Paginya dia bangun karena suara ketukan konstan di pintu kamar besar yang ditempatinya bersama Tuannya.
Astaga, jantungnya semalam nyaris melompat keluar dari dad*nya saat mengetahui bahwa di kamar luas dan mewah ini hanya ada satu ranjang saja. Dan itu membuat tubuhnya bereaksi aneh. Panas, dan… gatal tak nyaman di bawah sana. Dia tak tahu kenapa.
Dia berjalan sedikit tergesa ke arah pintu untuk membukanya segera. Semakin cepat dibuka, suara ketukan itu akan segera berakhir sehingga tidak akan mengganggu Tuannya.
"Bonjour!"
Seorang wanita berbadan besar, berkulit eksotis dengan rambut disisir erat ke belakang menyapanya di depan pintu. Candice berkedip beberapa kali, wajahnya terlihat familiar tapi….
Ah! Dia ingat wanita ini yang datang ke kastil beberapa saat lalu bersama dua anak - anak yang lucu, teman Tuannya!
"Bonjour, Monsieur Théodore masih istirahat. Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya pelan dan sopan yang malah dibalas dengan pelototan tak percaya. Apa salahnya?
"Dia masih tidur?! Dasar pria arogan itu! Permisi,"
Candice otomatis menyingkir saat wanita tersebut merangsek masuk. Takut tertabrak. Ternyata di belakang wanita tersebut, ada dua orang lain yang tadinya tak terlihat olehnya, dan sekarang ikut masuk. Satu wanita dan satu pria yang agak kemayu, doa menyimpulkan seperti itu karena cara pria itu berjalan yang penuh lenggokan dan tak seperti pria pada umumnya.
"Cherie, kau bersiaplah. Aku akan mengurus anak nakal itu."
"Saya?"
"Ya! Va- Vite! (Cepatlah)."
Seperti hendak ditembak dengan meriam jika tak melakukannya dengan segera, Candice buru - buru mengambil peralatan mandi dan handuknya dan segera melangkah ke kamar mandi.
"Attends! (Tunggu!)"
Candice berhenti di tengah - tengah ruangan dengan badan sedikit gemetar. Dia tak terbiasa dengan suara kencang. Dan suara perempuan itu kencang sekali. Mungkin kamar sebelah sebentar lagi akan datang untuk memprotes kebisingan mereka, pikirnya takut.
"Ya?"
"Kau semalam tidur di situ?"
"Ya."
"Mon Sacre Dieu! (Ya Tuhanku yang Maha Suci!) Lucifer! Bangun!"
"Diamlah!" Geraman gusar itu terdengar sebelum pintu kamar terbuka.
Jika tadi dia ketakutan karena suara Louise yang menggelegar, maka kini dia tak tahu lagi apa yang doa rasakan melihat penampakan Tuannya yang baru saja bangun tidur dengan rambut kusut, mata setengah terpejam… dan yang membuatnya sesak nafas seketika, dad* bidang Tuannya yang terpampang dengan jelas karena kimono tidurnya dipakai asal saja menutup tubuhnya. Bahkan talinya hanya diikat sekenanya, membuat Candice khawatir jika sewaktu - waktu tali tersebut terlepas saat Tuannya bergerak.
Dia melirik kedua orang lain yang tadi dibawa oleh perempuan itu dan membuang nafas tertahannya dengan lega. Setidaknya dia tak sendiri. Jadi, dia tak merasa aneh lagi karena air liurnya sempat terbit saat melihat tubuh Tuannya. Melihat tubuh Tuannya untuk pertama kalinya.
Pengalaman bagus yang tak ingin sering - sering dia ulang jika ingin hidup lebih lama. Tuannya yang bertela*jang d**a begitu sama sekali tak bagus untuk organ dalamnya, terutama di bagian dad*, perut, dan daerah di antara kedua kakinya.
"Bisa - bisanya kau tidur di dalam kamar dan ada seorang gadis kau biarkan tidur di sofa?! Manner mu sungguh luar biasa! Dan apa - apaan, kau?! Benahi bajumu kalau tak ingin kamar ini kebanjiran sebentar lagi."
Candice takjub dengan bagaimana wanita ini memarahi Tuannya dengan fasih. Bahkan Tuannya tak membantah sama sekali. Menggerutu, iya. Tapi dia melakukan apa yang disuruh oleh wanita tersebut.
"Aku tak pernah mengunci pintu kamarku. Kalau dia tak nyaman berada di sana, aku dengan senang hati berbagi ranjang."
Candice memalingkan wajahnya ke bawah saat tatapannya yang awalnya takjub berubah menjadi kaget saat bertemu pandang dengan Tuannya. Tatapan itu, dan kalimatnya yang mengatakan bahwa bersedia berbagi ranjang dengan Candice membuat wajahnya panas membara.
"Permisi," akhirnya itu yang dia lakukan saat tak ada lagi yang lain untuk menyelamatkan diri. Dia tadi di suruh mandi kan, maka akan dia lakukan seperti perintahnya.
***
Setelah mandi, dia didudukkan di depan kaca dan mulai didandani. Pria kemayu itu yang mendandaninya.
Dia agak sedikit risih, karena pria ini tipikal yang suka menyentuh. Di pundak, di leher, di lengan dan di banyak tempat - tempat lain.
Selain itu, alasannya merasa tak nyaman adalah karena Tuannya masih berdiri di sana memperhatikan. Benar - benar memperhatikan ke arahnya, bukan hanya berdiri menunggu dan kemudian sibuk sendiri dengan ponselnya seperti yang dilakukannya kemarin dulu saat mengajaknya berbelanja baju.
Wanita bersuara kencang yang tadi datang, ternyata bernama Louise, dan mungkin dia semacam asisten Tuannya? Karena Tuannya selalu bertanya kepada Louise dan jawabannya selalu sudah diurus atau sudah dilakukan. Dia pasti orang yang cekatan.
Hanya saja, Louise tak hanya mengerjakan perintah Tuannya, tapi juga berani memerintah Tuannya melakukan berbagai hal. Dan Tuannya menurut saja kebanyakan waktu. Dan hal itu membuatnya terkejut, bahwa ada yang berani memerintah Tuannya seperti itu.
"Kusarankan kau segera bersiap juga." Kata Louise mencoba mengusir Tuannya. Ini sudah yang ke empat, atau mungkin kelima kalinya dia berkata seperti itu, mencoba mengusir Tuannya dari sana, mendesaknya untuk bersiap.
Matanya sedang dikerjakan oleh penata riasnya, jadi dia tak bisa melirik sembarangan untuk melihat reaksi Tuannya. Dalam hati, dia menegur dirinya sendiri karena terlalu ingin tahu segala hal tentang Tuannya itu.
Biasanya dia bukan orang yang ingin tahu terhadap suatu hal. Selain pekerjaan, dia jarang tertarik pada hal - hal lain. Tapi entah kenapa, jika menyangkut Tuannya, hal - hal yang dulu dia kira bukanlah hal yang merupakan kebiasaannya malah kini menjadi kebiasaan baginya.
Dia banyak merasakan dan mengalami hal baru sejak bekerja bersama Tuannya. Dua bulan sudah berlalu sejak itu, dia merasa waktu cepat sekali berlalu sekaligus lambat. Waktu berlalu cepat, tak terasa sudah dua bulan lebih dia bekerja di sana, tapi lambat karena setiap kali dia berdekatan dengan Tuannya, waktu d akan terhenti. Satu - satunya yang menjadi cepat saat dia berada di sekitar Tuannya adalah detak jantungnya.
Bahkan suara Tuannya yang berbicara pelan dan lambat seperti ini juga membuatnya terbuai. Apalagi dengan mata terpejam begini. Rasanya seperti ada yang menuang air hangat yang membuat tubuhnya melemas nyaman, melepaskannya dari kepenatan dan beban dunia.
Mungkin dia sempat tertidur. Karena dia tersentak bangun saat ada yang mengguncang pelan bahunya. Wajahnya memerah saat mendapati Louise, Tuannya dan penata riasnya sedang memandanginya, membuatnya tersentak kaget.
"Maaf." Cicitnya mengarah pada dia yang tertidur saat didandani.
"Ehm! Bukankah kita punya perjanjian tentang meminta maaf?" Suara tegas dan berat Tuannya membuatnya mendongak, membuat mata mereka bertemu.
Candice terkesiap kecil melihat Tuannya. Dia baru menyadari bahwa Tuannya sudah selesai mandi dan sudah berganti baju mengenakan setelan Tuxedo. Bahan kain tersebut membungkus pundak bidang Tuannya dengan sempurna, memberikan kesan gagah yang tak terbantahkan. Tuannya itu pun sedang memandanginya dengan intense, seolah - olah dia sedang memindai Candice dengan sinar laser yang terpasang di matanya.
"Jean-Mark sudah selesai di sini denganmu. Ikutlah bersama Marie untuk berganti baju di kamar."
Candice dengan patuh mengangguk dan beranjak untuk melaksanakan perintah Louise.
"Mau ke mana?"
Candice yang sudah beberapa langkah berjalan menghampiri tas bawaannya terhenti sebentar. Dia tadi menyuruhnya untuk berganti baju, kan?
"Mengambil baju ganti?" Tanyanya tak yakin.
Louise menggeleng, menggoyang jari telunjuknya di depan wajah Candice. "Non. Kita tak akan memakai baju yang kau bawa. Ikutlah. Kami sudah menyiapkan baju untukmu yang lebih cocok di dalam sana."
Dia menurut. Mengikuti wanita berambut coklat dengan gaya half ponytail itu masuk ke dalam kamar. Mengganti bajunya dengan baju yang disodorkan tanpa memperhatikan modelnya lebih jauh.
Dia baru sadar bahwa model baju ini….
"Apakah ada baju lain? Kurasa ini terlalu terbuka untuk acara sepagi ini