Sudah dua minggu berlalu sejak dia bekerja di kastil ini. Lambat laun, dia jadi semakin mengetahui seluk beluk kastil dan kebiasaan - kebiasaan tuannya yang lain.
Dia tidak minum kopi berkafein tinggi di pagi hari seperti orang - orang pada umumnya. Dia lebih suka roti biasa daripada roti gandum, lebih suka telur mata sapi daripada scrambled, dan tidak suka daging ikan.
Dia sempat mengeluh pada Lucas, pria itu yang biasa mengantarkannya untuk berbelanja di pasar. Betapa tidak, tempat mereka amat dekat dengan dermaga yang merupakan pusat penyortiran dan pendistribusian ikan, salah satu terbesar di Prancis. Jadi memang lebih mudah mendapatkan daging ikan daripada daging hewan lain untuk dikonsumsi.
Tapi setelah beberapa waktu ber eksperimen, dia jadi tau bahwa tuannya hanya tidak menyukai makanan dengan bau menyengat. Dan dia berhasil membuat kreasi masakan dari daging ikan yang bersedia tuannya makan. Dia senang sekali hingga tidak bisa tidur setelahnya.
Ah, tentang tidak bisa tidur. Entah kenapa sejak dia membaca tulisan tangan tuannya itu, dia jadi susah tidur. Dia terbayang - bayang selalu adegan yang dibacanya, terutama di bagian....
‘Perlahan bibir mereka bertemu. Saling menyapu lembut, lalu semakin dalam dan semakin dalam. Phillip melesakkan lidahnya ke dalam sana saat mulut Inez tak sengaja terbuka untuk mengambil nafas. Tangannya merengkuh tubuh kecil Inez agar semakin dekat dengan tubuh kerasnya. Philip menggeram, menyukai bagaimana tubuh halus dan lembut Inez seakan melebur pada tubuhnya yang keras dan kasar’
Dia bahkan beberapa kali memimpikan adegan itu. Lalu terbangun dengan nafas terengah - engah dengan tubuh kepanasan di malam hari. Padahal sekarang adalah musih dingin. Amat mustahil seharusnya merasa gerah. Hal itu karena dia baru pertama kali membaca yang seperti itu. Dia tentu tau apa yang mereka lakukan. Dia sering melihat remaja seumurannya atau yang lebih muda melakukan itu di jalanan saat musim panas. Tapi dia tidak pernah tau kalau saat melakukannya, mereka akan melibatkan banyak organ seperti itu.
Jujur saja, dia selalu penasaran. Dalam buku cerita yang sering dia baca saat kecil dulu, kisah cinta abadi pangeran dan tuan putri selalu diakhiri dengan ciuman. Tentu saja dia ingin merasakannya juga, tapi dengan siapa? Dia cukup tau diri untuk menyadari bahwa pemuda seusianya maupun yang sedikit lebih tua di pemukimannya hampir selalu memandangnya dengan tatapan merendahkan atau jijik. Dia ingin melakukannya dengan orang yang bisa menatapnya penuh cinta.
Walaupun dia sendiri tidak tau bagaimana seharusnya tatapan penuh cinta itu.
Hari ini dia memulai harinya dengan kurang bersemangat. Senyumnya yang biasanya ceria terlihat agak sendu dan lelah. Semalam dia memimpikannya lagi. Bahkan kali ini dia seperti menjelma menjadi Inez karena dia seperti merasakan sensasinya. Sensasi saat seseorang melumat bibirnya dengan intens hingga membuat nafasnya terhenti dan bulu kuduknya berdiri meremang. Seperti itu. Dia terbangun terlalu pagi dengan nafas tersengal - sengal, tubuh panas membara dan perasaan mendamba yang membuat pusat tubuhnya terasa lembab tak nyaman.
Dia tidak bisa tidur lagi setelahnya. Jadi dia memutuskan untuk bangun, mandi dan memulai harinya.
“Ada masalah?” Lucas menyapa saat pria itu membuat kopi paginya.
Dia menggeleng pelan. “Non, juste… Je n’ai pas assez dormir cette nuit-la (Tidak apa - apa, hanya saja…. Aku tidak cukup tidur semalam.”
Mereka berdua jadi agak dekat karena Lucas sering mengantarnya ke pasar untuk membeli kebutuhan kastil. Dia juga kadang bertanya pada Lucas sebelum menyiapkan sesuatu untuk tuannya karena Lucas yang lebih sering bersama pria tampan itu daripada dirinya.
“Ada masalah?”
“Non (tidak). Hanya mimpi buruk, Pas serieux (tidak serius).”
Dia segera menyiapkan sarapan untuk Lucas. Saat sarapan, tuannya lebih suka makan di dapur. Sebenarnya dia agak risih karena merasa diperhatikan saat bekerja. Tapi kan ini rumahnya, dia bisa apa lagi.
Lucas duduk di meja dapur, memakan sarapannya dengan tenang, sementara dia melanjutkan menguleni adonan rotinya. Penghuni kastil ini lebih suka roti fresh bikinannya. Lucas dan tuannya makan dengan lahap kalau dia membuat rotinya sendiri. Lagipula, dia tidak keberatan. Peralatan dapur di kastil ini amat sangat lengkap.
“Bonjour, Monsieur. (Selamat pagi, Tuan.)” Sapaan Lucas mengagetkannya hingga lengannya yang tidak terlindung sarung tangan menyenggol tepian oven panas saat mengeluarkan roti yang sudah matang.
Dia terpekik kecil karenanya, membuat dua pria yang ada disana buru - buru mendekat menghampiri.
“Disa, ca va, toi? (Kamu baik - baik saja?)” Lucas bertanya, memegangi tangannya yang kini memerah.
“Kalau ingin membakar dirimu, jangan lakukan di depan kami.” Kali ini giliran tuannya, pria itu berdiri agak jauh darinya dan Lucas. Tatapannya terlihat dingin dan gusar, membuatnya terbata saat menjawab.
“O-Oui, M-Monsieur. (Ya Tuan).”
***
Lusa adalah jadwal check up Oma. Dia harus pulang untuk membawanya ke rumah sakit. Dia tidak percaya pada Oma kalau dia bilang dia akan pergi sendiri untuk kontrol. Pasti itu hanya tipuan manis untuk membuatnya berhenti mengoceh karena khawatir.
Yang jadi masalah sekarang adalah, meminta ijin Tuannya untuk libur sehari besok. Lucas bilang Tuannya itu sedang tidak dalam kondisi hati yang bagus. Sepanjang hari dia terus marah - marah dan berbicara dengan nada ketus, dan jika mungkin, jadi sepuluh kali lebih dingin daripada biasanya.
Tapi sekarang sudah waktunya makan malam. Ini adalah kesempatan satu - satunya. Jika tidak sekarang, kapan lagi?
Jadi saat dia menyiapkan makan malam tuannya, dan juga makan malam mereka, Lucas dan dirinya sendiri karena Tuannya bersikeras agar mereka selalu makan bersama saat malam, Dia memaksa dirinya untuk meminta ijin.
“Besok?” Tuannya bertanya memastikan.
“Ya, Tuan.”Jawabnya. Dipasangnya seyum termanis yang dia punya, meskipun harapannya tidak setinggi tadi di awal.
“Haruskah besok? Ada tamu yang akan datang ke sini besok.”
Senyumnya surut sedikit. Menjamu tamu Tuannya adalah tugasnya, tapi check up Oma… apakah bisa diundur lagi? Bagaimana jika sakitnya semakin parah?
“Sudahlah, tidak perlu kau pikirkan. Kau ingin libur besok? Liburlah, Tapi kembali ke sini sebelum jam tujuh malam, atau saat aku memanggil.” Katanya, masih menatapnya dingin. Dia bertanya - tanya, sebenarnya apa salahnya? Kenapa Tuannya selalu menatapnya dengan dingin? Seperti tatapan tak suka?
“Baik Tuan.”
“Naik ke kamarku setelah makan malam.”
“Pardon? (Ya?)”
***
“Apa ini, Tuan?” Dia bertanya, memegang benda pipih yang tadi diberikan tuannya. Bentuknya seperti ponsel, tapi… apa benar ini ponsel? Teman - temannya tidak menggunakan ponsel yang seperti ini.
Tuannya berjalan menghampiri, berdiri di sebelahnya dan menunjukkan cara benda tersebut beroperasi. Jarinya dituntun untuk menekan tombol kecil di bagian samping benda tersebut, dan menyalalah layarnya, lalu jarinya digeserkan pada layar yang menyala tersebut.
“Di dalam sini sudah ada kontakku. Kau bisa menelponku di sini. Atau mengirim pesan padaku di sini. Kau bisa mengetik kan?”
Dia mengangguk dengan susah payah. Dia sangat sulit berkonsentrasi saat berada sedekat ini dengan Tuannya. Jujur saja, dia belum pernah berada sedekat ini dengan Tuannya. hembusan nafas tuannya yang menyapu bagian belakang telinganya, dan tangan kokoh dengan jemari besar dan kasar yang menuntun jemarinya mengoperasikan benda elektronik tersebut, ini tak mudah baginya. Jantingnya jadi berdebar dan dia sedikit pusing dan lemas seketika. Dia harus mengingatnya sungguh - sungguh untuk tidak berada terlalu dekat dengan Tuannya, atau tubuhnya akan memberikan reaksi yang aneh seperti ini.
Ruangan ini ber AC, tapi dia merasa panas, cenderung sesak nafas, dan jantungnya berdentam seperti habis berlari. Lalu yang paling aneh, kenapa kulitnya yang tersentuh kulit Tuannya terasa panas membara? Apakah kulitnya yang alergi? Atau yang disentuhnya itu adalah tempat dimana dia terbakar tadi?
Tidak. Dia menyentuh pergelangan tangan dan jari - jarinya.
“Bisa Tuan.” Jawabnya tersengal. Entahlah, dia merasa hawa ruangan di dalam sini berubah drastis.
“Ya sudah. Kau boleh pergi.”