Sembilan Belas: Candice

1200 Kata
“Dengarkan aku baik - baik. Aku tak suka mengulangi kalimatku. Jadi, berhenti membuatku melakukan hal - hal yang tak kusukai, Tu ecoute? Kau dengar? Baju ini, dan baju - baju yang tadi kita beli adalah seragam kerjamu yang baru. Belajarlah bermake up. Kau akan ikut kemanapun aku pergi mulai sekarang.” Titah tuannya. Wajah tuannya terlihat serius. Sama sekali tak terlihat rona bercanda di sana. Jadi, dia tidak dipecat? Ini semua bukan sebagai farewell terakhirnya bersama tuannya? Candice menatapnya tak percaya dengan mulut terbuka.  “Aku tidak sedang bercanda. Dan sekali lagi kau memakai pakaian maid jelek itu, aku merobeknya dari tubuhmu saat itu juga.” Ucap tuannya dengan gigi yang digertakkan, membuat nafas Candice tersendat di tenggorokannya. Mata mereka saling beradu tajam dan lekat. Rasanya, Candice tak kuasa untuk memalingkan pandangannya pada objek lain selain manik indah mata tuannya. Dan itu membuat kakinya bergetar. Karena takut? Anehnya bukan. Dia sedang membayangkan tuannya merobek baju maidnya yang kaku itu dengan tangan kekarnya, dan itu membuatnya sulit bernafas seketika. “D’accord. Baik. Tuan.” *** Mengerjakan pekerjaan rumah dengan pakaian seperti ini… tentu saja tak nyaman. Pergerakannya jadi sedikit terhambat. Belum lagi pandangan tajam dari Lucas yang dia rasakan dari belakang punggungnya.  Pengawal pribadi tuannya itu terlihat shock dan kaget di awal - awal Candice melaksanakan perintah tuannya. Sekarang, mungkin dia sudah sedikit terbiasa, karena sudah hampir seminggu Candice berdandan seperti ini. Pada awalnya, dia banyak bertanya dan berkomentar tentang perubahan ini.  “Tuan memintaku untuk mengenakannya.” jawabnya saat Lucas bertanya. “Di cuaca seperti ini?” “Dia bilang ini adalah seragam baruku. Apakah tidak cocok?” Lucas hanya menggeleng, menyangkal pertanyaan Candice. Mungkin memang tak seburuk itu. Lucas bukan sedang memandangnya dengan tatapan tak suka, hanya keheranan. “Dan kau jadi jarang tersenyum lagi, sekarang. Ada masalah?” Tanyanya lagi. Ini adalah percakapan mereka di suatu pagi setelah Tuannya mengurung diri di dalam ruang baca karena hari ini cuaca berangin dan hujan es turun dengan lumayan deras. Hal yang tak mengijinkannya untuk mengetik di luar. “Bukankah kau pernah bilang untuk mengurangi senyumku yang aneh?” Candice menoleh, menelengkan kepalanya di satu sisi. Dia masih mengikat rambutnya menjadi ekor kuda di belakang punggungnya saat melakukan tugasnya, karena mengurus rumah dengan rambut tergerai sama sekali tidak praktis.  Dan debu jadi lebih banyak menempel pada rambutnya kalau terus tergerai. Untungnya Tuannya tidak meminta hal yang aneh lagi seperti melepaskan ikatan rambutnya dan sebagainya. Dia masih sibuk beradaptasi dengan hal ini. Mendengar jawabannya, salah satu siku Lucas yang awalnya berada di atas meja mendadak terpelet. Membuat dagunya hampir jatuh menyentuh meja. “Tapi nyatanya selama ini kau hanya mengacuhkanku. Jadi, kenapa kau lakukan sekarang?” “Tuan menyuruhku.” Lucas mendengus menyembunyikan tawanya, membuat Candice menatapnya bingung. Ada yang salah dengan jawabannya? “Pourquoi? Kenapa?” “Dan kau langsung melakukannya karena dia memintamu?” Candice berkedip cepat tiga kali. Mata besarnya hari ini terlihat lebih besar karena efek make up yang dipakainya. Eyeliner dan maskara membuat wajahnya seperti hanya terisi dua matanya saja. “Bukankah seharusnya memang begitu? Dia tuan kita. Dan kita sudah seharusnya menuruti kemauannya.” “Ya, ya. Tentu saja. Itu yang akan dikatakan oleh Candice yang patuh.” "Ada apa?" Lucas menghela nafasnya, mengangkat cangkir kopinya seolah memberi salute, bersulang, sebelum melanjutkan. "Aku tak ingin mengatakan hal ini, karena di sini kita hanya perlu bekerja, tapi kau tau, mungkin ini demi kebaikanmu sendiri. Tuan yang kau elu - elu kan itu memiliki reputasi luar biasa di Paris sana. Sebaiknya kau berhati - hati." "Apa maksudmu?" "Kau tau persis apa maksudku, bukan?" Apa?Apa maksudnyayang sebenarnya? *** Hari ini hujan lumayan deras dan lama. Badai dengan bising menyambar apapun yang ada di luar. Biasanya, dalam balutan pakaian maid nya, karena kainnya lumayan tebal, dengan stocking dan penutup kepala, badannya akan merasa sedikit hangat. Tapi kali ini, rib dress dengan lengan panjang dengan model kerah turtleneck berwarna putih yang dia padukan dengan boot berwarna hitam sama sekali tak dapat membendung hawa dingin yang dia rasakan.  Dia sudah menyalakan perapian elektronik yang ada di selasar dan aula di lantai satu. Tapi tetap saja, masih merasa belum cukup hangat. Rasanya seperti saat dia sedang berada di apartemen kecilnya dengan hanya memakai dua lembar selimut saja. Pikirannya itu kini malah membuatnya merindukan Oma. Apakah wanita tua itu baik - baik saja? Bisakah dia merawat dirinya dengan baik sendirian di sana? Dia minum obatnya dengan teratur, kan? Dia sangat ingin membawa Oma ke kastil ini. Tempat ini begitu besar dan luas. Ada banyak kamar di sini. Kamar pelayan saja ada sekitar empat hingga lima, dan hanya terisi dia sendiri. Pastinya, tak akan ketahuan membawa Oma ke kastil ini. Tapi Candice tidak bisa melakukan itu. Dia di sini bekerja. Oma juga tahu, dan pastinya tak akan mau jika diajak ke sini. Candice adalah orang yang profesional, sedang Oma adalah orang yang menghargai komitmen. “Kusen jendela itu begitu kotor, atau ada sesuatu yang menarik perhatianmu sehingga kau menghabiskan waktu cukup lama untuk mengelapnya?” Suara maskulin yang tiba - tiba masuk ke dalam indera pendengarnya membuatnya terlonjak kaget dan langsung berbalik menghadap tuannya. “Monsieur.” “Tugasmu sudah selesai?” Theodore bertanya sambil lalu yang dijawab seketika dengan anggukan oleh Candice. “Bersiap - siaplah. Kau akan ikut aku sisa hari ini ke Paris.” “Paris?!” “Pourquoi? Kenapa? Tidak ingin?” Cepat - cepat Candice menggeleng.  Tentu saja dia mau! Dia belum pernah ke Paris seumur hidupnya! Dulu saat masih sekolah dasar, saat kelulusan. Teman - temannya pergi ke Disneyland Paris. Sebelumnya, tempat bermain besar itu bernama Euro Disney Resort. Mereka berbondong - bondong ke sana dengan suka cita karena saat itu tempat itu belum lama di buka. Tapi Candice tak ikut karena dia tahu Ibunya tak memiliki uang untuk itu. Dia bahkan tidak berkata apapun pada Ibunya tentang ini.  Dia tahu, untuk mendapatkan uang, berarti Ibunya tak akan pulang sepanjang malam, dan saat pulang, jalannya akan menjadi tertatih dengan kaki gemetaran. Sedangkah dulu, untuk mencari uang sendiri, dia masih terlalu kecil. Tentu saja ada Oma, tapi dia tak pernah dengan sengaja meminta uang pada perempuan itu. Jadi dia menyerah. Lagipula, daripada berlibur dan menghamburkan uang, dia bisa ke dermaga dan membantu Oma yang menjadi kuli angkut ikan di dermaga untuk mendapatkan tambahan uang. Dan setelah lulus sekolah senior, banyak kampus yang menawarinya beasiswa juga di Paris. Hanya saja, tak pernah dia ambil karena alasan kesehatan Ibunya yang kurang baik. Kehidupannya hanya berkisar tentang quartier (Kawasan, kompleks) kumuh yang berada di sekitaran pelabuhan Le Havre ini. Dia benar - benar tak pernah pergi kemanapun Bahkan ke kota sebelah pun dia tidak. Dan yang lebih mencengankan, dia bahkan tak pernah pergi ke kota tetangga. Dulu, dia memiliki cita - cita untuk menjelajah dunia. Untuk pergi ke tempat - tempat yang paling indah di dunia! Bali, venice, Rio, sss, dan masih banyak lagi.    Namun seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, dia sudah semakin menyerah untuk menjelajahi dunia.  Keinginannya dari waktu ke waktu menjadi semakin sederhana. Yang penting dia bisa hidup dengan layak bersama Oma. Hanya itu keinginannya saat ini. “Bersiaplah. Tiga puluh menit lagi kita berangkat. Bawa satu stell baju cadangan karena kemungkinan kita akan menginap di sana semalam.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN