Sebuah Tamparan

1160 Kata
“Ay, lo tadi ke mana kok telat ke kantor? Lo sama Pak Rendra, ya?” tanyanya setengah berbisik di kantin. Aku mendekatkan wajah ke tengah meja agar bisa berbicara lebih pelan kepada Lesti. “Tadi gue lihat mobil Pak Rendra belok, padahal ke kantor kan mestinya lurus aja.” “Terus?” “Gue ikutin mobilnya,” bisikku. “What? Gila lo, Ay! Ngapain ngikutin mobilnya Pak Rendra?” “Gue penasaran dia mau ke mana. Siapa tahu gue dapat info terbaru yang bisa kasih jawaban atas dugaan-dugaan gue selama ini.” “Terus, lo dapet jawabannya?” tanya Lesti. Aku menggeleng pelan, lalu menceritakan kejadian pagi tadi padanya. “Nah, gue yakin emang bukan dia yang neror lo, Ay.” “Terus, dia ngapain telat ngantor?” “Ya itu urusan dia, kale, Ay! Lo kepo ya sama kehidupan Pak Rendra?” “Gue Cuma pengen mastiin dugaan kita aja.” “Bukan karena lo udah mulai tertarik sama dia?” “Ih, apaan?” “Iya juga gak apa-apa, kali, Ay. Gue malah seneng kalau iya. Artinya lo bisa move on dari Pak Bos, yang udah jadi suami orang, dan mencoba membuka hati buat orang lain.” Aku menarik napas dalam-dalam. Sulit rasanya melepaskan Devian begitu saja. Dia orang pertama yang memberiku cinta, membuatku merasa dicintai, membuatku mengenal rasa sayang. Setelah kembali dari kantin, kami semua mendapati surat undangan gathering karyawan yang diadakan setahun sekali. Kali ini, kegiatan tahunan ini diadakan di sebuah pulau kecil. Semua karyawan di ruangan ini bersorak senang. Kami akan merasakan liburan lagi secara gratis dari perusahaan. Vent Group memang tak pernah tanggung-tanggung mengeluarkan budget untuk membahagiakan karyawannya. “Asyik, nih! Refreshing ke pulau. Barbeque, snorkling. Siapa tahu ketemu cowok cakep di sana,” ujar Lesti senang sambil memeluk undangan itu. “Pulau terpencil. Bukan cowok cakep, entar lo malah ketemu demit!” candaku, diikuti tawa rekan lainnya. Suasana di ruangan divisi keuangan ini kembali mendadak hening saat Pak Rendra masuk. Lelaki itu hanya melihat sekilas kertas undangan tersebut, lalu fokus dengan pekerjaannya. *** Segar sekali rasanya mandi air hangat di malam hari. Setidaknya, bisa sedikit melonggarkan otot-otot yang kaku dan menyegarkan pikiran yang sangat penat akhir-akhir ini. Aku keluar kamar untuk menikmati makan malam yang sudah kubeli saat pulang kerja. Namun, aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang sedang duduk di sofa. “Devian? Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku. Entah mengapa, semakin hari aku semakin tidak nyaman dengan kehadiran Devian yang tiba-tiba seperti ini. Padahal, dulu hal ini adalah hal yang kutunggu-tunggu. Setidaknya, tiga kali dalam seminggu Devian akan mendatangiku seperti ini. “Lima belas menit,” jawabnya. Aku pun duduk di sampingnya. “Kenapa kamu tiba-tiba ke sini?” tanyaku. Dia menatapku heran. “Kenapa? Selama ini kamu tidak pernah bertanya begitu setiap kali aku datang,” ujarnya. “Bukan begitu. Sekarang statusmu beda, Dev. Aku tidak mau ada orang yang melihatmu ke sini. Aku tidak mau mencari masalah,” jelasku. “Masalah dengan siapa? Bella?” “Kamu sendiri bisa menebaknya,” balasku singkat. “Aku jamin tidak akan ada yang berani membuat masalah denganmu, Ay.” “Tapi kamu tidak tahu apa-apa, Dev!” Tiba-tiba suaraku meninggi, terbawa emosi karena mengingat bagaimana teror yang kuterima karena dirinya. “Tahu apa? Apa tidak aku tahu? Katakan, Ay!” “Sudahlah, Dev. Aku tidak bisa menahan semua orang sepertimu. Aku hanya ingin hidup tenang. Tolong, jangan datang seperti ini lagi,” pintaku. “Kamu semakin berubah, Ay. Apa kamu takut aku datang ketika ada lelaki lain di rumah ini?” ‘Plak!’ Sebuah tamparan keras refleks kulayangkan ke pipinya. Enam tahun aku bertahan dalam hubungan yang sama sekali tidak ada kepastian. Bahkan aku rela menunggu keputusannya setelah menikahi wanita lain. Tega sekali ia mengatakan hal seperti itu padaku. Devian menatapku dengan sangat marah. Aku belum pernah melihatnya seperti ini. “Sejak kapan kamu seperti ini, Ay?” tanyanya dengan suara tinggi seraya berdiri. Aku pun ikut berdiri di depannya. “Dev, maafkan aku. Aku—“ Devian menepis kasar tanganku saat hendak menyentuh pipinya yang terlihat memerah, di kulitnya yang putih bersih. Ia meletakkan kunci yang selama ini dipegangnya, di meja dengan sedikit melempar. Ia lalu keluar tanpa mengatakan apa pun, meninggalkan diriku yang dirundung penyesalan. “Maafkan aku, Dev. Aku tidak bermaksud menyakitimu ....” Aku terduduk lemas di sofa. Mengapa hubungan kami jadi seperti ini? *** Hari keberangkatan menuju pulau tiba. Semua karyawan Vent Group sudah berkumpul di halaman gedung untuk berangkat bersama menggunakan bus, yang telah disewa oleh perusahaan. “Hey, nyariin siapa?” Lesti menepuk pundakku yang sedang celingak-celinguk ke segala arah. Aku pun berbisik di telinganya. “Gue gak lihat Devian. Apa dia gak ikut?” Lesti mendesah. “Kenapa lo masih nyariin dia, sih, Ay?” tanyanya dengan suara yang terdengar kesal. Aku tahu Lesti ingin aku mengakhiri hubunganku dengan direktur keuangan itu dan move on darinya. Namun, tak semudah itu dalam praktiknya. Ada hati yang masih terlalu berat melepaskan. “Udah, gak usah nyariin Pak Bos. Tuh, ada Pak Rendra yang sepertinya belum ada kekasih,” ucap sahabatku itu sambil menunjuk lelaki bertubuh jangkung, yang sedang berbicara dengan manajer HRD. “Udah, ah! Naik, yuk!” ajakku, lalu menaiki bus menyusul yang lainnya. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya bus akan berangkat. Namun, pintu bus yang sudah hampir ditutup, dibuka kembali. Seseorang yang tak seharusnya naik bus bersama staf, masuk ke bus sambil menenteng sebuah tas yang cukup besar. Pak Rendra? Kenapa dia naik bus ini? Kenapa tidak bersama manajer lainnya? “Eh, gue pindah ke belakang, deh. Lebih enak kayaknya,” ucap Lesti tiba-tiba seraya berdiri dan mengambil barangnya. “Lho, gue sendiri?” tanyaku heran. Namun, keheranan itu hanya sesaat saja, karena Pak Rendra sudah duduk di sampingku. “Kenapa Bapak naik bus ini? Manajer kan ada mobilnya sendiri,” tanyaku pada lelaki yang sama sekali tidak permisi duduk di sampingku. “Memangnya ada peraturan kalau manajer tidak boleh naik bus yang sama dengan staf?” Dia bertanya balik. “Tidak ada,” jawabku sewot. “Ya sudah. Diam dan nikmati perjalanannya,” ucapnya, yang membuatku gemas ingin menendangnya dari sini. Bus pun mulai melaju. Dari info yang kudengar, menuju Pulau Sunyi memakan waktu lima jam menggunakan mobil, lalu dilanjut naik kapal selama satu jam. Aku bisa melanjutkan tidurku di mobil selama perjalanan. Aku pun menyandarkan kepala di kaca mobil dan memejamkan mata. Rasa kantuk karena malam sulit tidur membuatku cepat terlelap. Saat terbangun, kepalaku ternyata sudah bersandar di pundak Pak Rendra. Segera aku duduk tegak dan merapikan rambut. “Maaf,” ucapku padanya. “Kenapa kamu begitu mengantuk? Apa semalam tidak tidur?” tanyanya. Semalam aku memang sulit tidur. Kedua mataku baru benar-benar terpejam sekitar pukul dua dini hari. Jelas saja aku yang tak terbiasa begadang, duduk di dalam bus tanpa teman mengobrol akan cepat tertidur. “Saya memang kurang tidur,” jawabku. “Jagalah kesehatan,” balasnya. Mengapa lelaki ini tampak perhatian padaku? Apakah ada niat terselubung di balik sikapnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN