Wahana permainan ini berputar sangat kencang. Kursi besi pada baling yang mengikat tubuh kami juga berputar-putar, hingga kepala kami terkadang di bawah, nyaris menyentuh matras.
Aku sudah tidak kuat lagi. Rasanya tubuhku seperti di lempar ke sana ke sini. Aku pun melambaikan tangan sebagai tanda berhenti.
Tak lama, wahana ini berhenti. Petugas jaga menghampiri dan membantu kami turun. Kami pu keluar dari kawasan permainan ekstrem bernama T-Rex itu.
Aku membungkuk memegang kedua lutut yang terasa lemas sekali. Tanganku juga gemetaran. Aku mengatur napas agar bisa segera normal kembali.
Namun, di mana Pak Rendra? Dia tidak ada di samping ataupun di belakangku.
Segera kuedarkan pandangan. Ternyata lelaki itu ada di pojok tempat ini. Dia juga membungkuk sambil memegang kedua lututnya, sama sepertiku.
Apa dia juga gemetar dan lemas?
Aku menutup mulut seketika. Oh My God, Pak Rendra muntah!
Aku langsung berlari menghampiri dan mengelus-elus tengkuknya.
Setelah dia selesai muntah, aku gegas mengambil botol air mineral dari dalam tas dan menyodorkan padanya.
Lelaki itu menghabiskan separuh isi botol itu. Aku lalu memberikan tisu padanya untuk mengelap sisa air di bibirnya.
“Masih bersih, belum saya pakai,” ujarku, melihat dia hanya diam menatap sapu tangan itu.
Ia pun mengambilnya dan mengelap mulutnya dengan sapu tanganku.
“Bapak tidak apa-apa?” tanyaku. Aku tak menyangka kalau dia bisa sampai seperti ini setelah naik wahana tadi.
Dia mengangguk.
“Kenapa tidak melambaikan tangan kalau tidak kuat?” tanyaku, dengan nada menyindir.
“Saya hanya masuk angin.”
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Terlihat sekali dia berbohong untuk menutupi kelemahannya.
“Kita ke mana lagi, Pak?” tanyaku.
“Makan.”
“Pas sekali. Saya juga sudah lapar,” celotehku sambil berjalan di sampingnya.
“Bapak yang traktir, ‘kan?”
Dia mengangguk.
“Asyik! Sering-sering saja, Pak!”
Dia tiba-tiba menghentikan langkahnya. Aku spontan menutup mulut setelah menyadari apa yang baru saja kukatakan.
Sejak kapan aku seakrab ini dengan Pak Rendra?
“Kalau sering-sering, saya bisa bangkrut. Saya tahu kamu makannya banyak,” tuturnya, lalu kembali berjalan menuju sebuah restoran yang ada di dalam kawasan Dunia Fantasi ini.
Aku hanya tersenyum, lalu berlari mengejar langkahnya.
Setelah memesan makanan, Pak Rendra beranjak dari kursinya.
“Saya ke toilet sebentar,” ucapnya, lalu meninggalkanku sendiri menunggu pesanan datang.
Tak lama, terdengar dering ponsel Pak Rendra yang ia letakkan di meja. Aku baru mau berdiri untuk melihat siapa yang meneleponnya, tiba-tiba ponselku di dalam tas juga berdering.
Segera kukeluarkan ponselku dan melihat kontak si pemanggil.
Devian? Apa dia sudah pulang dari bulan madu? Mengapa meneleponku siang ini? Kalau Pak Rendra tahu aku masih berhubungan dengan Devian, apa yang akan dilakukan lelaki itu padaku?
Aku bingung harus mengangkatnya atau tidak, hingga dering pun berhenti. Namun, Devian kembali meneleponku. Sebaiknya kuangkat saja. Mumpung Pak Rendra masih di toilet.
“Ha-lo?” sapaku gugup. Sesekali aku menoleh ke belakang. Memastikan kalau Pak Rendra masih di dalam.
“Ayana. Kamu di mana?” tanya Devian.
“Aku ... di apartemen,” jawabku berbohong. Kalau Devian tahu aku pergi bersama Pak Rendra, dia pasti juga akan marah besar.
Aku merasa sedang berada di antara srigala dan harimau. Melangkah ke mana pun akan tetap menjadi santapan salah satunya.
“Sedang apa? Aku rindu.”
Kata-kata Devian membuat hatiku kembali berbunga. Aku juga merindukannya.
“Ay? Kenapa diam?”
“A-aku—“
“Kamu sedang dengan siapa sekarang?” tanyanya yang tiba-tiba terdengar tegas.
“A-ku sendirian,” jawabku gugup. Ah, aku lupa kalau Devian masih memegang kunci apartemenku.
Jangan-jangan ....
Tidak mungkin! Jangan bilang dia ada di rumahku sekarang.
“Sejak kapan kamu berbohong padaku, Ay?”
“Dev, a—“
“Kamu pikir aku sedang di mana sekarang?!” Suara Devian meninggi, membuatku refleks menjauhkan ponsel dari telinga.
Ternyata benar dia di rumahku. Sejak kapan dia kembali dari Eropa? Dan apa yang harus kukatakan padanya?
“Dev, aku bisa jelaskan.”
“Katakan kamu di mana dan dengan siapa?” Suaranya benar-benar terdengar marah.
“A-aku—“
“Bersamaku di dufan.”
Deg! Jantungku tiba-tiba seperti berhenti. Suara itu cukup pelan tetapi terdengar jelas di telinga, di mana ponsel kudekatkan.
Aku menoleh perlahan dan melihat wajah Pak Rendra dengan tatapan tajamnya.
“Suara siapa itu, Ay? Kamu dengan siapa?” tanya Devian dengan sedikit berteriak.
Pak Rendra tiba-tiba merebut ponselku dan mengaktifkan pengeras suara.
“Ayana! Siapa lelaki itu? Ayana, jawab aku!”
Panggilan terputus seketika saat Pak Rendra dengan sengaja menekan simbol telepon berwarna merah, dengan mengarahkan ponsel ke hadapanku. Ia menatapku tajam dengan seringai yang menyeramkan. Seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya di lift.
Aku langsung merebut kembali ponselku.
“Apa yang Bapak lakukan?” tanyaku dengan perasaan yang campur aduk antara, marah, bingung, dan takut.
Pak Rendra mendekatkan wajahnya ke wajahku, lalu berbisik di telingaku.
“Kamu melanggar janji kita malam itu. Apa kamu sudah siap?”
Aku langsung mendorong tubuhnya. Darahku rasanya naik ke ubun-ubun mendengar omongannya.
“Memangnya kenapa?” jawabku dengan nada menantang, setelah mengumpulkan seluruh keberanian.
Dia menatapku penuh kemarahan.
“Dengar, ya, Pak, Bapak tidak berhak mengatur hidup orang lain. Termasuk saya!” lanjutku.
Dia kembali membungkuk dan mendekatkan wajahnya.
“Kamu benar-benar wanita yang tidak tahu malu!” ucapnya pelan, tetapi sangat melekit di hatiku.
Dadaku rasanya sesak sekali dihina seperti itu. Kedua mataku terasa panas. Air mata pun mulai menggenangi kelopak tanpa bisa kutahan.
Tidak! Aku tidak boleh menangis di hadapannya. Aku tidak boleh terlihat lemah di depan lelaki ini.
Kupikir, ia sudah mulai berubah dan sangat baik padaku meski ucapannya sesekali terdengar tidak menyenangkan. Ternyata, ia masih Pak Rendra yang baru kukenal kemarin. Manajer baru yang kejam tak berperasaan.
“Terima kasih, sudah mengajak saya ke sini.”
Hanya itu kalimat yang bisa keluar dari bibirku, sebelum berlari meninggalkan Pak Rendra di restoran itu. Air mataku kini benar-benar tak bisa ditahan lagi. Mengalir membasahi kedua pipiku.
Aku berhenti di balik tembok sebuah bangunan kecil dan menyandarkan punggung di sana. Kuhapus air mata dengan jari dan mengatur napas yang terasa sesak.
Baru saja aku menikmati akhir pekan yang menyenangkan, kenapa harus berakhir seperti ini?
Setelah ini, aku harus ke mana? Devian mungkin saja masih menungguku di rumah. Aku masih belum siap bertemu dengannya. Aku masih belum siap mendengar kemarahannya dan berbagai pertanyaan darinya.
Lantas, ke mana kakiku harus melangkah?