Bella atau Pak Rendra?

1156 Kata
“Ay, siapa yang nyariin lo tadi?” tanya Lesti saat kami berjalan di lobi sepulang kerja. “Entar gue ceritain di rumah. Gue telepon lo.” “Ish, kasih tahu sekarang aja. Gue penasaran banget.” Aku menghela napas. Lesti tidak bisa dihentikan jika sudah sangat penasaran. Aku pun berbisik di telinganya. “Istrinya Devian.” “What?!” pekik Lesti, yang langsung kututup mulutnya dengan telapak tangan agar tak menimbulkan kehebohan. “Ups, sorry,” ucapnya. Aku pun mempercepat langkah menuju tempat parkir, diikuti oleh Lesti. “Entar malem gue telepon, ya,” ucapnya. “Oke. See you.” Kami pun masuk ke mobil masing-masing. Sesampainya di gedung apartemen, aku sama sekali tidak melihat mobil Pak Rendra di dalam basement. Sebelum masuk ke apartemenku sendiri, aku menoleh ke belakang. Tapi sama sekali tak ada tanda-tanda keberadaan Pak Rendra. Padahal tadi mobilnya juga keluar kantor hampir bersamaan denganku dan Lesti. Ke mana pak manajer itu pergi? Kenapa aku jadi semakin penasaran dengannya? Kututup pintu dan membersihkan diri. Selesai mandi, aku memesan makanan di aplikasi. Sepuluh menit kemudian, bel rumahku berbunyi. Aku segera keluar kamar menuju pintu depan. “Pasti kurir makanan,” gumamku sambil berjalan. Setelah membuka pintu, di hadapanku berdiri seorang lelaki memakai topi hitam. Tak ada jaket khusus kurir aplikasi yang ia pakai. Juga tak ada bungkusan makanan di tangannya. “Mbak Ayana?” tanyanya memastikan. “I-ya, saya. Ada titipan untuk Mbak,” ucapnya seraya menyodorkan sebuah amplop berwarna cokelat. “Siapa yang ngasih, Mas?” “Tidak tahu, Mbak. Saya hanya dititipkan saja.” “Perempuan atau laki-laki?” tanyaku penasaran. “Laki-laki,” jawab orang itu. Aku ingin bertanya lagi tentang ciri-ciri orang yang menitipkan amplop itu padanya. Namun, sepertinya dia terburu-buru dan aku tak ingin dianggap cerewet olehnya. Setelah orang asing itu pergi, aku pun segera duduk di sofa dan menatap amplop tanpa pengirim itu dengan sangat penasaran. “Apa isinya dan siapa yang mengirim ini?” gumamku sambil membuka amplop itu. Beberapa lembar foto terdapat di dalamnya. Ini semua adalah foto-fotoku dengan Devian saat di pantai. Foto ketika Devian memelukku dari belakang, saat aku merangkul lengannya sambil berjalan, dan beberapa gambar di momen lainnya. Apa maksudnya mengirim semua ini padaku? Siapa yang mengambil gambar ini? Tak sempat aku berpikir, bel rumahku berbunyi lagi. Kali ini yang datang adalah kurir makanan yang aku pesan lewat sebuah aplikasi. Setelah menerima bungkusan itu dan membayarnya, aku kembali ke sofa. Memandangi deretan fotoku dengan Devian, rasa laparku mendadak hilang. Aku segera mengambil ponsel di kamar dan menelepon Lesti. “Halo, Ay. Baru gue mau nelepon lo.” “Les, gue nerima kiriman kaleng lagi,” jelasku. “Apa isinya?” “Foto-foto gue sama Devian waktu di pantai kemarin.” “Hah? Berarti ada ngikutin lo sama Devian!” “Itu juga dugaan gue. Dan gue tahu siapa orangnya!” ucapku yakin. “Bella?” “Bukan!” jawabku sambil menggeleng, meski aku tahu Lesti tak akan bisa melihat. “Pak Rendra?” tebaknya lagi. “Iya. Manajer monster itu. Gue yakin banget dia yang moto-moto gue sama Devian, terus nyuruh orang buat nganterin foto-foto itu ke rumah gue.” “Wait! Kenapa lo nuduh Pak Rendra? Emangnya ada bukti kalau dia yang ngelakuin itu?” tanya Lesti yang terdengar meragukan ucapnku. “Gue belum cerita ya sama lo, Les. Waktu gue ke pantai sama Devian, Pak Rendra juga ada di sana. Dia langsung nyamperin gue setelah Devian pergi.” “Astaga! Beneran, Ay?” “Dan dia ngaku sendiri kalau dia dari tadi emang ngikutin gue.” “Ya ampun, sampai segitunya Pak Rendra. Udah kayak psikopat aja. Ih, jadi ngeri gue sama orang kayak gitu.” “Makanya itu, gue yakin banget kalau teror boneka semalam juga dia yang ngirim ke gue.” “Bisa jadi, Ay. Tapi kita jangan gegabah dulu seratus persen yakin dia pelakunya. Karena bukti-bukti gak cukup kuat.” “Tapi gue punya alibi, Les.” “Lah terus, kalau emang bener dia, sekarang lo maj gimana? Gue jadi takut lo tinggal di situ, Ay. Mana tetanggaan lagi sama dia. Dia bisa mantau lo 24 jam,” terang Lesti. “Bener, Les. Pantesan dia milih apartemen ini, dari segitu banyaknya hunian di Jakarta,” timpalku. “Tapi, apa sebenernya tujuan dia ngelakuin ini semua ke elo, Ay?” “Entahlah, Les. Gue juga bingung.” “Apa dia terobsesi sama lo, Ay?” “Ngaco lo, Les!” “Bisa jadi kan? Buktinya dia sampai ngikutin lo ke mana-mana. Terus, sikapnya ke elo berubah-ubah.” “Lo bikin gue tambah takut aja, Les.” “Sorry, Ay. Bukan maksud nakutin lo. Lo mau gue temenin malam ini?” tanya sahabatku itu. “Emang boleh?” “Ya bolehlah. Siapa juga yang mau ngelarang gue tidur di tempat lo.” “Makasih, ya, Bestie. Lo emang sahabat terbaik gue,” pujiku. Aku sangat senang dan lega Lesti mau menemaniku malam ini. Sebab, aku sendiri pun merasa takut. Hampir satu jam berselang, Lesti pun tiba di apartemenku dengan menenteng ransel yang cukup besar. “Baju tidur, baju kerja,” jelasnya padaku, saat aku melirik ranselnya tanpa mengatakan apa pun. Segera kami memasuki tempat ternyaman untuk para gadis—kamar. “Ay, lo tahu gak, tadi gue ketemu Pak Rendra di bawah.” “Di basement?” “Iya. Pas gue keluar dari mobil, eh mobil dia baru aja masuk. Terus kita satu lift Cuma berdua lagi. Gue rada-rada takut gimana gitu awalnya.” “Awalnya? Dia ada ngomong sesuatu?” tanyaku penasaran. “Dia Cuma nyapa waktu ngeliat gue. Terus nanya gue mau ngapain malam-malam ke sini.” “Terus, lo bilang apa?” “Ya gue bilang aja gue mau main ke rumah lo, nemenin lo malam ini.” “Terus?” “Terus, lo tahu gak dia ngomong apa setelah itu?” “Ya mana gue tahu!” sahutku cemberut. Mana mungkin aku bisa menebak yang terjadi dengannya. Lesti menyentil lenganku sambil tertawa. “Dia nanya apa Ayana sakit?” Lesti menirukan gaya Pak Rendra. “Gue bilang aja iya. Terus muka dia kayak panik gitu, Ay. Dia bilang kalau butuh sesuatu, tekan aja bel apartemennya. Gue iyain aja.” “Ooh, gitu.” “Kok Cuma oh gitu, sih, Ay? Jelas-jelas Pak Rendra tuh khawatir sama lo. Pandangan gue tentang dia berubah lagi kalau ngelihat dia. Dan gue yakin bukan dia yang neror lo.” “Ih, gimana, sih, lo, Les? Tadi di telepon lo bilang dia psikopat. Sekarang malah lo bilang bukan dia. Plin plan banget, deh!” Lesti tertawa saja mendengar gerutuku. “Gue tetep pada keyakinan awal gue. Gue yakin bukan Pak Rendra.” “Jadi siapa kalau bukan dia?” tanyaku. “Bella.” “Lo yakin? Dari kemarin nuduh dia mulu.” “Feeling gue sih gitu.” Aku menarik napas panjang dan membuangnya dengan cepat. Merasa tidak ada titik terang tentang siapa di balik pengirim kotak dan foto-foto ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN