Enam Belas: Candice

1132 Kata
Dia mengerjap di tempatnya berdiri. Tidak berpengaruh banyak. Sekitarnya tetap gelap gulita seperti sebelumnya karena Tuannya menolak menyalakan penerangan apapun. Satu - satunya benda berwarna lain selain hitam pekat adalah bayangan kelabu yang berasal dari jendela kaca besar yang tirainya terbuka. “Bicara yang jujur, Disa.” “Saya… saya berkata yang sebenarnya, Tuan. Nama Ibu saya memang Gladys Bes....” Suara kursi yang bergeser keras menghentikan ucapannya. Itu memang nama Ibunya. Dia bisa membaca sendiri di kartu identitas Ibunya. Bahkan dia masih menyimpannya sebagai kenang - kenangan setelah Ibunya meninggal. Karena gelap, dia tidak bisa melihat apapun selain jendela besar yang ada di sisi lain tempatnya berdiri saat ini. Dia terpekik kecil saat seseorang mencekal tangannya dan menariknya ke luar ruangan. “Monsieur?!” Di sana hanya ada dia dan Tuannya. Jadi, pasti Tuannya yang menariknya keluar bukan?  Dia ingin bertanya kenapa dia ditarik paksa dan tiba - tiba. Tapi melihat wajah Tuannya yang kini amat serius dan tatapannya yang luar biasa dingin hingga dapat membekukan tulang punggungnya, dia mengurungkannya. “Alasan apa yang kau punya sehingga mengatakan kebohongan sebesar itu?!” Kalimat itu berupa desisan pelan, tapi tidak mengurangi ancaman yang terkandung di dalamnya. “Saya tidak berbohong!” Senyum yang biasa menghiasi wajahnya kini menghilang. Dia tidak salah, jadi walaupun takut, dia memberanikan diri mendongak membalas tatapan mata Tuannya. “Saya punya bukti bahwa nama Ibu saya benar - benar Gladys Besnier.” “Show me.” Dia berkedip. Dia tau barusan itu tuannya mengatakan sesuatu dalam bahasa inggris. Hanya saja, dia tidak terlalu lancar dalam bahasa inggris karena kurangnya praktek, dan minimnya media untuk berlatih. Jadi dia hanya diam bergeming di sana. tak yakin harus berkata apa. “Tidak bisa menunjukkannya?” “Tentu saja bisa.” “Tunjukkan padaku.” Cekalan di tangannya terlepas begitu saja. Dia cepat - cepat menuju ruang belakang, melewati ruang makan yang sudah tertata, karena sebelumnya niatnya mencari Tuannya adalah untuk mengabarkan bahwa makan malam sudah siap dan dia sudah terlambat sepuluh menit dari waktu makannya yang biasanya. Dia tau Tuannya mengikutinya di belakangnya. Dengan mantap, dia membawa langkahnya menuju kamarnya. Sebuah kamar kecil di belakang dapur yang ditunjukkan oleh Monsieur Lupin padanya saat pertama kali datang ke sini. Dia mencari dompetnya di dalam tasnya dan mengeluarkan kartu identitas ibunya yang dia sembunyikan untuk dia simpan, karena di sana, dia punya satu - satunya foto ibunya. “Si’ll vous plait (Silakan).” Dia mengambil dan memberikannya pada Tuannya. Tidak mau disangka berbohong lagi. Dia tidak mengerti kenapa wajah tuannya harus terkejut itu saat melihat kartu identitas ibunya. “Kau tau di mana keluargamu tinggal?” Tanyanya pelan. Kenapa Tuannya ingin tau? Tapi keinginan membela diri karena dituduh berbohong masih amat kuat di dalam dirinya sehingga dia tanpa ragu menjawab. “Saya hanya tinggal bersama Ibu saya sepanjang hidup saja.” “Kakek Nenekmu?” “Hanya Oma yang tinggal bersama kami.” “Mathilde?” “Pardon?” “Nama Omamu. Mathilde Besnier?” Siapa itu Mathilde Besnier? “Bukan. Beliau bukan Oma kandung saya.Beliau hanya orang yang kami anggap keluarga karena membantu Mama merawat saya sejak kecil.” “Dan  kau bilang Ibumu Pelac*r?” Dia berjengit mendengar kata tersebut kembali diucapkan. Sudah terlalu lama sejak ibunya meninggal, dan selama sakit, tidak ada yang mengungkit soal pekerjaannya yang tidak terpuji itu. “Saya tidak bangga mengakuinya, tapi ya.” “Seorang Besnier? Dan menjadi pelac*r? Yang benar saja!” *** Jujur saja, dia agak tersinggung dengan kalimat tuannya malam itu. Tuannya itu tidak mengenal Ibunya. Tidak tahu bahwa ibunya memilih kelainan mental dan tidak memiliki keahlian lainnya untuk bertahan hidup. Lalu apa haknya menghakimi dan mencemoohnya seperti itu bahkan di depan Candice? Memangnya kenapa kalau seorang Besnier menjadi p*****r? Dia tidak melihat adanya kesalahan di situ. Bukankah akan sama seperti jika orang lain menjadi p*****r?  Sudah dia hari berlalu sejak saat itu. Doa tetap melaksanakan tugasnya sebagai maid. Membersihkan kastil, kamar - kamar, meskipun sebagian besarnya tidak di tempati, dan menyiapkan kebutuhan Tuannya. Tapi dia menolak bertatap muka dengan Tuannya. "Lucas…." Dia memanggil pelan. Pria yang sering membaca koran paginya itu menghela nafas berat.  "Oui?" "Sarapanmu dan Monsieur Theo sudah siap. Sudah kutata di atas meja. Maukah kau membantuku memanggilnya?" "Lagi? Disa…." "Aku tahu aku berhutang banyak padamu. Tapi tolong, tolonglah aku." Dia cepat - cepat memotong kalimat keberatan Lucas. Ditangkupkannya kedua tangannya di depan d**a dan dia membuat wajahnya sememelas mungkin. "Baiklah baiklah, aku akan memanggilnya untukmu." "Merci, Lucas (Terimakasih)! Kau yang terbaik! Aku akan keluar sekarang." *** Setelah beberapa hari cerah dan suhu mulai hangat, malam ini hujan turun dengan deras. Makan malam sudah lama usai. Semua penghuni kastil sudah kembali ke kamarnya masing - masing untuk beristirahat. Tapi dia tidak bisa memejamkan matanya. Suara derasnya hujan, kilat dan petir yang saling menyambar mengganggunya. Dia memutuskan untuk bangun dan beranjak menuju hall depan. Dia tidak segila itu untuk keluar dan mati kedinginan. Jadi disinilah dia. Duduk bergelung di kursi besar sambil memandangi langit yang terpecah karena sambaran kilat. "Sampai kapan rencanamu untuk terus menghindariku?" Dia terlonjak saat suara berat dan dalam yang amat dikenalnya itu terdengar amat dekat dari belakangnya. Buru - buru dia beranjak dan menghadap tuannya tersebut. "Monsieur." Kaki berbalut sandal bulu itu membawa tubuh tegap berbalutkan piyama dan long night robe mendekat padanya. Namun, dia tidak berhenti di jarak aman, tapi terus mendekat hingga dia merasakan elusan pelan di bawah matanya. Dia terbelalak kaget. Apa yang sebenarnya ingin Tuannya lakukan padanya? Membuatnya mati berdiri karena serangan jantung?! "Kau semakin tirus." Katanya pelan. "Tuan?" Sejak malam kemarin dulu, dia jadi lupa menampilkan wajah topeng yang biasanya selalu dia pakai di depan orang - orang, topeng yang selama lebih dari dua puluh tahun hidupnya mampu melindunginya dari mereka yang berniat tidak bagus. Siapa memangnya yang ingin berurusan dengan anak p*****r gila yang juga kurang waras? Dia terlalu teesulut emosi hingga menggalkan perlindungan dirinya. "Tidurlah. Besok kau akan pergi bersamaku." Matanya terbelalak kaget. "Pardon?" Pria di depannya menghela nafas panjang, membuat hembusan nafasnya menerpa wajahnya dan membuatnya menahan nafas. Bahkan, karena jarak mereka yang terlalu dekat ini, dia seperti lupa cara bernafas. "Bernafaslah." Katanya pelan. "Kenapa kau suka sekali membuatku mengulang kalimatku, hmmm?" "Saya….." "Tidurlah. Besok pagi, temui aku di hall ini. Kita akan berangkat pagi sekali." "Ke mana, Tuan?" "Aku lupa bahwa kau memang secerewet ini." Candice nyaris gila karena bisikan - bisikan yang menyiksa telinga, hati dan otaknya. Rasanya seperti dihipnotis.  Kakinya meleleh bagaikan jelly di bawah tubuhnya, dan dia pasti sudah roboh ke bawah saat jemari besar nan panjang itu tutun mengelus bibirnya. Rasanya seperti habis mencicip dosa yang tak termaafkan. "Tenang saja. Kau aman bersamaku. Turuti saja apa perintahku dan kau akan aman bersamaku. Kau akan tau tujuan kita saat kita sampai. Dors-toi (Tidurlah)." Katanya mengulang perintahnya untuk menyuruh Candice tidur. "Y-ya, Tuan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN