“Pak Rendra, Ayana! Sudah sampai.”
Samar-samar kudengar suara Lesti memanggil, juga bisik-bisik karyawan lain.
Perlahan kubuka mata. Astaga! Lagi-lagi aku ketiduran di pundak Pak Rendra. Dan lebih malunya lagi, dia juga tertidur dengan menyandarkan kepalanya di kepalaku.
Aku langsung duduk tegak dan kaku seperti anak ayam. Pak Rendra juga terlihat menutupi rasa malunya. Semua karyawan di bus ini memperhatikan kami dan tersenyum-senyum.
Pak Rendra berdehem, lalu bangkit dan berjalan keluar, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sedangkan aku masih terduduk malu dengan menutupi wajah.
“Cie, cepet banget progresnya!” bisik Lesti di telingaku.
“Ih, apaan! Turun sana!” usirku. Dia malah tertawa sambil meledek.
Bagaimana bisa itu terjadi dua kali? Dan mengapa Pak Rendra membiarkanku tidur di pundaknya?
Aaargh, aku benar-benar malu dengan karyawan lainnya. Pasti gosip akan menyebar di kantor, ditambahi bumbu-bumbu dari orang-orang yang suka menambah-nambahi berita atau informasi yang mereka terima.
Aku pun turun dari bus bersama yang lain. Aroma air laut langsung tercium. Ombak yang berkejaran, angin sepoi-sepoi, benar-benar membuat suasana pantai semakin menyenangkan.
Sebuah kapal yang cukup besar sudah bersiap di tepian pantai. Koordinator mengarahkan kami untuk bersegera menuju ke kapal. Kami akan melakukan perjalanan laut dengan kapal itu selama dua jam menuju Pulau Marina.
Sebuah kapal terbuka, di mana kami bisa menikmati pemandangan alam laut sepuasnya, juga merasakan segarnya angin yang menerpa wajah.
“Ay, lo ngobrol apa aja tadi sama Pak Rendra waktu di bus?” tanya Lesti.
Aku lantas mencari keberadaan lelaki itu. Ternyata Pak Rendra duduk di kursi paling belakang, sendirian.
Dengan kacamata hitam yang dikenakan, juga kaos putih tanpa tambahan apa pun, Pak Rendra terlihat berbeda di bawa langit biru yang cerah ini. Ia terlihat lebih santai dan lebih tampan dibandingkan dirinya dengan jas hitam setiap hari, yang membuatnya terlihat kaku dan kurang bersahabat.
“Hey! What are you looking? Lo gak kesambet ketampanan manajer kita, kan?” celetuk Lesti.
“Gue Cuma mau tahu dia duduk di mana.”
“Buat apa?”
“Biar gak dengar kalau kita lagi ngomongin dia!” jawabku.
“Eleeh, dari pandangan lo ke Pak Rendra tadi, kelihatan kok kalau lo itu lagi terpesona dengan Ketampanan manajer kita itu. Gue dan yang lain juga gitu, kok,” terang Lesti sambil berkedip manja saat mengatakan kalimat terakhir.
“Dasar!”
“Udah deh, gak usah malu-malu. Iya juga gak apa-apa. Kalian jadian juga kita-kita dukung.”
“Iih, apaan sih, Les? Gue sama Pak Rendra gak ada apa-apa,” kilahku.
“Terus, kenapa tadi kalian bisa tidur ....” Lesti memperagakan posisi saat aku dan Pak Rendra tertidur sebelum turun dari bus tadi.
“Gue gak sadar. Sumpah! Gue tadi nyender di kaca, tahu-tahu bangun udah di bahunya dia aja,” jelasku.
“Tapi lo seneng, kan?”
Lesti terus saja menggodaku.
“Lo dah kayak wartawan aja, deh!”
“Emang. Gue kan paparazi yang selalu ngintai lo sama Pak Rendra,” balasnya diiringi tawa.
“Serah lo, deh.”
“Jadi, lo tadi ngomongin apa aja sama Pak Rendra? Kayaknya serius amat. Mana lo pake acara nangis lagi!” ucapnya.
“Hah? Kok lo tahu gue nangis?” tanyaku heran sekaligus malu.
“Ya tahu, lah. Kelihatan, tahu! Lagian, lo gak sadar apa kalau anak-anak di bus itu semua pada ngelihatin lo sama Pak Rendra. Kita tuh udah kayak nonton telenovela tanpa suara, tahu, gak?”
“Masa, sih, Les?”
Astaga, aku malu sekali. Gosip yang bakal beredar di kantor pasti bakal lebih panas dan ke mana-mana arahnya. Mau ditaruh di mana mukaku ini?
Belum lagi Devian. Dia pasti bakal sangat marah kalau sampai dengar gosip kedekatanku dengan Pak Rendra.
“Hey! Lo mikirin apa, sih, Bestie?” tegur Lesti. Aku sampai tidak sadar dia masih berbicara denganku.
“Gak ada. Gue Cuma khawatir aja gosip kedekatan gue sama Pak Rendra nyebar di kantor.”
“Ya biarin aja, sih. Sama-sama single juga, kan?”
Ucapan Lesti sedikit menyindirku.
“Eh, maksud gue—“
“Iya gak apa-apa,” potongku.
“Lo khawatir Devian tahu?” tanyanya.
“Entahlah, Les. Gue sendiri bingung sama perasaan gue akhir-akhir ini.”
“Lo mulai galau? Bimbang?” tanyanya. Kali ini wajah Lesti terlihat senang.
Aku mengangguk. “Lo kayaknya seneng banget ngeliat temen kesusahan gini,” celotehku.
“Ya gue kan udah bilang kemarin. Kalau gue lebih senang ngeliat teman gue jalani hubungan yang jelas-jelas aja, yang bisa menghargai pasangan, gak menggantung status lo gitu aja. Ngelepas enggak, nikahin juga enggak. Apalagi dia udah beristri,” jelas Lesti panjang lebar.
Aku mencoba mencerna ucapannya. Apa saja hal yang berhubungan dengan Devian, sepertinya mampu membuat nalar dan logikaku tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Udah, sekarang lo jangan bertele-tele lagi. Jawab gue! Tadi, lo ngomongin apa aja sama Pak Manajer?” tanyanya lagi. Sepertinya Lesti bakalan tidak bisa tidur sebelum aku memberitahunya.
“Gue cuma cerita tentang Dhana. Lo masih ingat cerita gue tentang Dhana? Anak laki-laki yang selalu nolongin gue di panti.”
Lesti mengangguk. “Iya, gue masih inget. Kok bisa lo ceritain masa kecil lo itu ke Pak Rendra?” tanyanya lagi. Benar-benar seperti wartawan saja sahabatku yang satu ini.
“Pak Rendra ngembaliin sapu tangan gue, pemberian Dhana.”
“Kok bisa sapu tangan lo ada di Pak Rendra?”
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan cepat.
“Kalau gue kasih tau, nanti panjang lagi ceritanya.”
“Gak apa-apa, lah. Gue siap denger.”
“Gak, ah! Gue capek.”
Lesti mengerucutkan bibirnya mendengar jawabanku. Kali ini aku yang tertawa melihatnya.
Kualihkan pandangan ke belakang, di tempat Pak Rendra duduk. Lelaki itu menutup mulutnya dengan tangan. Sepertinya ia sedang menahan sesuatu.
Apakah dia mabuk laut?
Astaga! Dia muntah!
Aku langsung berlari menghampirinya. Kuurut-urut pelan tengkuknya. Semua isi perutnya sudah menyatu dengan air laut yang biru jernih. Hingga hanya cairan berwarna kuning yang keluar dari mulutnya.
Kubantu lelaki itu duduk dan mengambilkan air mineral untuknya.
“Bapak mabuk laut?” tanyaku.
Pak Rendra hanya mengangguk pelan. Aku ingin tertawa melihatnya. Kasihan sekali lelaki ini. Sudah setua ini, masih saja muntah naik kapal.
Namun, tawaku kutahan sekuatnya agar ia tidak merasa malu. Sepertinya Pak Rendra mudah sekali mengeluarkan isi perutnya. Seperti saat kami baru turun dari wahana T-Rex.
Setelah Pak Rendra merasa lebih baik, aku pun berdiri untuk kembali ke tempat dudukku bersama Lesti. Namun, kakiku serasa sulit bergerak. Semua mata di kapal ini tertuju kepadaku dan Pak Rendra.
Mereka menatap kami dengan sorot yang penuh rasa penasaran yang tinggi, diiringi senyum yang aku tahu apa artinya.
Astaga! Sepertinya aku melakukan kesalahan lagi dan tidak menyadari, bukan hanya aku dan Pak Rendra saja yang ada di kapal ini.