Kenapa juga Pak Rendra harus duduk di sampingku? Perjalananku pasti akan terasa sangat membosankan!
“Ini!” ucapnya tiba-tiba. Aku menoleh dan melihat sapu tangan yang ia sodorkan padaku.
“Maaf, baru kukembalikan.”
“Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih,” balasku sambil mengambil sapu tangan berwarna cokelat muda dengan sebuah nama di sudutnya. Dhana.
Aku memandangi sapu tangan itu dan mengelusnya lembut. Pikiranku kembali ke dua puluhan tahun lalu, ketika aku mengenal seorang teman baru di panti asuhan.
“Apa ada kenangan dengan sapu tangan itu?” Ucapan Pak Rendra membuatku menoleh padanya.
“Iya. Sapu tangan ini pemberian seseorang,” ucapku.
“Dhana?”
Aku menoleh menatap wajah Pak Rendra lekat-lekat.
“Dari mana Bapak tahu?”
Dia lantas menunjuk tulisan di ujung sapu tangan itu.
Ah, aku pikir ....
“Iya, namanya Dhana. Temanku di panti.”
Pak Rendra tampak mengangguk.
“Apa Bapak mau mendengar ceritaku?” tanyaku.
“Ceritalah. Aku akan mendengarkan tanpa memotong,” jawabnya.
Mulailah mengalir kisah masa lalu itu dari bibirku.
“Bapak masih ingat ceritaku tentang anak-anak di panti yang mem-bully-ku?” tanyaku mengawali cerita. Pak Rendra mengangguk.
“Dari sekian banyaknya anak-anak di panti, hanya Dhana satu-satunya yang begitu baik padaku. Dia yang sering melindungiku ketika aku dijahati oleh anak lain.”
Aku menarik napas sejenak untuk melihat respons Pak Rendra. Ia tampak mendengar dengan khusus juga antusias.
“Saat itu usianya sepuluh tahun, ketika pertama kali ia datang ke panti. Usia kami berbeda empat tahun.”
“Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan tunggal ketika mereka hendak pergi berlibur. Sedangkan ia berhasil diselamatkan dan menjadi yatim piatu. Lalu dikirim ke panti.”
“Sejak dia datang, aku merasa memiliki teman. Dhana yang selalu mau mengajakku bermain. Kami saling bercerita dan berbagi makanan.”
“Setiap kali anak-anak panti menggangguku, Dhana selalu mengusir dan menantang mereka. Meski pernah suatu kali tubuhnya penuh lebam dikeroyok mereka karena membelaku.”
Aku menelan ludah menceritakan bagian ini. Teringat bagaimana Dhana dulu begitu melindungiku hingga mengorbankan dirinya sendiri. Ada kesedihan dan kerinduan akan sosoknya yang tiba-tiba menyeruak di d**a.
“Setelah itu?” tanya Pak Rendra, setelah aku diam cukup lama.
“Dhana hanya dua bulan berada di panti. Dia diadopsi oleh satu keluarga kaya yang sangat menyukainya.”
“Aku sangat sedih ketika Dhana pergi dengan keluarga barunya. Aku mengurung diri di kamar dan tidak mau melihat kepergiannya untuk terakhir kali. Namun, Dhana menghampiriku. Dia memberikan sapu tangan itu untuk mengusap air mataku. Dia juga bilang, sapu tangan itu peninggalan sang ibu yang paling berarti baginya.”
Air mataku mulai mengalir tak tertahan mengingat kejadian itu. Kugunakan sapu tangannya untuk mengusap air mata.
“Aku selalu berdoa agar Dhana bahagia dengan keluarga barunya.”
“Apa kamu masih mengingatnya setelah itu?” tanya Pak Rendra.
Aku mengangguk. “Aku merindukannya. Setiap kali melihat sapu tangan ini, rasanya aku ingin berlari ke tempatnya dan menceritakan semua yang telah kulalui.”
“Dia juga pasti sangat merindukanmu,” ucap Pak Rendra, yang terdengar seperti ingin menghiburku.
Aku hanya tersenyum dengan sisa-sisa air mata yang masih melekat di pipi.
“Aku tidak tahu apakah dia masih mengingatku. Aku ingin sekali bertemu dengannya meski sekali saja. Aku ingin tahu kabarnya. Aku ingin mengucapkan terima kasih ....”
Air mataku kembali mengalir. Kali ini aku terisak hingga bahuku berguncang naik turun. Meski hanya dua bulan, tetapi kehadiran sosok Dhana dalam kehidupanku sangatlah berarti.
Tak ada respons apa pun dari Pak Rendra. Aku melihat dia memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Tangannya terkepal erat.
Apakah dia mendengarkan cerita yang kuucapkan terakhir kali? Apa yang sedang dia pikirkan?
“Pak ...,” tegurku.
“Eh, iya,” jawabnya terdengar gugup. Kulihat kedua matanya memerah.
“Bapak kenapa? Bapak tersentuh dengan cerita saya sampai mau nangis?” tanyaku.
“Siapa yang mau nangis? Ada sesuatu yang masuk ke mata saya. Saya ke toilet dulu,” ucapnya, lalu beranjak meninggalkan tempat duduk menuju toilet di bagian belakang bus.
Jelas sekali Pak Rendra terlihat ingin menangis. Suaranya juga terdengar serak dan tertahan. Ah, dia masih saja pura-pura tegar. Bilang saja kalau dia terharu dengan kisahku dan Dhana. Kenapa harus menutupi perasaannya?
Aku menghapus sisa tangis dan memasukkan sapu tangan ke dalam tas.
Tak lama, Pak Rendra kembali dengan wajah yang lebih segar.
“Pak ....”
“Ada apa?”
“Saya minta maaf.”
“Untuk apa?” tanyanya heran.
“Saya telah menuduh Bapak yang mengirimkan teror boneka dan foto-foto saya dengan D.”
“Dan sekarang kamu yakin bukan saya pelakunya?”
Pertanyaannya itu justru membuatku bingung. Apa dia ingin aku terus mencurigainya? Atau memang dialah pelakunya?
Aku pun hanya bisa menggeleng.
Dia justru tersenyum melihat responsku yang ragu-ragu.
“Katakan padaku jika ada yang mengganggumu.”
‘Deg!’
Kalimat itu, sama persis dengan yang dikatakan Dhana padaku dulu.
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanyanya ketika aku mencoba mencari sesuatu yang aku sendiri tidak yakin mengenai hal apa.
“Ah, tidak! Saya hanya teringat Dhana,” jawabku spontan.
“Apa lagi yang dia katakan padamu waktu itu?”
“Jangan menangis di depan orang lain, a—“
“Agar kamu tidak dianggap lemah,” potong Pak Rendra, melanjutkan kalimatku yang seratus persen sama persis.
Aku terkejut mendengarnya. Bagaimana Pak Rendra bisa tahu kalimat yang diucapkan Dhana?
“Kalimat itu sudah banyak digunakan orang-orang,” ujarnya ketika melihat aku terus menatapnya penuh tanya.
“Ah, iya,” balasku dengan senyum terpaksa. Sebab, ada sesuatu yang terus mengganjal di hatiku.
Ngomong-ngomong, mengapa dia lagi-lagi bersikap sangat baik padaku? Oh Tuhan, mengapa aku terus dihadapkan pada situasi yang penuh teka-teki?
Kusandarkan kening di kaca bus dan melihat pemandangan sekitar. Dalam hati aku menghitung pohon yang ditanami di trotoar jalan. Sebuah pekerjaan bagi orang yang tak ada kerjaan.
Tiba-tiba aku merindukan panti asuhan, tempat di mana aku dibesarkan. Sudah lama sekali aku tidak berkunjung ke sana, sejak lulus kuliah dan bekerja di Vent Group. Jika ada waktu, akan kusempatkan ke sana.
Aku merindukan bibi panti. Ia mungkin sudah sangat tua sekarang. Merindukan saat-saat bersama Dhana. Bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia masih mengingatku?