Part 22 (Rumah Hantu)

1511 Kata
Part 21 “Ru-mah hantu?” “Iya.” “Tidak! Saya tidak mau masuk ke sana!” “Katanya kamu sembuh dari fobiamu.” “Tapi kenapa harus rumah hantu, Pak?” “Takut gelap harus dilawan dengan gelap.” “Tapi ini ada hantunya juga!” protesku. “Kamu takut hantu? Makanya dilawan. Ayo! Jangan banyak protes.” “Tidak mau!” Aku berbalik dan hendak berlari. Namun, Pak Rendra lebih dulu menarik kerah bajuku dari belakang. “Mau ke mana?” “Pokoknya saya tidak mau!” Aku terus berusaha menarik diri, sedangkan dia masih tak melepaskan tangannya dari bajuku. “Bajumu bisa sobek nanti!” ucapnya. “Biarin! Pokoknya saya tidak mau masuk ke tempat itu!” Tiba-tiba Pak Rendra menarik tanganku hingga berbalik dan menabrak tubuhnya. Kepalaku bersandar tepat di dadanya. Astaga! Mengapa begitu nyaman rasanya? Aku bisa mencium aroma parfum Pak Rendra yang begitu lembut. Juga ... detak jantungnya yang terasa begitu cepat. Apakah dia gugup? Aku juga merasakan jantungku berdebar-debar. Perasaan apakah ini? Bersama Devian, belum pernah aku merasakannya sejak awal kami bertemu, berkenalan, hingga menjalin hubungan asmara. Pak Rendra tiba-tiba mendorong kepalaku hingga aku nyaris terjatuh. “Cepat jalan dan jangan banyak protes!” tegasnya. Mau tak mau aku mengikutinya di belakang. Baru sampai di pintu masuk Rumah Hantu, aku sudah merasa merinding sekujur badan. Suasana di dalam gelap dan menyeramkan, dengan suara-suara yang membuatku tambah takut. “Ayo jalan.” Pak Rendra sedikit mendorongku. “Pak, saya takut.” Lututku mulai gemetar. “Lawan! Kamu pasti bisa.” Dia mulai berjalan lagi, dan aku berjalan di sampingnya. Tiba-tiba aku melihat sosok berbaju putih melintas. Aku langsung menjerit dan memeluk lengan Pak Rendra. “Paak, kita kembali saja. Saya mohon ...,” rengekku. “Tidak bisa. Kita selesaikan sampai akhir.” Orang ini benar-benar tega! Aku terpaksa mengikuti kemauannya. Kami berjalan lagi menyusuri lorong yang gelap. Hanya ada sedikit cahaya. “Bisa lepaskan tangan saya?” tanyanya. “Tidak mau!” Aku semakin kencang memeluk lengannya. Kudengar ia mengembuskan napas kesal. Kami semakin masuk ke suatu ruangan yang lebih gelap. Tubuhku semakin gemetar. Perlahan bayang-bayang masa kecilku muncul lagi. Kembali sosok menyeramkan mengganggu kami. Aku sangat terkejut hingga refleks memeluk erat Pak Rendra dan memejamkan mata. “Paak, saya takut ....” “Tenanglah. Ada saya di sini. Ayo jalan lagi.” Dia mencoba melepaskan pelukanku, tetapi aku justru memeluknya semakin erat. “Ayolah, Ayana. Saya tidak bisa bernapas.” Mendengar pengakuannya, perlahan aku membuka mata dan melepaskan pelukan. Namun, aku tidak mau lepas darinya. Kurangkul lengannya erat. Kami terus berjalan, dan aku berkali-kali menjerit. Semakin lama lututku semakin terasa lemas. Hingga kami masuk ke lorong terakhir. Lorong yang benar-benar gelap. “Pak, saya tidak bisa melihat apa-apa.” Lututku semakin lemas. Bayangan Ayana kecil muncul lagi di hadapanku. Napasku mulai sesak. Tolong, keluarkan aku! Aku begitu lemas hingga terkulai. Namun, Pak Rendra sigap menahan tubuhku. “Ayana, sadarlah!” Samar-samar kudengar suaranya, disusul cahaya yang berasal dari senter di ponselnya. Lagi-lagi lidahku kelu setiap kali menghadapi situasi ini. Aku tidak mampu mengeluarkan suara. “Ayana, kamu harus melawan rasa takutmu!” Pak Rendra memaksaku berdiri tegak. Aku hanya bisa menggeleng lemah. “Ayo, Ayana! Jangan takut. Saya di sini. Oke? Jangan takut.” Lelaki itu terus menyemangatiku. Aku pun mengangguk dan berusaha untuk melawan rasa takut ini. Sambil terus memeluk lengannya, ia menuntunku keluar dari tempat itu. Sesekali aku memejamkan mata saat hantu-hantu yang ditugaskan menakuti pengunjung di tempat ini, keluar untuk menakuti kami. Akhirnya kami tiba di pintu keluar Rumah Hantu ini. Aku langsung berlutut di lantai dengan napas terengah-engah. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Pak Rendra yang berjongkok di depanku, dengan satu tangannya menyentuh bahuku. Aku masih belum bisa berbicara. Tenggorokanku terasa tercekat. “Ayo, duduk di sana,” ajaknya. Ia lalu membantuku berdiri dan menuntunku duduk di sebuah kursi panjang yang tak jauh dari Rumah Hantu ini. Pak Rendra bergegas pergi meninggalkanku, tidak tahu ke mana. Aku masih mengatur napas agar bisa normal kembali. Tak lama, ia kembali dengan sebotol air mineral di tangannya, lalu membukanya dan menyodorkan botol itu padaku. “Minumlah.” Aku mengangguk dan meneguk tiga kali air itu, lalu kembali mengatur napas yang masih terasa sesak. Pak Rendra membantu dengan menepuk-nepuk pelan tengkukku. Setelah napasku mulai normal dan perasaan takut itu perlahan menghilang, aku pun menyandarkan punggung di sandaran bangku yang terbuat dari kayu dengan cat berwarna putih ini. “Sudah lebih baik?” tanya Pak Rendra. Aku mengangguk. “Pak ....” Aku akhirnya bisa bersuara kembali setelah beberapa saat. Pak Rendra yang sedang memandang jauh ke depan, langsung menoleh padaku. “Iya?” “Apa fobiaku sudah hilang?” Dia malah tertawa kecil mendengar pertanyaanku. “Kita coba lagi baru tahu hasilnya,” ujarnya. “Apa?!” pekikku seketika. “Tidak mau!” Aku pun melotot padanya. Sudah cukup sekali saja aku masuk ke tempat permainan menyeramkan seperti itu. “Tidak perlu ke situ lagi,” ucapnya sambil mengarahkan dagu ke Rumah Hantu. “Jadi?” “Lihat nanti.” Refleks aku memukul lengannya, seperti seorang teman yang sudah mengenal lama. Aku tidak lagi ingat kalau dia adalah atasanku di kantor, dan lelaki misterius yang begitu mengerikan. “Saya tidak akan mau kalau Bapak tidak bilang dulu!” Dia tak menanggapi protesku. Hanya tersenyum, lalu memandang ke arah lain. “Ayo!” ajaknya. “Ke mana? Saya lelah. Saya merasa hampir mati di dalam tadi.” “Sekarang kamu masih di sini, masih bernapas.” Aku menatapnya dengan sangat kesal. Manusia satu ini, entah terbuat dari apa hatinya. “Jangan menatapku begitu. Saya mau mengajakmu naik komedi putar.” “Yang benar?” Aku langsung antusias. Dia mengangguk, lalu beranjak. Aku yang tadinya sangat lelah, kini mendadak kembali bersemangat dan berjalan mengikutinya. “Pak, setelah itu saya mau naik itu, itu, itu, hmm ... semuanya!” celotehku sambil berlari kecil untuk mengimbangi langkahnya yang lebar. “Kamu terlihat bersemangat sekali. Tidak seperti tadi,” ujarnya. Aku hanya tersenyum. Kami sudah tiba di wahana komedi putar. Aku langsung berlari menuju patung kuda yang berwarna kuning. “Pak, sini!” Aku menunjuk kuda di sampingku. Pak Rendra tersenyum dan duduk di kuda berwarna hijau itu. Hari ini aku sama sekali tidak melihat wajahnya yang marah atau benci. Juga tidak ada tatapannya yang tajam, yang seolah-olah ingin menerkam mangsa hidup-hidup. Aku hanya melihat senyumnya. Bahkan tawa kecilnya. Ah, baru kali ini aku melihatnya tertawa. Aku ingin melihatnya lagi. Tawa lepas Pak Rendra, tawa yang benar-benar menunjukkan sisi lain dirinya. Komedi putar ini mulai bergerak. Kuda yang kami duduki ini naik dan turun bergantian. Aku merentangkan kedua tangan, merasakan semilir angin yang begitu sejuk. “Pak, rentangkan tangannya!” ajakku. “Untuk apa? Seperti anak kecil.” “Ini menyenangkan! Ayolah!” Dia masih tidak mau. Aku pun turun dari patung kudaku dan menghampiri Pak Rendra. “Eh, mau apa kamu, Ayana?” tanyanya heran. Aku langsung menarik kedua tangannya dan merentangkannya ke samping. Namun, ia langsung menurunkannya kembali. “Pak, jangan rusak momen ini!” ucapku sambil menatap lurus kedua matanya. Dia menghela napas, lalu mengikuti kemauanku meski dengan raut wajah malu-malu. “Nah, begitu!” ucapku senang, lalu kembali ke tempatku. Aku benar-benar menikmati permainan ini. Kugerakkan tubuh ke kanan dan kiri sambil tetap merentangkan kedua tangan. Aku nyaris terjatuh, dan langsung memeluk tiang pegangan dengan erat. Pak Rendra tertawa melihatku. Ya! Dia tertawa! Tawa lepas dengan suara yang sangat jelas kudengar. Wajahnya yang tampan, bertambah tampan jika seperti itu. Ah, aku tidak akan melewati momen ini. Segera kukeluarkan ponsel dari dalam tas dan mengarahkan kamera kepada Pak Rendra yang masih tertawa. Sepertinya dia puas sekali jima melihatku benar-benar jatuh dari tempat ini. Tanpa sadar aku pun tersenyum melihatnya. Ternyata aku bisa melihat sisi lain dari Pak Rendra, lelaki yang selama ini kuanggap kejam dan tidak memiliki perasaan. “Ayana! Kamu merekam saya?” Akhirnya dia menyadari kalau aku merekam videonya. Aku langsung mengarahkan kamera ke arah lain. “Tidak. Saya merekam pemandangan di sini. Indah sekali. Terima kasih sudah mengajak saya, Pak,” jawabku, lalu mematikan kamera video. Setelah naik komedi putar, aku mengajaknya untuk mencoba permainan lain. Pak Rendra menurut saja apa yang kumau. Sampai akhirnya dia yang mengajakku mencoba permainan yang tergolong ekstrem, wahana T-Rex. Aku melongo melihat permainan yang seperti baling-baling itu berputar. Semua yang naik di sana turut berputar hingga kepalanya nyaris menyentuh matras. “Takut?” tanyanya, yang terlihat menantangku. Aku menelan ludah. Sebenarnya takut, tetapi aku tak ingin kalah dengan lelaki ini. “Siapa takut? Ayo!” jawabku dengan gaya sok berani. “Oke!” Kami pun sudah duduk di satu baling. Satu baling hanya bisa terisi dua orang saja. Baru kali ini aku duduk begitu dekat di sampingnya. Aku kembali menelan ludah melihat lantai ubin di bawah sebelum baling-baling ini berputar. Paha dan perut kami sudah terikat dengan sabuk pengaman. “Kamu terlihat gemetar,” ucap Pak Rendra. “Tidak.” Perlahan permainan ini bergerak. Aku semakin gemetar. Semakin lama, baling-baling berputar sangat kencang. Aku merasa seperti jatuh dan nyaris membentur lantai. Tidak! Aku ingin turun!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN