Hari ini dia mendapat perintah untuk membersihkan kamar - kamar tidur di lantai dua. Kastil ini memang hanya dua lantai. Kecuali menaranya, sepertinya menara tersebut terdiri dari paling tidak empat hingga lima lantai. Menara di sudut kiri tersebut begitu kokoh. Tapi kata Monsieur Lupin, tidak untuk dimasuki. Padahal dia penasaran sekali isinya apa. Apakah rasanya berdiri disana sama seperti Belle? Atau seperti Rapunzel?
Dia memang setiap hari membersihkan lorong, balkon dan jendela kastil, termasuk yang di lantai dua. Tapi tidak kamar - kamarnya. Dia membersihkan kamar - kamarnya seminggu dua hingga tiga kali. Sekarang dia sedang menatap bingung pada ranjang di depannya. Sudah rapi. Seperti tak ada tanda - tanda pernah ditempati akhir - akhir ini di sini. Atau tuannya tidak menempati kamar tidur utama? Lalu dia tidur di mana?
Dia selesai membersihkan master bedroom dan beranjak ke kamar kedua. Sama. Keadaan kamar ini pun sama, rapi, seperti tak ditempati. Dia yakin, karena dia tidak melihat koper yang tuanya bawa di hari pertamanya datang ke sini.
Kamar ke tiga dan keempat juga sama. Jujur, dia mulai agak panik. Dia ingin tertawa juga, buat apa dia panik karena tak menemukan kamar tuannya? Setiap malam dan setiap pagi dia selalu melihat tuannya naik dan turun ke lantai ini untuk beristirahat. Dan lagi, masih ada beberapa kamar yang belum dia masuki. Dia menepuk - nepuk dahinya gemas sendiri karena kebodohannya.
Di kamar kelima, dia mendesah lega.
“Ah… Enfin (Akhirnya) ternyata di sini.”
Tuannya orang yang tidak terlalu rapi, tapi tidak bisa disebut juga berantakan. Dia jelas bisa mengemas sendiri ranjang yang dia pakai. Ranjangnya meskipun tidak terlalu rapi, jelas sudah dikemas, bantal - bantal ditata sedemikian rupa, bed cover dan duvet juga sudah dirapikan kembali. Tidak ada baju kotor berserakan. Tapi banyak sekali yang keluar detail seperti kursi yang tidak dikembalikan pada tempatnya, kertas - kertas yang tercecer di sekitar meja, tirai yang tidak jelas sedang dibuka atau ditutup, dan handuk yang tidak dijemur dengan benar.
Dia mulai membersihkan dari kamar mandi. Menyikat dan merapikan barang - barang Tuannya, mengambil baju kotor yang diletakkan tuannya asal di keranjang laundy di samping pintu kamar mandi, mengganti sprai, membersihkan lantai dan karpet serta tirai, dan yang terakhir membereskan kertas yang berserakan di meja kerja tuannya.
Tangannya berhenti saat matanya tidak sengaja membaca penggalan naskah yang ditulis tangan oleh Tuannya tersebut. Fokus pertamanya adalah pada tulisannya yang rapi. Tulisannya lebih seperti tulisan orang Inggris dan tulisan orang Irlandia dibandingkan tulisan tangan orang Prancis (A/N: Silakan di googling sendiri maksud Candice di sini apa untuk menangkap maksudnya lebih jelas lagi. Kuncinya, tulisan tangan orang Prancis.).
Fokusnya yang kedua adalah pada jalan isi ceritanya. Lucas bilang dia penulis. Maksudnya penulis n****+? Dan apakah maksudnya juga… n****+ romantis?
‘Inez tersentak bangun dari tidur ayamnya, mendapati Phillip sedang berjaga di depan api unggun yang mereka buat tadi saat memutuskan untuk bermalam di sini. Dia melirik jam tangannya, mendapati waktu berlalu amat cepat, karena sekarang sudah jam satu pagi. Giliran Phillip untuk beristirahat. Masing - masing dari mereka akan beristirahat selama tiga jam. Gilirannya sudah, jadi dia menghampiri Phillip, menepuk bahunya pelan dan berjongkok di sebelahnya.
-Kau lupa tidak membangunkanku. Sudah jam satu. Sekarang giliranmu. Aku akan berjaga di sini.- Ucapnya pelan
-Ah, aku tidak menyadarinya- jawab pria itu.
Inez mengernyitkan alisnya heran. Biasanya pria ini amat sangat jeli. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya?
-Ada masalah?-
-Tidak ada. Tidak persis seperti itu.- Jawabnya gugup.
-Katakanlah. Sebisa mungkin aku akan membantu. Kita adalah tim. Kita harus tetap bersama sampai tim penyelamat bisa menemukan kita. Dan harus bersembunyi dari kejaran mereka.-
Phillip menoleh pada Inez. Menatapnya lama dan dalam sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya pada api yang berkobar melahap kayu bakar. Inez kira, dia tidak akan berkata apapun. Dia agak kaget saat suaranya kembali terdengar. Dan lebih kaget lagi saat mendengar apa yang dikatakannya.
-Aku melihat kau dan Spencer saat itu.-
-Saat itu? Maksudnya kapan?-
-Saat kalian...Kalian… Malam yang sama saat kita menyerahkan Spencer pada mereka karena mengkhianati kita.- Jelasnya.
-Ah..- Inez menggumam memahami kapan waktu yang dimaksud oleh pria ini. -Lalu?-
-Kenapa… kalian melakukannya? Kau tidak berkata apapun saat aku memutuskan untuk mengikatnya di sana dan meninggalkannya.-
Giliran Inez yang kehabisan kata - kata. Wajahnya memerah malu. -Aku… melakukan itu karena...dia bilang dia menyukaiku.-
-Lalu kalau aku bilang aku menyukaimu sekarang, apakah kau akan melakukannya denganku?-
Hening.
-Mungkin. Bukankah melakukan itu adalah bukti bahwa kita saling menyukai?- Tanya Inez.
-Apa kau menyukaiku?- Phillip bertanya. Suaranya yang dalam tiba - tiba membuat Inez gemetar.
-Aku… mungkin? Aku tidak tau...-
Phillip tidak menjawab lagi. Alih - alih, dia mendekatkan wajahnya pada wajah Inez. Perlahan bibir mereka bertemu. Saling menyapu lembut, lalu semakin dalam dan semakin dalam. Phillip melesakkan lidahnya ke dalam sana saat mulut Inez tak sengaja terbuka untuk mengambil nafas. Tangannya merengkuh tubuh kecil Inez agar semakin dekat dengan tubuh kerasnya. Philip menggeram, menyukai bagaimana tubuh halus dan lembut Inez seakan melebur pada tubuhnya yang keras dan kasar.
Tangan mereka berlomba ingin saling meraba tubuh lawan, tidak mengijinkan yang lain mendahului…’
“Kau menyukainya sampai - sampai tidak sadar kalau sudah lumayan lama berada di sana?”
Candice tersentak mendengar suara berat dan dalam itu. Astaga! Sejak kapan dia di situ?!
“Ma..Maaf, Tuan.” Karena terlalu kaget dan panik ketahuan mangkir dari pekerjaannya saat jam tugas, Candice lupa menampilkan senyum andalannya. Alih - alih, matanya menyorot takut sambil menggigit bibir.
Tuannya yang sedang bersandar di kusen pintu menegakkan badannya tiba - tiba. Rona geli yang tadi membayang di wajahnya saat melihat Candice larut dalam naskah tulisan tangannya yang penuh coretan itu hilang digantikan dengan ekspresi yang lebih gelap.
“Saya… akan saya lanjutkan beberesnya. Hanya tinggal meja ini saja.” Katanya cepat - cepat karena takut kalau ekspresi yang dilihatnya barusan adalah ekspresi kemarahan.
“Tidak perlu. Segitu saja. Kau boleh pergi.”
“Pardonnez-moi, Monsieur (Maafkan saya, Tuan).” Tolong jangan marahi dan pecat saya. Saya butuh pekerjaan ini. Dia ini menambahkan kalimat itu, tapi sepertinya kurang etis, jadi dia menelannya kembali.
“Pergilah.” Katanya lagi.
Dia buru - buru mengemasi peralatan beberesnya dan segera membawa mereka semua keluar setelah menunduk berpamitan.
Ya Tuhan, semoga tidak ada masalah menimpaku setelah ini. Dia berdoa dengan sungguh - sungguh saat menuruni tangga menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.