Tiga Puluh Dua: Candice

1128 Kata
Dia menemani Oma selama makan malam. Berusaha menyibukkan dirinya sendiri di meja makan. Berusaha tak berinteraksi dengan Lucas. Dia malu! Awalnya Oma sempat menolak untuk makan malam di meja yang sama dengan Tuan Theonya. Menurut Oma, itu tak etis. Dia bukan tamu di sini, dia hanya orang yang menumpang tinggal. Lagipula, dia sakit. Dia takut penyakitnya akan menular pada orang - orang di sana. Candice pun sudah berusaha menjelaskan pada Tuannya tentang keberatan Omanya. Tapi Tuannya menolak. Menurut Tuannya, meja makan ini bisa menampung sekitar sepuluh orang. Mereka bisa berada cukup jauh, meskipun berada di meja yang sama. Itu benar. Jadi dia kehabisan alasan untuk menolak. Akhirnya dia tetap menyiapkan makan malam Omanya di meja makan, tapi di ujung lain yang terjauh. Dia dan Omanya di sana. Lalu Tuannya dan Lucas di ujung lainnya. Mereka bercakap - cakap kecil selama makan malam berlangsung. Secara khusus, Omanya menyampaikan terima kasih yang tak terhingga pada kemurahan hati Tuannya yang dengan besar hati mengijinkannya untuk tinggal di kastil mewahnya. "Non, tak perlu berterima kasih. Aku tak sebaik itu." Adalah balasan dari Tuannya. "Aku melakukan ini sebenarnya karena alasan yang egois. Aku takut aku bersikap terlalu kejam pada Disa dengan tak memberinya ijin lain kali dia ingin menengok Anda. Saya cukup posesif dengan para pegawai saya, anda tahu?" Kalimat terakhirnya diucapkan saat mata Candice bersitatap dengan mata Lucas. Pemahaman yang terpancar dari mata itu membuat Candice memalingkan wajahnya. Pura - pura sibuk melakukan hal lain.  "Untuk itulah, aku memintanya membawa anda ke sini. Dengan begitu, dia tetap berada di kastil kapanpun saya membutuhkannya." Lanjut Tuannya, yang diangguki oleh Omanya. Meskipun begitu, mengesampingkan semua perasaan lainnya yang dia rasakan saat ada orang lain yang mengetahui apa yang dia lakukan bersama Tuannya, dia merasa bangga karena Tuannya membutuhkannya. Baginya, itu berarti Tuannya puas dengan pelayanannya.  Mereka melanjutkan makan malam hampir dalam keheningan. Hanya terdengar denting garpu dan pisau, yang sesekali diselingi oleh pertanyaan dan komentar dari Tuannya untuk Omanya. Tuannya begitu ramah. Dia amat baik hati karena mau mengajak Omanya mengobrol. Padahal saat sendiri, meskipun ada dia dan Lucas, menemaninya di meja makan ini, Tuannya tak banyak bicara saat sedang makan. Lucas langsung undur diri begitu makan malam selesai. Dia sempat membantu Candice sebentar membereskan meja. Mereka melakukannya dalam diam dan kecanggungan. Saat Candice kembali untuk membawa Omanya kembali ke kamar, dia menemukan bahwa Oma dan Tuannya sedang bercakap - cakap. Jadi dia menunggu disana hingga mereka selesai. Dia sedikit kaget karena ternyata Tuannya sedang bertanya tentang dirinya pada Omanya.  Ada perasaan bangga dan bahagia dalam dirinya karena Tuannya ternyata sepenasaran itu tentang kehidupannya di masa lalu sampai - sampai dia bertanya pada orang terdekatnya. Dia tak punya hal - hal untuk disembunyikan dalam hidupnya, jadi dia tenang saja mendengar jawaban Omanya atas pertanyaan - pertanyaan yang dilontarkan oleh Tuannya. "Ibunya mulai sakit sejak umur Disa lima belas tahun. Sejak saat itu dia sudah menjadi penopang keluarga." Omanya menjawab salah satu pertanyaan Tuannya.  "Dia cekatan dari dulu." Itu bukan pertanyaan. Baik Disa dan Omanya pun tahu tentang hal itu. "Betul. Dia yang merawat saya dan juga Ibunya sejak dulu. Sebenarnya, jauh di lubuk hati saya, saya merasa bersalah. Saya berkali - kali mencoba untuk pergi, tapi dia selalu bisa mengetahui rencana saya dan membatalkannya." "Dia pasti amat menyayangi anda." Omanya memandangnya dengan senyum bangga, membuat Candiceisa pun membalas dengan senyuman serupa. Mereka adalah dua orang sebatang kara yang berusaha saling menguatkan. Mereka bersatu untuk memberikan dukungan pada satu sama lain agar bisa menghadapi dunia yang tak ramah ini. "Saya sudah menganggapnya seperti cucu saya sendiri. Banyak yang memandangnya sebelah mata hanya karena pekerjaan ibunya. Tapi seperti yang anda sudah tahu sebelumnya, ibunya memiliki keterbatasan. Dan dengan segala keterbatasannya, dia masih memiliki belas kasih dan rasa tanggung jawab melebihi orang - orang normal pada umumnya. Saya bersyukur mengenalnya." "Disa bilang dia tak pernah merasa malu tentang keadaan ibunya. Apakah anda juga demikian?" Omanya mengangguk beberapa kali dengan bersemangat sampai terbatuk - batuk heboh. Candice membantunya mengelus punggung untuk meredakan serangan batuknya sebelum dia bisa menjawab dengan suara masih terengah.  "Tentu saja. Sebaliknya, saya merasa amat bangga pada Gladys. Dia cantik, dan penyayang. Seandainya diberi kesempatan untuk melakukan pekerjaan lainnya yang lebih terpuji, saya yakin dia akan kompeten di bidang tersebut." Jeda sebentar sebelum Omanya melanjutkan dengan kalimat yang membuat Candice sedikit tersipu. "Anda memperhatikan pelayan anda sampai seperti itu, anda pasti orang baik." *** "Tuan?" Candice mengetuk pintu kayu kokoh berwarna coklat tua itu tiga kali, lalu menunggu instruksi selanjutnya yang datang dari si pemilik kamar. Setelah mengobrol dengan Omanya tadi, tepat sebelum dia beranjak untuk mengantar Omanya ke kamar, Tuannya memintanya untuk datang ke kamarnya setelah dia selesai. Karena itulah dia kemari segera setelah memastikan Omanya meminum obatnya dan beristirahat. "Masuk." Suara dalam Tuannya te dengar berseru dari dalam. Terdengar agak samar karena terhalang tembok batu dan pintu kayu tebal. Hampir semua ruangan di dalam kastil ini kedap suara. Maka, diperlukan pendengaran yang tajam dan suara yang sedikit keras agar bisa terdengar dari luar. Dia membuka pintunya dan masuk ke dalam. Entah kenapa, dia menengok ke kanan dan ke kiri sebelum masuk, ingin memastikan tak ada siapapun yang melihatnya masuk ke dalam kamar Tuannya. Padahal, hal itu tentunya bukan hal yang aneh untuknya sebagai Maid. Dia harus melayani Tuannya di manapun berada dan membersihkan kamar Tuannya juga. Jadi seharusnya tak aneh. Tapi percakapannya dengan Lucas tadi siang… entahlah. Itu menggelitik sesuatu dalam dirinya. Dia masuk setelah yakin lorong gelap tersebut memang kosong. Tak ada orang lain selain dirinya. Dia terkesiap keras saat berbalik dan menemukan Tuannya sedang telanjan* d**a di balik selimut dengan laptop yang menyala di atas pangkuannya. Bisa - bisanya Tuannya itu tak memakai pakaiannya di cuaca yang dingin seperti ini, dengan AC ruangan yang juga menyala.  “Anda memanggil saya Tuan.” Katanya pelan. Tuannya mendongak dari layar laptop yang ada di depannya dan mendongak, menatap tepat ke matanya, seolah sedang memindai jiwanya dengan tatapan mata yang tajam itu. Dengan gerakan perlahan seperti singa jantan yang sedang bersantai setelah berburu untuk koloni dan keluarganya, dia memindahkan laptopnya ke nakas di samping tempat tidurnya dan menepukkan tangannya ke ranjang kosong di sampingnya. “Non,” Katanya menghentikan Candice yang akan beranjak melaksanakan perintahnya, membuat Candice terpaku, menatap Tuannya dengan pandangan bingung. Tuannya menunjuk pada pakaian yang dikenakannya. “Lepaskan.” “Tuan…” Protes keberatannya terhenti karena tatapan mata keras yang dia terima dari Tuannya. Seperti dihipnotis, Candice pun melaksanakan apa perintah Tuannya. Segala keragu - raguan yang tadi sempat tumbuh di hatinya kini menghilang sudah. Semuanya tanggal ke lantai bersama dengan busananya. Dengan tatapan masih terpaku satu sama lain, dia naik ke ranjang Tuannya.  “Kau masih meminum pil yang kuberikan padamu tempo hari?” “Oui, Monsieur.” “Gadis baik. Aku akan memberimu hadiah karena telah menjadi penurut.”

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN