Tujuh Belas: Theodore

1180 Kata
Dia memiliki rencana yang akan melibatkan maid nya itu. Siapa yang menyangka bahwa dia akan mendapatkan cara yang bagus untuk membalas dendam, di tempat ini. Tidak banyak orang dengan nama belakang Besnier. Berbeda dengan nama Arnaud, Lupin dan Mollier yang amat umum di Prancis. Nama itu hanya dimiliki secara turun temurun untuk pemilik kerajaan Fashion dunia L*is V*uton.  Semua penyandang nama itu adalah kaum terpandang dan terpelajar, kecuali satu orang. Jala*g yang membuat Ayahnya membunuh Ibunya. Seseorang yang menempati urutan nomor dua orang yang paling dia benci dan ingin dia musnahkan di dunia ini. Tapi jika dikipir lagi, dia menyandang nama itu juga karena pernikahan. Itu bukanlah nama aslinya. Benar. He wants  revenge. A sweet one. Dan Candice adalah salah satu alatnya.  Dia akan memanfaatkan yang datang padanya dengan amat baik dan bagus. Dia akan mengambil kesempatannya kali ini. “Louise.” Sapanya di telepon. “Aku tau. Aku tak bisa menunggu.” Kilahnya saat editornya itu memarahinya karena menghubunginya terlalu malam. “Baiklah, aku setuju. Romance. Di novelku. Betul. Dasar editor gila, ini usulmu. Akan kulakukan. Jangan mengharap sesuatu yang bodoh. Jangan terlalu berharap banyak. Aku hanya bisa mencobanya kali ini. Itu saja. Kembalilah tidur.” Dia menutup sambungan setelahnya. Dan menghubungi orang selanjutnya. “C’est moi, Theo (ini aku, Theo). Jika dia masih mencari keberadaanku, beritahu saja. tenang , aku punya rencana. Kali ini, aku tidak akan tinggal diam dihancurkan begitu saja. Kau urus bagianmu. Bagianku, biarkan aku yang membereskan.” Klik. Hari ini hujan. Sama seperti malam kepergian Mamanya. Saking derasnya, dia sampai tidak mendengar jeritan pertengkaran mereka. Dia keluar kamar, sama  seperti malam itu untuk mencari Mamanya. Cahanya kilat yang terang tapi sekejap, amat mengganggunya. Dia kurang suka. Matanya terasa sakit jika terlalu lama. Bedanya malam ini dengan malam itu adalah, sekarang dia turun, dulu dia berjalan menghampiri kamar Mamanya. Dan di akhir pencariannya, dia menemukan mereka. Sosok yang kuat tapi terlihat rapuh, tak berdaya. Tak yakin dengan kekuatan apa yang dia miliki bagi orang - orang disekitarnya. Gadis itu, membuatnya mengingat hal - hal yang tidak ingin dia ingat dalam kehidupannya. *** “Tidak. Ganti bajumu. Jangan memakai baju maidmu.” tegurnya saat melihat Disa muncul dengan seragam maid putih hitamnya keesokan harinya. “Saya…” “Disa…” Dia benar - benar penguji kesabaran yang ulung. “”Baik, Tuan.” “Pas Trop long! (jangan lama - lama!)” Serunya meminta Candice untuk menghampirinya segera setelah dia berganti baju. “Lucas.” “Oui, Monsieur.”  “Siapkan mobil.” “Baik.” Pengawalnya segera meminta diri untuk melakukan apa yang dia minta. Dia dan Candice akan pergi berdua. Dia perlu menjauhkan Candice dari Lucas sebentar. Membuatnya lebih nyaman dan lebih terbuka padanya. Dia tau nanti akan awkward. Dia jarang menggoda perempuan yang tidak menggodanya terlebih dulu. Tapi, dia harus sedikit berusaha saat ini. Sembari menunggu Candice kembali, dia menghubungi orang kepercayaannya yang khusus dia bayar untuk mencari informasi yang dia inginkan. “Oui Monsieur,” Sapa orang yang  di seberangnya setelah sambungan telponnya diangkat. “Cari tau apakah anggota keluarga Besnier ada yang bernama Gladys?” “Segera, Tuan.” “Hubungi langsung begitu kau mendapatkan sesuatu.” Klik. “Tuan…” Dia menoleh cepat. Apakah tadi dia sempat mendengar apa yang dia bicarakan di telpon? Dia menelisik raut wajah Candice yang tidak berubah. Sepertinya aman. Hmm, rupanya nyaris tak ada bedanya. Gadis ini entah terlalu miskin, atau terlalu sederhana. Dia juga tidak tahu latar belakangnya saat ini. Dia perlu bertemu Lupin. Tapi pria tua itu belum ke kastil lagi sejak dia datang lebih dari dua minggu yang lalu. “Kau membawa ponselmu?” Wajahnya terlihat kosong sebentar, tapi lalu tangannya bergerak mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kecil yang melintang di badannya. “Maksud anda ini? Ya saya membawanya.” “Kita berangkat sekarang.” *** Sebelum Candice siap untuk rencananya, dia harus dipantaskan dulu. Dan itulah yang dia lakukan pagi ini. Membawa maid nya ke kota untuk sedikit makeover. Candice bukan gadis yang jelek. Dia sangat mirip ibunya. Mereka cantik. Mata hijau kekuningan yang terlihat berbinar saat dia benar - benar tersenyum, bibir tipis, wajahnya bulat dengan pipi yang sedikit tembam tapi tidak chubby, hanya sedikit cekung di dekat hidung, membuat wajahnya terlihat agak seperti tertarik, dahi yang kecil, serta hidung dan dagu yang mungil. Semua itu dibingkai olah surai ikal kecoklatan yang indah. Dan itu dibuktikan dengan hasil yang luar biasa saat maid nya itu keluar dengan tampilan berbeda. Dia menyadari bahwa perempuan yang berada di depannya adalah Candice, versi yang lebih elegan dan upgrade.  "Bagus." Gumamnya sembari mengangguk puas. "Mulai besok, baju yang ada di tas - tas itu," dia menunjuk pada tumpukan tas belanja di ujung sofa. "Adalah seragam maid mu. Tidak ada lagi seragam maid hitam putih yang biasanya." "Pardon?" Dia mengabaikannya. "Masih ada beberapa tempat lagi yang harus kita kunjungi. Ayo. Bawa juga belanjaan itu."  Dia tau, bahkan tanpa menoleh ke belakang kalau Candice yang tak punya pilihan akan mengikutinya dengan patuh. Mereka berkendara dalam diam menuju destinasi selanjutnya. Tapi saat mereka sampai, Candice tetap di dalam mobil dan tidak turun. Hal itu membuatnya harus kembali menghampiri gadis itu ke mobil. "Ada masalah?" Tanyanya setelah Candice berhasil menurunkan kaca mobil yang tadi diketuknya. "Eh, saya akan menunggu di sini selama anda makan." Jawabnya gugup. Dia menghela nafasnya kasar. Kenapa susah sekali berkomunikasi dengannya? "Turun. Ikut aku masuk ke dalam." "Tapi…." "Aku tidak suka mengulang - ulang kalimatku. "Baik, Tuan." Mereka berjalan beriringan masuk ke dalam bangunan yang dikira Candice adalah restoran tersebut. Setidaknya, pikir Theodore, dia luwes berjalan dengan heels. Jadi dia tidak perlu mengajarinya berjalan juga. Tugasnya jadi lebih sedikit. "Duduklah. Kita akan makan steak dan minum anggur." "Maaf, saya masih dalam jam kerja, saya tidak biaa minum anggur, Tuan." Dia berdecak keras. Sifat keras kepala itu akan menyusahakannya. Dia harus mencari cara agar setiap kalimatnya tidak mendaoat bantahan dari Candice. "Kau diliburkan. Tidak ada potongan gaji. Jadi, makan dan minum saja. Tugasmu hari ini adalah menemaniku." Wajahnya menggelap saat mulut gadis itu kembali terbuka, siap untuk menyanggah. Tapi dia cukup bijaksana untuk mengurungkannya kembali. "D"accord, Monsieur (baik, Tuan)." Akhirnya dia mengiyakan. Mereka di sini untuk table manner. Untuk yang ini, dia juga tidak banyak melakukan koreksi. Sebagai maidz walaupun jarang menggunakan utensil yang beragam, dia selali menyiapkan lengkap untuknya. Hanya caranya memegang gelas anggur yang perlu dibenahi. "Pegang dengan jarimu seperti ini. Lalu letakkan kelingkingmu di ujung seperti ini. Angkat perlahan dan pertahankan tatapan matamu tetap kedepan saat kau meminumnya. Kau mengerti, Disa?" Dia merasakan bahu kecil di sebelahnya itu tersentak kaget. "Kau tidak memperhatikan?" "Pardon. Se-seperti ini?" Dia menegakkan punggungnya. Memperhatikan gadis itu mengulang teori yang dia sampaikan secara praktek. Matanya masih terkunci dengan matanya.  Entah kenapa sulit baginya untuk berpaling, seolah - olah Candice yang sedang menyesap anggurnya perlahan adalah pemandangan yang amat menakjubkan untuk dilihat. Dan hal itu secara misterius membuat kerongkongannya kering seketika.  "Betul seperti itu, Tuan?" Bisiknya bertanya. "Ya, kau melakukannya dengan bagus." Balasnya juga sambil berbisik serak. Tenggorokannya mendadak kering. "Syukurlah, Tuan menyukainya." Oh ya, dia amat menyukai apa yang dia lihat barusan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN