*. Amat sangat. Apa lagi dia tahu jika dia mendatangi gadis itu lagi, yang hanya sekitar lima langkah jauhnya, gadis tersebut tak akan menolaknya. Tak akan bisa. Tak akan pernah. Dia tahu gadis itu sedikit naksir padanya. Dia tak percaya akan cinta dan semacamnya. Satu - satunya cinta dalam hidupnya sudah mati! Direnggut paksa darinya saat dia masih amat membutuhkannya. Tapi dia beruntung karena Candice memiliki sedikit perasaan itu padanya. Itu membuat niatnya jauh lebih mudah dilaksanakan. Memang sedikit melenceng dari tujuan utamanya, tapi dia masih bisa mengambil manfaat. Contohnya, memanfaatkan kehadiran gadis itu untuk membuatnya tenang. Dia menunduk, memandangi dirinya sendiri yang masih saja siap. Tapi kali ini akal sehatnya menang. Sekali saja. Candice masih punya banyak hal untuk dia lakukan di sisa hari ini, dan dia sendiri, punya segudang hal untuk dilakukan. Melanjutkan babnya, dan menelpon beberapa orang untuk membantunya. Gadis itu seperti jimat baginya. Setiap kali habis bersamanya, Theo seperti mendapatkan banjir badang. Banyak sekali inspirasi padanya yang menuntut untuk segera dikeluarkan. Dan semua yang ditulisnya nyaris tanpa revisi. Dia puas sekali. Rasanya dia seperti pengrajin tembikar yang mengolah karyanya dari tanah liat dan langsung jado saat itu juga. Puas! "Tuan," Dia mendongak saat gadis tersebut memanggil. Dia sudah merapikan gaunnya. Tapi pancaran matanya yang masih saja berbinar dengan pupil sedikit membesar dan bibir bengkaknya itu tak bisa menyembunyikan fakta apa yang baru saja dia lakukan di ruang kerja Tuannya. "Saya… ingin pamit sida hari ini. Apakah diperbolehkan?" "Untuk?" "Semoga tak ada yang serius, tapi saya ingin menjenguk Oma saya. Beberapa hari ini cuaca sedang amat dingin. Saya khawatir dengan keadaan beliau." Ah… dia lupa kalau gadis ini masih tinggal bersama seseorang yang dia panggil Oma. "Kalau kau khawatir, bawa dia ke sini. Sehingga kau lebih mudah untuk mengawasinya." "Tapi…." "Minta Lucas untuk mengantarmu menjemputnya. Sore nanti, aku berharap sudah melihat kalian semua di sini." "Tapi Tuan…" "Apa aku bilang kau boleh membantahnya?" Mata besar yang dihiasi bulu mata panjang itu mengerjap kaget, lalu buru - buru menunduk. "Maaf." Theodore bangkit dari kursi yang sedari tadi dia duduki. Tak peduli pada fakta bahwa dia sedang tak tertutup sehelai benang pun, dan jendela kaca di ruangan tersebut terbuka. Siapapun yang berada cukup dekat di luar kastil dan melongok ke dalam akan melihat semua yang terjadi di dalam. "Bilang maaf lagi, dan hukumanmu tak lagi berupa sebuah ciuman." *** "Gladys Besnier? Aku tak pernah mendengar namanya." Dia berdecak kesal. Phillip adalah harapan terakhirnya. Dia bisa saja mengontak jasa seorang detektif pribadi untuk menyelidiki. Tapi dia tidak ingin mengambil resiko. Itulah sebabnya dia bertanya pada Phillip. Pria itu bukan pria yang akan ember dan mengumbar sesuatu, dan dia memiliki banyak koneksi. Di antara banyak kenalannya yang tak layak disebut teman, dia lumayan dekat dengan keluarga tersebut. Malah, bisa dikatakan mereka masih memiliki hubungan kekerabatan karena Ayahnya masih sepupu dekat Besnier. "Dia mungkin sepantaran Ayahmu. Coba kau tanyakan padanya tentang perempuan ini." "What?! Sepantaran Ayahku? Apa kai sekarang banting setir?! Mengencani Nenek - nenek?! Ah, Attend (tunggu). Lalu siapa gadis cantik yang kau bawa melintasi karpet merah kemarin?! Perempuan bayaran?!!!" "Ck! Diamlah! Kecerewetan mu membuatku pusing. Cati tau saja, dan jangan bocorkan apapun kalau aku sedang mencari info tentang orang ini. Aku akan memberitahumu saat kita bertemu." Potongnya tegas. Phillip bukanlah pria dingin, pendiam dan penuh karisma seperti tipikal pria - pria yang difantasikan oleh hampir sebagian besar kaum hawa di muka bumi. Dia supel dan ramah. Dan justru itulah letak daya tariknya. Dia terbiasa berbicara dengan orang lain. Pria wanita, tua muda, dari berbagai kalangan dan berbagai latar belakang. Itulah yang membuat temannya itu memiliki koneksi yang bagus. Reputasinya juga tak semengerikan reputasi Theodore. Hanya saja, kadang - kadang dia merasa pusing dengan kecerewetan Phillip. "Non non non. Kau berada di Paris kemarin dulu, dan kau sama sekali tak memberi tahu! Aku tahu dari berita TV! Teman macam apa kau!" Rajuknya. "Berhenti merajuk dan bersikaplah sesuai umurmu. Aku tak memberitahumu karena aku tau kau akan ribut begini. Aku sibuk kemarin." Tukasnya. Dia toh tak berbohong. Dia memang sibuk. Sibuk melepas kepenatan ditemani oleh maidnya yang merupakan seorang Besnier. Lalu dia menambahkan walaupun sedikit tak rela sebenarnya. "Kau boleh mengunjungiku setelah kau mendapatkan sesuatu." "T'as promis! (Kau janji!). Jangan ingkari janjimu itu. Akan kuhubungi kau begitu aku mendapatkan sesuatu." *** Hujan sudah reda sejak beberapa saat yang lalu. Tapi mendung masih menggelayut di atas samudra yang terlihat dari jendela besar di ruang kerjanya. Dia berdiri menghadap cakrawala. Satu tangannya menggenggam gelas tanggung berisi cairan coklat bening. Sedangkan tangan lainnya memegang ponsel. Ini ponsel lamanya. Dia tak pernah membukanya lagi sejak dia berangkat ke villa ini. Dia membeli ponsel baru dan mengganti nomornya untuk datang ke sini. Satu - satunya yang dia beritahu kontak barunya adalah Louise. Dia yang pertama. Lalu Pak Tua itu, karena dia mengancam, dan yang terakhir adalah Phillip, sahabatnya. Yang terakhir , sia berikan dengan amat terpaksa karena pria itu tak berhenti meneror rumahnya, menanyakan keberadaan Theodore. Dia sedang menimbang - nimbang, untuk menyalakan kembali ponsel ini. Mendadak dia penasaran siapa saja yang menghubunginya. "Je m'en fou! Bodo amat / persetan!)" Gerutunya. Jarinya lalu menekan satu tombol kecil di bagian atas ponselnya dan menunggu benda tersebut menyala dan memuat data - datanya. Dia menenggak sisa cairan coklat bening yang ada di gelasnya dan berbalik untuk duduk kembali di kursinya. Menghadap pada layar laptop yang terbuka, menampilkan bab yang belum selesai ditulisnya. Naskahnya sedang mencapai klimaksnya, dia sedang mengerjakan antiklimaks dan memikirkan bagaimana penyelesaian yang memukau untuk menutup karyanya tersebut. Dia menunduk saat ponsel di tangannya bergetar, menunjukkan notifikasi apa saja yang dia dapatkan selama dia tak aktif. "Merdre!" Dia terkekeh tanpa rasa humor melihat tiga digit angka yang jumlahnya terus bertambah lagi tertera di layar ponselnya. "Lima puluh Voice Notes?" Gumamnya pada diri sendiri. Dia memiliki hampir dua ratus panggilan tak terjawab. Lima puluh empat pesan suara dan delapan ratusan chat. Dia penasaran pada siapa yang kira - kira mengiriminya pesan suara. Jadi dia membukanya satu persatu dan mulai mendengarkan. "Cheri, kau di mana? Apa begini tanggung jawabmu sebagai laki -laki? Pergi meninggalkan pasanganmu saat kau tahu dia mengandung anakmu?" "Theodore, jawab aku!" "Theo, Sayangku. Kau di mana? Please, kembalilah padaku. Aku tak bisa hidup tanpamu. Kita bisa melakukan apapun pada anak ini sesuai keinginanmu, Cheri. Tapi kumohon, kembalilah. Je t'attends (aku menunggumu)." Mulutnya menipis dengan rahang mengeras mendengar beberapa pesan suara yang dikirim oleh Juliette. Pesan - pesan itu dimulai dengan nada suara mengancam dan mengolok, lalu perlahan panik dan akhirnya memohon - mohon. Perasaannya campur aduk. Mirip seperti saat kemarin dia bertemu dengan wanita itu. Dia memaki dirinya dalam hati karena masih saja bergetar dan merasa terpana pada perempuan itu. Juliette bukan yang tercantik. Oh, tentu saja dia cantik. Dia seorang model dan dia menghabiskan banyak uang untuk mempercantik dan menyempurnakan dirinya, tapi maksud Théodore, dia bukanlah wanita tercantik di dunia yang pernah dia temui. Dia juga manipulatif dan gemar memanfaatkan keadaan demi kepentingannya. Tapi yang membuat Theodore duku tertarik hingga menjalin hubungan dengan wanita itu selama beberapa saat adalah, karena dia membuat Theodore merasa pulang. Faktanya, Juliette adalah wanita terlama yang pernah dikencaninya sepanjang sejarah hidupnya. "Pute!" Makinya kesal karena masih saja merasa seperti ini saat mengingat Juliette. "Jangan sampai perempuan ular itu tahu!" Desisnya penuh tekad. Jemarinya kemudian memutar kembali sisa pesan suara yang dia terima. Ada dari Phillip dan Louise juga sebelum mereka mengetahui tentang kepindahannya ke sini. Isinya kurang lebih sama. Menanyakan keberadaannya. Dan dua yang terakhir, membuat darahnya mendidih seketika. "Kudengar kau menghamili pacarku, wahai adik kecil? Tak kusangka, seorang Roland, ternyata seleranya adalah barang bekas. Barang bekas dari seseorang yang kau yakini sebagai anak haram. Yang mendengar suaranya pun kau tak sudi. Jangan harap setelah ini kau bisa lari. Apapun yang menjadi milikku, tak boleh dimiliki boleh orang lain. Kau gahu, kan. Aku tak suka berbagi. Dan seharusnya kau paham hal itu. Atau mungkin," Jeda sedikit lama, membuat Theodore yang sudah mendidih marah menanti kelanjutannya dengan tak sabar. "Seharusnya aku tau, aku seharusnya paham, bahwa kau, mirip seperti Mama pecundangmu itu, iyakan? Hahahhaa!" The berdiri serta merta dan melempakan gelas kaca yang dipegangnya ke lantai hingga hancur berkeping - keping. "Aaargh!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN