Mereka tak memberinya pilihan untuk bajunya. Tentu saja baju ini bagus sekali. Pas badan dengan kain yang lembut laksana kulit kedua. Tapi justru itu masalahnya.
Ini teu terasa seperti kulit sampai - sampai dia merasa sedang tak mengenakan apapun saat ini.
Modelnya rok panjang hingga mata kaki, yang aakn berayun mengikuti gerakan kakinya saat dia berjalan, dengan model bagian atas seperti overall tanpa badan. Hanya tali tang melebar di bagian dad*nya dan menyambung hingga ke bagian belakang.
Karenanya dia tak bisa menggunakan bra saat dia mengenakan gaun ini. Gadis yang dipanggil Marie, yang membantunya berganti baju dan menata gaunnya tadi menempel sesuatu di atas puncak dad* nya untuk menyamarkan tonjolan di bagian tersebut. Tapi baginya, rasanya masih tetap aneh.
"Tu es prêt?! (Kau sudah siap?!)
"Oui!"
Marie terlebih dulu menjawab sebelum dirinya.
"Kalau begitu kenapa kau tak keluar, Sayang? Kita kehabisan waktu. Acara sudah akan mulai beberapa saat lagi!" Omelan Louis membuatnya sontak mendongak dan bergegas kyar dari kamarnya, untuk mendapati pandangan takjub dan menyangka baik dari Louise maupun tuannya.
"A-ada apa? Apakah… terlalu berlebihan? Saya sudah meminta Marie untuk menukar bajunya…."
"Jangan!"
Candice tersentak kaget saat ada dua suara berseru jangan padanya. Dan salah satunya adalah… majikannya?!
Louise langsung mengambil kunci dan melemparkannya kepada Tuannya yang menangkapnya dengan sigap dan mendorongnya untuk pergi.
"Tak ada waktu. Kalian sudah nyaris terlambat. There, have fun! Bawa pialanya pulang jangan lupa."
***
Tuannya membawa Candice ke salah satu acara yang dihadiri oleh orang - orang yang memakai tuxedo dan gaun - gaun cantik serupa yang dipakainya.
Selama perjalanan ke sini tadi, dia sibuk menutupi dirinya sebisanya di dalam mobil. Rasanya, kulitnya jadi empat kali lipat lebih sensitif dari biasanya. Bahkan belaian angin saja mampi membuatnya tergelitik. Mungkin karena hawa dingin. Atau mungkin karena keberadaan Tuannya? Candice tidak bisa memastikan.
Saat mereka sampai, dia nyaris luruh teronggok di bawah kaki Tuannya saat pria itu dengan mantap meletakkan tangannya di punggung bagian bawahnya yang terbuka. Membuat bagian itu seperti terbakar, hingga tembus sampai ke pusat tubuhnya.
Candice menggeleng, berusaha menenangkan diri dan membersihkan kepalanya dari semua pikiran tersebut. Rasanya berdosa sekali mengasosiasikan Tuannya dengan sensasi yang tubuhnya rasakan barusan.
"Gandeng sikiku, tegakkan bahu dan kepalamu, lalu tersenyum sedikit saja. Ingat, jangan permainkan aku di sini."
Candice menelan ludah dengan susah payah, memaksakan dirinya untuk mengangguk pada Tuannya.
Telapak tangan Tuannya masih berada di punggungnya, dan barusan itu Tuannya berbisik, dekat sekali dengan telinganya. Bahkan sesekali dia bisa merasakan sapuan bibir Tuannya di permukaan daun telinganya. Gerakan Lembut bak kepakan sayap mupu - kupu di permukaan kulitnya. Rasanya seperti ada yang menyiram minyak tanah pada bara api yang selama ini diam - diam menyala dalam dirinya. Membuatnya berkobar seketika.
Dia mengikuti Tuannya berjalan menyusuri karpet berwarna merah, naik ke panggung kecil yang di tunggui banyak wartawan. Mantelnya sudah lebih dulu ditanggalkan saat keluar dari mobil tadi. Begitupun Tuannya.
Dia tahu lara wartawan dan tukang foto itu sedang mengambil gambar mereka. Dia sedikit banyak paham dan tahu. Jadi dia berpose sebisa mungkin. Menghadap sebelah sana lalu tersenyum, menghadap ke sini dan menelengkan sedikit kepalanya lalu tersenyum, menyeka juntaian rambutnya yang terbawa angin agar tak menghalangi wajahnya dan kembali tersenyum. Mereka melakukan itu sekitar dua menit penuh sebelum akhirnya diperbolehkan turun. Dua menit yang lama!
Dia kira setelah itu, mereka akan selesai, tapi ternyata kali ini mereka di sodorkan benda kotak kecil. Tuannya mengambil dan memegangnya sejajar dadanya, dan kemudian pertanyaan - pertanyaan mulai dilontarkan pada mereka.
Dia gugup sekali. Bagaimana kalau dia tidak bisa menjawab?! Tapi sebentar kemudian dia merasakan elusan konstan di kulit punggungnya. Jari Tuannya! Sedang mengelus kulit lembut di sana perlahan, membuat nafasnya seketika memberat.
Mungkin maksud Tuannya, dia ingin menenangkan. Tapi yang Candice rasakan, dia sama sekali tak tenang. Jantungnya bertalu dan kulitnya meremang. Bagusnya, telinganya tak lagi bisa mendengar riuh redam pertanyaan yang dilontarkan orang - orang di depan mereka ini. Dia hanya bisa mendengar deru aliran darah yang mengalir deras seperti berbondong - bondong menuju ke kepalanya.
Saat tangan Tuannya berpindah merangkul bahunya, barulah sedikit demi sedikit suara - suara di sekitarnya kembali terdengar.
"Apakah buku anda yang selanjutnya akan segera terbit, Lucifer?"
"Aku sedang mengerjakannya. Ada banyak hal yang harus dilakukan agar bukunya keluar dengan bagus. Aku harap kalian semua mau menantikannya."
"Terima kasih, Lucifer! Semoga hari ini menyenangkan untuk anda dan pasangan."
Dia kemudian dituntun untuk masuk ke.sebuah ruangan besar dan remang - remang. Ada seorang wanita menyambut mereka dan mengantar mereka ke sebuah meja bundar. Di sana tertulis Lucifer and Team.
"Kau tak apa?"
Candice tersentak mendengar kalimat yang penuh kekhawatiran keluar dari Tuannya. Kepalanya cepat - cepat menggeleng memberi jawaban.
"Saya baik - baik saja."
***
Ternyata itu adalah sebuah ajang penghargaan untuk para penulis. Candice menyimak baik - baik apa yang disampaikan oleh pembawa acara dan orang - orang yang terlihat penting yang naik ke panggung untuk memberikan kata sambutan.
Nama acaranya adalah Man Booker Prize. Ini adalah sebuah penghargaan yang diberikan kepada penulis dengan genre fiksi terbaik. Diberikan setiap tahun di awal bulan Oktober pada perayaan London’s Guildhall. Kebetulan kali ini acaranya berlangsung di Paris.
Candice menganga saat mendengar total hadiahnya. Otaknya yang biasanya pintar berhitung kini macet total, tak bisa membayangkan uang sebanyak itu. Hadiahnya mencapai €50.000 untuk penulis.
Acara ini dinaungi oleh The Booker Prize Foundation yang didirikan pada tahun 2002 di Inggris. Yayasan ini sebenarnya telah eksis sejak 1969 hingga tahun 2001 dengan nama Booker Prize for Fiction, lalu tahun 2002 mereka mengganti namanya menjadi The Booker Prize Foundation. Tujuan dari yayasan ini adalah untuk mempromosikan seni dan nilai dari sastra untuk kepentingan publik. Itu adalah acara intinya, tapi tadi Candice mendengar ada juga acara lelang dan amal dan dikelola oleh mereka.
Misi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan cara memberikan Booker Prize dan International Booker Prizer kepada penulis lokal di Inggris dan penulis Internasional. Candice tak sabar. Dia suka membaca, tapi seiring bertambahnya usia, dia tak bisa sesering itu membaca. Membaca membutuhkan uang dan waktu. Dan keduanya dia tak punya.
Dikatakan juga, selain alasan - alasan di atas, yayasan ini juga aktif melakukan baca bersama di penjara, kunjungan penulis ke beberapa universitas, donasi buku ke orang-orang tidak mampu, memberikan pendanaan untuk buku Braille dan melalui RNB membuat audiobook edisi mereka sendiri.
"Anda hebat sekali, Tuan." Bisiknya takjub. Matanya berbinar - binar melihat acara semegah ini. Jika bukan karena ajakan Tuannya, sampai akhir hayat pun dia tak akan berani bermimpi untuk menginjakkan kakinya di tempat seperti ini, diundang pada acara seperti ini.
"Begitu menurutmu?"
"Ya! Ini luar biasa."
"Kalau kau melakukannya dengan baik hari ini, aku akan memberikanmu hadiah."
"Benarkah?! Hadiah apa?" Tanyanya antusias. Reflek badannya maju, condong kepada Tuannya.
"Apa yang kau inginkan?"
Bibir penuh yang terpoles lipstik warna nude itu terbuka membentuk bulatan O. Mata sayu yang tadinya berbinar menatap Tuannya itu kini berubah menjadi setengah melamun. Sedang berpikir.
"Sudah tau apa yang kau inginkan?"
Dia tersenyum malu - malu. "Saya tak tahu apakah saya pantas memintanya."
"Coba kudengarkan."
"Saya harap Tuan akan terus memakai jasa saya hingga nanti. "
PS:
Kalau Theodore jadi salah paham, ini salah siapa jadinya?
Candice... /,