Sejujurnya dia kedinginan. Bajunya amat tipis, dan terbuka. Walaupun tuannya membelikan mantel untuk dia pakai juga sebagai luaran. Tapi saat masuk ke dalam restoran ini mantel tersebut harus dia lepas.
Dan seumur hidupnya dia belum pernah memakai pakaian sebegini terbuka. Meskipun bahannya terasa nyaman dan lembut, bagaikan kulit kedua, tapi modelnya membuat dia amat risih sehingga berkali - kali mengusap lengannya jengah.
Tapi dia senang melihat bahasa tubuh tuannya terlihat santai, tidak tegang dan siap meledak kali ini. Hanya beberapa kali saja dia mendapati tuannya sedang menatap padanya dengan intense, membuat tubuhnya merasakan gelenyar aneh dan tubuhnya terasa panas seketika. Bagian da*a, perut hingga bahian tubuhnya di bawah perut mendadak bergelenyar aneh. Tapi dia tak bisa menjelaskan apapunn tentang itu.
Tuannya itu baru saja mengajarinya cara memotong steak dan memakannya dengan anggun. Bukan pelajaran yang sulit untuk Candice. Dia cepat mengikuti. Hanya sebentar diajari dan dia sudah luwes melakukannya. Dia senang karena tuannya terlihat puas juga kali ini. Mereka makan dalam diam, selanjutnya.
Dia mendongak kaget saat tuannya beranjak dan tiba - tiba mengusap bibir bawahnya. Bukan usapan yang kasar, tapi tak lembut juga. Tekanannya pas sehingga dia merasakan efeknya nyaris seketika di seluruh tubuhnya. Di tubuh bagian atas dan bawah ya sekaligus, membuatnya mendadak tersengal nafasnya sendiri.
"Tu-Tuan…"
"Ada saus di bibirmu. Makan hati - hati." Katanya memperingatkan sambil kembali duduk di kursinya. Tapi bukannya mengelap jarinya yang terkena saus, tuannya malah membawa jempol tersebut ke mulutnya dan menghisapnya. Matanya masih memaku mata Candice dengan pandangan dalam.
Membuat nafasnya semakin tersengal dan ingin mengerang kencang tiba - tiba. Di sini. Saat ini. Astaga, ada apa dengannya?!
"Meh… Mercih, Monsieur (Terimakasih, Tuanh)." Jawabnya masih tersengal.
Tuannya hanya mengangguk kecil. Bagaimana mungkin dia terlihat biasa saja sementara Candice di sisi lain sudah seperti cacing kepanasan begini. Apa ini hanya reaksi sepihak? Berarti dia yang tak normal?
"Habiskan. Makan siangmu. Setelah itu kita pulang. Ada banyak hal yang akan kubicarakan denganmu."
"Tentang?" Candice memberanikan diri bertanya.
"Tentang pekerjaanmu."
Daging yang barusan disuapkan ke mulutnya mendadak terasa seperti karet. Tak bisa dikunyah dan ditelan. Padahal dia tau pasti daging tersebut sangat lembut. Dimasak dengan baik dan memiliki tingkat kematangan yang sempurna. Bagaimana bisa hal itu berubah secepat ini.
"Tu-tuan?" Katanya takut - takut.
Tapi Theodore, Tuannya itu hanya melambaikan tangannya menyuruhnya diam dan melanjutkan makan.
Bagaimana dia bisa makan? Ini tentang pekerjaannya? Apakah… apakah dia akan dipecat? Tapi Oma belum sembuh. Pengobatannya baru sekali, dan perlu setidaknya enam hingga sembilan kali pengobatan sebelum Oma sembuh sempurna.
Bagaimana ini?!
***
“Bawa semua kantong belanjaan ini ke kamarmu, dan temui aku di perpustakaan.” Titahnya dingin pada Candice dan langsung masuk ke dalam.
Membuatnya bengong melihat tumpukan kantong belanja yang tidak sedikit. Hari ini tuannya menghabiskan uang yang tidak sedikit untuk berbelanja. Dan yang dibelanjakannya kebanyakan keperluan wanita. Sepatu, gaun, mantel, make up. Dia juga menghabiskan banyak uang untuk mentraktirnya makan.
Tapi dia dipecat.
Tunggu. Kalau dipecat, dia kenapa diajak pulang lagi ke kastil? Dan tadi... Tuannya bilang baju - baju tersebut akan menjadi pakaian kerjanya.Sebenarnya ada apa? Apa dia harus berkemas setelah ini? Candice bertanya - tanya sembari mengangkat semua kantong belanjaan yang ada di mobil tuannya. Ada delapan kantong totalnya. Kemudian menutup pintu bagasi mobil dan beranjak masuk ke dalam rumah. Dingin!
Dia menata tas - tas belanja itu dengan rapi di meja kecil di samping ranjangnya. Dan bersiap untuk mengganti bajunya. Dia sempat melihat pantulan dirinya di depan kaca. Matanya sedikit terbelalak. Dia tak tahu kalau dengan baju yang tepat dan riasan yang tepat, dia bisa terlihat… Mungkin sedikit berlebihan memuji diri sendiri cantik, tapi dia memang melihat pantulan yang cantik dari kaca.
“Qui est-ce toi?” Bisiknya bertanya siapa yang dia lihat sedang menatap balik kepadanya sekarang.
Deringan ponsel menyentaknya kembali ke kenyataan. Dia bergegas cepat pada clutch trendy yang tadi juga dibelikan tuannya untuknya. Tuannya menelpon. Dengan tidak yakin, dia menekan tombol hijau.
“Ya Tuan?”
“Aku tak punya waktu seharian untuk menunggumu,” Katanya tanpa basa - basi.
“Baik. Baik Tuan. Saya akan segera ke sana setelah saya selesai berganti baju.” Jawabnya tergagap.
“Aku menyuruhmu menaruh belanjaan ke kamarmu, lalu menemuiku. Apa di perintahku, aku menyuruhmu mengganti baju?” Tanyanya dengan nada datar dengan suaranya yang dalam. Suara yang mampu mengaduk - aduk isi perut Candice karena setiap kali suara itu terdengar, rasanya ada makhluk asing yang menggeliat di dalam perutnya. Tapi nada dinginnya mampu membuatnya membeku seketika.
“Tidak. Tidak ada, Tuan.”
“Satu menit. Kau harus sudah sampai di sini.”
Klik!
Candice menghembuskan nafas yang tak disadarinya sudah ditahannya sedari tadi. Dia ingin mengulur selama mungkin. Dia tidak ingin dipecat. Dia masih ingin bekerja di sini. Tapi keputusan bukan berada di tangannya. Dan saat sadar beberapa detik sudah berlalu dari waktu satu menit yang diberikan oleh tuannya, dia bergegas keluar menuju perpustakaan.
“Oh, tidak! Aku semakin dalam masalah besar!”
***
Dia mendorong pintu kayu besar dan berat itu setelah di dengarnya suara Tuannya menyuruhnya masuk ke dalam. Dia tadi berlari ke sini. Masih memakai heels. Dan sekarang saat sudah diam, kakinya gemetaran luar biasa.
“Tuan.” Sapanya setelah menutup kembali pintu di belakangnya. Dia sempat bersandar sejenak di pintu tersebut sebelum akhirnya berjalan dengan lutut yang semakin gemetar mendekati meja tuannya di tengah ruangan.
Hampir seperti ruang tamu kastil, ruangan ini didominasi jendela besar di salah satu sisinya, tepatnya di belakang kursi dan meja kerja kayu Tuannya. Di kanan kirinya rak - rak berisi buku - buku tersusun rapi mengelilingi ruangan.
Beberapa sofa yang terlihat nyaman untuk diduduki sembari membaca buku juga ada di sana. Tapi dia ke sini bukan untuk membaca. Dia ke sini untuk mendengar keputusan Tuannya mengenai nasibnya selanjutnya di kastil ini. Apakah dia masih akan bekerja di sini atau seperti yang diperkirakannya, dia dipecat?
“Kau kenapa?” Theodore yang memang menatapnya tajam sejak dia masuk tadi bertanya saat melihat cara jalannya yang limbung.
“Ca va, Monsieur (Tak papa, Tuan). Hanya saja tadi saya sedikit berlari dari kamar pelayan ke sini. Kaki saya belum terbiasa dengan hak tinggi…”
“Attention! (Hati - hati!)” Tuannya berseru dan entah bagaimana caranya, dia sudah melesat menangkap tubuh Candice yang mendadak limbung saat berjalan ke arahnya.
Ya Tuhan, dekat sekali! Candice berseru dalam hati. Dan tubuh kami menempel sempurna! Ini memalukan! Tapi dia juga merasakan kenyamanan atas kontak fisik ini.
“Hati - hati. Duduklah.” Theodore membawa tubuhnya mendekat ke kursi yang ada di depan mejanya dan mendudukkannya di sana.
“Tapi tuan…” Dia hari ini banyak melanggar norma kerja yang biasanya dia anut dan junjung tinggi. Apa benar dia kan dipecat setelah ini?
“Apa kau akan terus menguji kesabaranku dengan membuatku mengulang semua yang kukatakan?”
“Pardonnez-moi (Maafkan saya).” Bisiknya takut.
Tuannya melepaskan tautan tubuh mereka. Membuat Candice kehilangan kehangatannya. Tapi alih - alih kembali ke kursinya semula, Tuannya malah bersandar di pinggiran meja menghadapnya.
“Ada yang ingin aku sampaikan padamu.”
Ini yang dia takutkan.
“Mulai besok, aku tak mau melihatmu dalam balutan baju pelayan.”
Lalu?!
“Seperti yang kubilang tadi. Baju ini, dan baju - baju lain yang tadi kita beli, mulai hari ini adalah seragam kerjamu yang baru. Belajarlah bermake up. Kau akan ikut ke manapun aku pergi mulai sekarang. Belajarlah berjalan menggunakan sepatu - sepatu itu. Ini adalah perintah, dan aku benar - benar tak suka dibantah.”