Sementara menunggu gadis itu bersiap, dia kembali berkutat dengan laptopnya. Mendadak di kepalanya ada banyak ide untuk dituangkan setelah bercakap - cakap dengan maid nya itu. Entah kenapa, setiap kali habis bersamanya, ide - ide dan berbagai adegan meloncat - loncat di kepalanya, tak sabar untuk segera dituangkan.
“Olala… sejak kapan aku bisa mengetik sebanyak ini dalam waktu yang begitu singkat?” tanyanya takjub pada diri sendiri.
Sebenarnya masih banyak yang ingin dia ketik, tapi tiga puluh menit yang dia berikan pada Disa sudah hampir habis. Dia mematikan laptopnya dan meraih ponselnya yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Rentetan pesan dari Louise, editornya sudah menunggu untuk dibaca. Tapi bukan itu alasan dia meraih ponselnya.
“Lucas.” ucapnya begitu panggilannya tersambung. “Ke perpustakaan sebentar. Aku ada perlu denganmu.”
Klik.
Dia langsung mematikannya tanpa menunggu jawaban yang diberikan Lucas. Dia memang tak memiliki andil mempekerjakan dan memecat semua orang yang bekerja di property kepunyaan Roland. Tapi, perintahnya tetaplah mutlak.
Dia memang tak menyukai Ayahnya, Pria tua bren*sek yang tak tau diri itu. Tapi dia tak munafik. Dia menikmati segala fasilitas dan kemudahan akses yang bisa diberikan nama Roland untuknya. Well, lagi pula itu kan haknya. Dia tak pernah meminta untuk dilahirkan menjadi anak pria itu. Pria itulah yang dengan sadar menunggu dan menantikan kelahirannya dulu. Jadi, seharusnya memang sudah tanggung jawabnya bukan untuk memberikan sedikit kemudahan baginya? Setidaknya, setelah apa yang pria tua itu renggut darinya.
Tok! Tok! Tok!
Pintu terbuka, memunculkan pria muda dengan badan kekar dan codet di wajahnya. Lucas. Dia bahkan tak tahu siapa nama depan pria itu. Dia tak peduli. Baginya tak terlalu penting juga. Bahkan jika pria tersebut tak punya nama, dia akan berbaik hati memilihkan satu nama untuknya. Dia cukup kreatif untuk memberi nama. Nama tokohnya tak pernah membosankan. Selalu tepat dan pas dengan karakter mereka.
“Anda memanggil saya, Monsieur?”
Pria muda itu mendekat saat dia melambaikan tangannya.
“Aku akan pergi bersama Disa ke Paris selama dua hari. Jika Pak Tua itu menelpon menanyakan keberadaanku, bilang saja ada sesuatu yang harus aku urus di sana.”
“Excusez-moi, Monsieur. Maafkan saya, Tuan. Tapi bukankah anda seharusnya tidak pergi ke mana - mana?”
Theo mengerling pada pengawal tersebut, membuat pemuda bertubuh kekar itu menunduk ketakutan.
“Aku tau apa yang aku lakukan. Bilang padanya untuk tak perlu khawatir. Lagi pula, aku sudah terlalu lama dikurung di sini, dan aku menginginkan hadiahku karena menjadi anak baik.”
Lucas hanya menunduk di tempatnya berdiri. Tak berani membantah, tapi juga tak berani mengiyakan. Perintah yang diterimanya saling bertabrakan dan dia bingung harus berpegang pada yang mana.
Theo mengerlingkan matanya dengan kesal. Pria Tua yang menyuruhnya untuk mengasingkan diri di sini tak pernah mengatakan dia harus tinggal hingga kapan. Dan ini sudah lebih dari sebulan dia di sini.
Dia beranjak dari kursinya dan menunjuk pada laptonya. “Bereskan, dan bawa ke mobil.”
***
Gadis itu sudah menunggunya di selasar kastil dengan tas tanggung yang pastinya berisi baju ganti yang dia perintahkan untuk dibawa tadi. Tas tangan kecil tergenggam di tangannya.
Hari ini dia memakai jumpsuit dengan leher halter yang ditalikan di belakang lehernya. Dia tak terlalu suka model yang itu kemarin, tapi dia harus merubah pendapatnya setelah gadis itu memakainya. Tak buruk. Sama sekali tak buruk. Dipadukan dengan long vest tebal yang jatuh hingga ke pertengahan pahanya, penampilan gadis itu terlihat glamour sekaligus elegant. Wedges yang dia pakai hari ini menambah tingginya beberapa senti. Rambutnya diekor kuda di bawah tengkuknya, dan make up nya… tak terlalu bagus, tapi tak buruk juga. Dia menghargai usaha seseorang. sejak dia memerintahkannya untuk berdandan, gadis itu sudah mencoba. Hasilnya tidak terlalu bagus, tapi masih bisa dipandang. Dia sudah memiliki struktur tulang dan wajah yang bagus.
Theo mencatat dalam hati untuk meminta Louis mencarikan make up artist yang bagus untuk gadis ini sesampainya mereka di Paris.
“Dengan pakaian begitu, tegakkan punggungmu.” Dia menahan punggung bawah gadis itu dengan satu tangan dan mendorong bahunya dengan tangan lain.
“Tu-Tuan…”
“Jangan mempermalukan baju yang kau pakai dengan posturmu yang tak bagus. Belajarlah untuk terlihat lebih percaya diri. Dan jangan bicara dengan nada tergagap - gagap.”
Gadis itu mengangguk dan mengerjap beberapa kali dengan cepat. Dia segera meraih tasnya saat Lucas datang menenteng tas pipih berisi laptop tang Theo minta tadi dan keduanya berjalan mengikutinya ke dalam mobil.
“Punggung tegak.” Tegurnya saat lagi - lagi gadis itu sedikit membungkuk.
Dia sempat melihat Lucas yang sedikit terpana karena penampilan baru gadis itu. Dan dia tak suka melihatnya. Karenanya, dia memanggil Lucas.
“Lucas.”
“Oui, Monsieur. Ya, Tuan.” Panggilannya cukup untuk mengalihkan perhatian Lucas dari gadis itu dan memberi gadis itu waktu untuk masuk ke mobil Setidaknya, kali ini dia sudah lebih pintar karena langsung masuk ke kursi penumpang di sebelahnya tanpa diminta.
“Ingat pesanku tadi.”
Wajah Lucas terlihat pasrah dan tak bisa berbuat apapun. Akhirnya, dia hanya mengangguk mengiyakan.
“Oui, Monsieur. Sois prudent (Ya, Tuan. Hati - hati.).”
Dia melirik Disa yang sudah memasang sabuk pengamannya, menyalakan mesin mobilnya dan kemudian menjalankannya meninggalkan kastil suram yang entah kenapa akhir - akhir ini mulai terasa nyaman lagi baginya.
***
Mereka tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Di mobil pun sepi, hanya terdengar suara nafas dan mesin. Dia tak suka kebisingan. Beberapa orang suka berkendara dengan ditemani oleh music. Tapi tidak dengannya.
Dia suka suasana yang tenang.
Tapi, bukan berarti dia tak memperhatikan tingkah dan ekspresi gadis yang duduk di sampingnya ini. Dia merasa sebal pada awalnya, karena rasanya tak sedang membawa manusia. Melainkan membawa manusia goa yang sudah hilang lama dari peradaban kembali bertemu manusia.
Desahan takjub dan pekikan penuh semangat yang lirih seperti ‘Mon Dieu (ya Tuhan)’, Marvelous!’, ‘Quel Adorable (mengagumkan)’ dan lain sebagainya terus saja terdengar darinya. Tapi lama - lama dia merasa konyol juga.
“Kau tak pernah melihat kota besar sebelumnya?” Tanyanya pada akhirnya. Mereka belum terlalu jauh. Baru sekitar setengah jam perjalana. Mereka baru saja akan meninggalkan pusat kota Marseille dan menuju ke kota selanjutnya.
Bahu kecil yang tertutup mantel itu terlonjak kaget. “Apakah itu mengganggu anda? Saya minta maaf.”
Sulit di percaya. Seorang keturunan Besnier, memimta maaf padanya. Senyum tanpa keramahan tersungging di sudut bibirnya. Seandainya saja ini bisa didokumentasikan.
“Apakah kau selalu meminta maaf?”
“Ah, maaf… maksudku maafkan saya, saya tak bermaksud begitu.”
Theodore menggelengkan kepalanya. Mungkin dia sedikit terburu - buru untuk membawa gadis ini bertemu dengan spotlight, tapi dia tak bisa menunggu untuk memastikan sesuatu.
Gadis ini hanya luarnya saja, seorang Besnier, dalamnya, dia tetaplah seorang…. Bahkan dia tak tahu apa latar belakang Candice. Dia hanya pernah menyebut Oma dalam ceritanya. Orang lain yang tinggal bersama mereka, pelarian perang yang meminta suaka di negara ini. Tapi selebihnya, dia tak tahu.
Dia harus menginvestasikan banyak waktunya untuk memoles gadis ini. Jika nanti hasilnya tak seimbang, Louise, wanita itu harus bertanggung jawab. Belum lagi ada rasa iba dan kasihan yang dia rasakan untuk gadis ini. Rumit.
Dia tahu ini bukan kesepakatan simple yang mudah. Bahkan kemungkinannya untuk menang dan untuk kalah dalam permainan ini pun sama besarnya. Jadi kenapa sebenarnya dia mengambil resiko sebesar ini? Setimpalkah?
Suara berat dan jahat yang ada di dalam dirinya segera menyahut.
“Tentu saja setimpal jika semua rencananya berjalan mulus dan berhasil. Bayangkan seberapa banyak rasa sakitmu akan terbayarkan dengan ini, dan seberapa banyak yang harus mereka tanggung karenanya.”
Mendengarnya, dia kembali mengangguk puas. Tapi sebelumnya, pertama - tama, dia harus membuat gadis ini terbuka dan percaya padanya. Kepercayaan dan keyakinan gadi itu, harus menjadi miliknya terlebih dahulu.
“Disa,”
“Oui, Monsieur,”
“Ceritakan tentang Ibumu?”