Janji

1043 Kata
Ponselku berdering. Devian menghubungiku lagi. Apa yang harus kukatakan padanya? Aku terus berpikir sampai dering telepon berhenti. Ponsel berdering lagi untuk kedua kalinya. Mau sampai kapan aku menghindar? Tidak! Aku harus menghadapi masalah ini. “Ha-lo, Dev.” “Kamu jangan ke mana-mana. Aku akan ke sana,” ucapnya. “Tidak usah! Biar aku saja yang menemuimu di rumah.” Entah keberanian dari mana yang muncul dalam diriku, menemui Devian di rumah. “Oke. Aku tunggu sekarang juga.” Devian memutus telepon. Dari suaranya, Devian masih terdengar marah. Biarlah. Apa pun konsekuensinya, aku harus menghadapinya. Segera aku memesan taksi online untuk mengantarku kembali ke apartemen. Sementara, aku tidak tahu apakah Pak Rendra masih berada di restoran itu, atau justru sudah kembali lebih dulu. Namun, aku berharap lelaki itu tidak menemuiku dan Devian di apartemen. Aku tidak ingin masalah menjadi lebih rumit dengan kehadirannya di antara kami. Setelah turun dari taksi, aku bergegas menuju lantai 4. Kulirik sejenak pintu apartemen Pak Rendra, lalu membuka pintu apartemenku. Devian sudah duduk di sofa dan memandangku dengan raut marah. “Di mana lelaki itu?” tanyanya seraya berdiri. “Aku ingin bertemu dengannya,” ucap Devian yang masih tak bisa menyembunyikan amarahnya. Aku menghampiri lelaki itu dan mencoba menenangkannya. “Duduklah, akan aku jelaskan,” pintaku. Ia pun kembali duduk dan aku duduk di sampingnya. “Di mana dia sekarang?” tanya Devian yang tampak masih sangat penasaran dengan sosok lelaki yang berbicara padanya di telepon. “Aku sendirian, Dev.” “Lalu, di mana lelaki itu? Siapa dia, Ayana? Katakan padaku yang sebenarnya.” Kali ini suara Devian terdengar lebih tenang. Tetapi sorot matanya masih belum bisa menyembunyikan kemarahan. Aku harus berbohong apa lagi pada Devian? Haruskah aku jujur kalau itu adalah Pak Rendra, manajer keuangan di Vent Group? Tidak mungkin. Aku haru mencari jawaban lain. “Kenapa diam, Ay? Katakan yang sebenarnya padaku. Apa kamu mulai bermain di belakangku?” “Tidak ada yang bermain di belakangmu, Dev. Aku hanya ingin menghibur diri dengan pergi ke dufan,” jawabku. “Dengan pria lain?” “Dia hanya teman.” “Teman? Kau yakin hanya teman?” “Menurutmu apa, Dev? Apa aku tidak boleh punya teman?” “Kenapa harus laki-laki. Kamu tidak bawa mobil, itu artinya dia menjemputmu. Benar, kan?” Aku menghela napas. “Iya. Dia menjemputku.” “Lalu, kenapa dia tidak mengantarmu? Aku ingin berkenalan dengan temanmu itu,” ujar Devian, yang terdengar sebagai sebuah sindiran. “Dia masih di sana, aku pulang sendiri.” “Kenapa tidak minta antar padanya?” “Dev, apa sebenarnya yang kamu mau?” tanyaku yang sudah mulai merasa tertekan dengan pertanyaan-pertanyaan Devian. “Kamu tanya aku? Jelas aku mau kamu tidak dekat-dekat dengan lelaki lain.” “Walau teman?” “Kamu tidak boleh punya teman lelaki mana pun. Tak ada pertemanan di antara dua orang pria dan wanita.” “Kalau aku tidak boleh punya teman lelaki, kenapa kamu boleh menikahi wanita lain?” ucapku yang akhirnya tersulut emosi akan keegoisan Devian. “Oh, jadi ini maksudmu? Belakangan ini kamu seperti menghindariku, ternyata sudah ada lelaki lain yang dekat denganmu?” tuduh Devian sambil mengarahkan telunjuknya ke wajahku. Aku menggeleng sambil menahan emosi. “Bukan. Aku menghindarimu karena marah. Aku marah dan sedih kamu menikahi wanita lain, Dev!” ucapku dengan suara tinggi. Air mataku sudah tak tertahan lagi, mengalir di kedua pipi. “Ay ....” Dia mencoba mengusap air mataku, tetapi aku menepis tangannya. “Jangan menangis, Ay.” “Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menangis?” Devian mengusap wajahnya dengan kasar. “Oke. Kamu boleh menangis, sepuasnya!” Devian menggenggam tanganku lembut. Sentuhan yang aku rindukan, yang membuatku merasa nyaman. “Tapi kamu harus tahu, Ay, aku sama sekali tidak mencintai Bella. Selama di Eropa, hanya kamu yang kupikirkan. Kepalaku dipenuhi dengan namamu,” lanjutnya. Aku menunduk dalam-dalam seraya terisak mendengar pengakuannya yang terdengar tulus. “Aku baru tiba di Bandara Soeta hari ini dan langsung menuju ke sini. Kubiarkan Bella pulang dengan sopir. Semua demi kamu, Ay. Aku merindukanmu.” Dengan lembut jemari Devian mengangkat daguku. Kini kedua mata kami saling bertatapan. Aku bisa merasakan cintanya yang besar seperti dulu dari sorot matanya. “Tapi aku hanya wanita yang akan terus jadi bayang-bayangmu, Dev ...,” isakku. “Tidak, Ay! Aku hanya perlu waktu. Aku sudah berjanji padamu akan menceraikan Bella dan mengenalkanmu sebagai kekasihku. Aku tidak akan mengingkari janjiku. Tapi semua perlu proses, Ay. Aku tidak mungkin langsung menceraikan Bella setelah nikah tanpa ada alasan yang jelas,” terangnya panjang lebar. Devian tampak berusaha keras meyakinkanku. Aku mengangguk paham. “Karena itu kuminta padamu, tetaplah seperti dulu. Tetaplah menjadi Ayana yang hanya memberikan senyumnya, waktunya, dan cintanya padaku,” tuturnya sambil mengusap air mataku. Lagi-lagi sentuhan lembut dan kata-kata Devian selalu bisa menghipnotisku, meluluhkan hatiku. “Kamu tahu kalau aku sangat cemburuan, Ay. Aku tidak bisa mendengar kamu dekat dengan lelaki lain.” “Tidak ada yang dekat denganku, Dev.” “Lalu, siapa lelaki yang bersamamu tadi? Apa benar kamu di dufan?” tanyanya dengan lembut. Aku mengangguk. “Aku pergi dengan Lesti, naik mobilnya. Aku hanya ingin berlibur dan mencari hiburan setelah setiap hari melihat beritamu dengan Bella di TV,” jawabku. Lagi-lagi aku berbohong padanya. Dan entah bagaimana, kalimat barusan mengali begitu saja dari bibirku. Devian mendesah sambil mengusap wajahnya. Kini ia tampak merasa sangat bersalah. “Aku tidak bisa melarang awak media untuk menyiarkan semua itu.” “Aku paham.” “Lalu, siapa lelaki itu?” Dia masih saja menanyakannya. “Temannya Lesti. Kami bertemu di sana. Orangnya sangat usil.” “Benarkah?” “Kamu tidak percaya?” “Aku percaya. Kalau begitu, besok aku akan mengajakmu berlibur.” “Bagaimana dengan Bella?” tanyaku. “Aku bisa mengurusnya. Kamu mau ke dufan lagi? Aku akan menemanimu kali ini.” Aku menggeleng. “Aku mau ke pantai.” “Baiklah. Ke mana pun kamu mau, aku siap menemani.” Kami saling tersenyum. Devian memelukku erat. Aku membalasnya, melepaskan kerinduan yang dalam. Akhirnya aku bisa menyelesaikan masalah ini tanpa harus menghindarinya. Lalu, bagaimana dengan ancaman Pak Rendra jika aku kembali dekat dengan Devian? Masalah itu, aku harus tetap mencari tahu alasan Pak Rendra melakukan itu padaku. Dan aku tak mau lagi diintimidasi olehnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN