Aku dan Lesti baru saja keluar, bersamaan dengan Pak Rendra yang juga keluar dari apartemennya. Dia membalas senyum Lesti, tetapi sama sekali tidak menoleh padaku. Sepertinya aku dianggap tidak ada olehnya.
Kami bertiga masuk ke lift yang sama. Tidak ada obrolan yang tercipta selama di dalam lift. Pak Rendra hanya diam menatap lurus ke depan, dengan sorot matanya yang tajam. Sedangkan aku dan Lesti—kami berdiri di belakangnya—hanya saling pandang.
Kami berpisah di basement menuju mobil masing-masing. Namun, di persimpangan, mobil Pak Rendra yang melaju lebih dulu dari mobilku, berbelok ke kanan. Padahal, jalan menuju kantor harusnya lurus terus. Ke mana dia pergi?
Rasa penasaran yang tinggi serta keingintahuan tentang sosok lelaki itu membuatku nekat mengikutinya.
Mobil hitam itu memasuki jalanan di kawasan yang cukup sepi dari lalu lalang kendaraan. Kuharap Pak Rendra tidak menyadari ada yang mengikuti mobilnya. Ada mobil lain dI antara mobil kami.
Aku terus mengikutinya tanpa terpikir kalau pagi ini harus segera ke kantor.
Di pertigaan, mobil Pak Rendra mengambil jalur kiri. Sepertinya ia menambah kecepatan. Aku pun memutar kemudi ke jalan yang ditempuh lelaki itu. Namun, ada beberapa mobil lain yang datang bersamaan hingga membuatku sulit mengejar mobil Pak Rendra.
Aku kehilangan jejak, tepat di pertigaan kecil di sebuah kompleks.
“Ke mana dia? Aargh, aku kehilangan jejak. Sekarang aku harus ke mana?” gumamku.
Kuputuskan untuk putar balik dan kembali ke kantor meski harus terlambat. Namun, tiba-tiba sebuah mobil dari arah kanan berhenti tak jauh di depan mobilku, tepat di kawasan yang sepi.
Aku sangat terkejut dan menginjak pedal rem sekuatnya sambil berteriak. Keningku terbentur setir mobil yang mendadak berhenti.
“Sakit sekali,” lirihku. Beruntung aku tidak sampai pingsan karenanya.
Kulihat mobil itu masih ada di depan, menghalangi mobilku, kemudian berjalan perlahan dan menepi.
“Bukankah itu mobil Pak Hendra?” tanyaku pada diri sendiri.
Benar saja apa yang kulihat. Lelaki itu turun dari mobil dan berjalan ke mobilku. Tatapan matanya masih saja tajam. Apa dia sejak tadi tahu aku mengikutinya?
Bagaimana ini? Aku takut dia marah padaku. Apa aku kabur saja sekarang?
Tidak! Dia sudah sangat dekat.
Kaca mobilku diketuknya dua kali dengan cukup keras. Aku semakin takut melihat sorot matanya.
“Buka!” teriaknya di luar seraya mengetuk kembali kaca mobilku.
Kuturunkan kaca mobil dan tersenyum—lebih tepatnya meringis seperti anak kecil yang ketahuan berbohong—di hadapannya.
“Turun!” perintahnya.
Aku bagaikan robot yang mengikuti perintah tuannya tanpa membantah.
Setelah aku turun dari mobil, ia langsung menarik tanganku hingga kami berdiri di trotoar jalan.
“Kenapa mengikuti saya?” tanyanya.
Aku tak berani menjawab, hanya bisa menggigit bibir bawah karena takut.
“Kenapa diam? Kamu ingin saya laporkan ke polisi karena menguntit?”
Kedua mataku terbuka lebar mendengar ucapannya. Seharusnya akulah yang melaporkannya atas tuduhan yang sama.
“Bukannya Bapak juga suka menguntit saya? Bahkan tempat tinggal saja pun Pak Rendra sampai mencari di dekat apartemen saya. Buat apa? Memantau saya 24 jam?” balasku tak mau kalah. Rasa takut yang tadi menjalar, kini menguar. Hanya ada rasa kesal atas sikapnya.
“Benar. Saya memang sengaja mengambil apartemen yang sama agar bisa memantaumu.”
“Bapak juga menguntit saya dan Devian ke pantai dan mengambil foto kami.”
“Apa?” Wajahnya terlihat penasaran.
“Jangan pura-pura. Untuk apa Pak Rendra diam-diam memfoto kami di pantai dan mengirimkannya ke rumah saya?” jelasku.
“Tunggu! Saya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan.”
Aku mendesah kesal. Dia masih saja pura-pura tidak tahu? Dasar pembohong besar!
Aku segera kembali ke mobil dan mengambil amplop cokelat berisi foto-fotoku dan Devian di pantai.
“Ini!” Aku meletakkan amplop itu di tangan Pak Rendra dengan kasar.
Ia pun mengeluarkan isinya dan tampak terkejut melihat foto-fotoku dengan Devian. Kening berkerut tampak ia sedang berpikir keras. Ah, aku yakin itu hanya aktingnya saja agar aku percaya sandiwaranya.
“Masih mau mengelak?” tanyaku sinis.
Ia memasukkan kembali foto-foto itu ke dalam amplop, lalu meletakkannya di tanganku dengan cara yang sama, seperti yang aku lakukan tadi padanya.
“Saya memang mengikuti kalian. Tapi, saya tidak pernah mengambil foto kalian,” ucapnya pelan, tetapi menekan.
“Ta-tapi ....”
Belum siap aku berbicara, lelaki itu sudah menarikku dan memaksaku masuk ke mobilku sendiri. Dengan cepat ia memakaikan sabuk pengaman padaku.
Aku mundur sedikit dan menahan napas saat wajah kami begitu dekat. Detak jantungku juga terasa lebih cepat, berdebar-debar.
“Kembalilah ke kantor. Selesaikan laporan mingguan hari ini!” perintahnya, lalu menutup pintu mobilku dan berjalan ke mobilnya sendiri.
Aku masih terbengong saat mobil hitam yang dikendarai Pak Rendra melaju cepat meninggalkan tempat ini, hingga mobilnya tak terlihat lagi dari kejauhan.
Aku mengembuskan napas lega. Kupikir, ia akan marah dan melakukan hal buruk padaku, setidaknya dia akan marah-marah di tepi jalan ini. Ternyata jadinya malah seperti tadi.
Tak apa, setidaknya dia tidak menyakiti atau membuatku malu.
Aku sama sekali tak berniat memberitahukannya perihal foto-foto itu. Aku ingin menyelidikinya sendiri dan mengetahui fakta yang sebenarnya. Namun, semua rencana mendadak berubah ketika sudah berada di hadapan orangnya.
“Kalau bukan Pak Rendra yang mengambil fotoku dengan Devian, lantas siapa? Apakah seperti dugaan Lesti, Bella yang melakukan itu? Lalu, ke mana Pak Rendra pergi?” gumamku.
Ah, aku sangat penasaran dengan apa yang lelaki itu lakukan pagi ini, hendak ke mana dan ada perlu apa. Tapi tak mungkin lagi bagiku untuk mengikutinya diam-diam.
Kulirik jam di tangan. Lima menit lagi aku akan mendapatkan absensi merah di jam masuk karena telat. Tidak apa-apa, dari pada aku tidak masuk kantor sama sekali.
Aku pun akhirnya melanjutkan perjalanan ke gedung Vent Group Pusat. Aku juga tak sabar untuk memberitahukan hal penting ini kepada Lesti saat jam istirahat nanti.
Sesampainya di kantor, ruangan divisi keuangan mendadak tegang ketika aku membuka pintu. Suara yang tadi terdengar hingga di depan ruangan, kini mendadak senyap. Mereka baru tampak bernapas lega setelah melihat bahwa bukan Pak Rendra yang masuk, melainkan rekan sesama staf.
Mereka pun bersorak.
“Huh! Gue kirain Pak Rendra lo, Ay!” celetuk salah seorang staf pria.
“Iya. Sampai jantungan gue!” sahut yang lain.
Aku tertawa geli melihat mereka. Setinggi itu wibawa dan pengaruh Pak Rendra terhadap bawahannya.
Suasana di ruangan ini kembali ceria. Suara para staf yang saling menyapa dan melempar candaan pun terdengar. Meski begitu, para staf tidak pernah mengabaikan pekerjaan mereka. Sama seperti dulu, saat Pak Rendra belum bekerja di sini.
“Ay, lo kenapa telat? Gue sampai khawatir lo kenapa-kenapa,” tanya Lesti yang tetap duduk di tempatnya.
“Sorry, Les. Gue tadi ada keperluan mendesak,” jawabku.
“Ay, Pak Rendra gak masuk?” tanya yang lain.
“Gak tahu,” jawabku pura-pura tidak tahu.
“Laah, kirain lo tahu,” sahut yang lain.
“Emang gue siapanya, mesti tahu tentang dia?”
“Staf kesayangannya!” sahut mereka serempak, lalu dikuti tawa, yang membuat ruangan ini benar-benar terasa berwarna.
Aku hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala melihat tingkah rekan-rekanku sesama divisi keuangan. Mereka juga tak jarang membahas isu kedekatan karyawan yang satu dengan yang lainnya.
Ah, andaikan mereka tahu hubunganku dengan Devian—direktur keuangan yang mereka panggil si bos—aku pastu akan menjadi bulan-bulanan gosip mereka.
Satu jam sebelum jam istirahat kantor, pintu ruangan tiba-tiba dibuka. Suasana mendadak senyap kembali dan semua menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang akan masuk ke ruangan dengan lima orang staf ini.
Ternyata lelaki itu, yang membuat semua orang di ruangan ini mendadak mengunci mulut. Dengan langkah panjang dan tubuhnya yang tegap Pak Rendra berjalan masuk menuju meja kerjanya.
Kupikir ia tidak akan masuk kerja hari ini. Lantas, urusan apa yang membuatnya harus datang ke kantor menjelang siang?