Bertemu Bella

1036 Kata
Pagi ini aku mulai masuk kerja lagi setelah menghabiskan dua hari akhir pekan yang melelahkan. Kubuka pintu perlahan, berharap Pak Rendra tidak keluar rumah di saat yang bersamaan. Setelah keluar dan tak melihat sosok lelaki itu, aku segera mengunci pintu dan berlari menuju lift. Pintu lift hampir tertutup. Aku mempercepat langkah sambil berteriak. “Tunggu!” Pintu lift pun terbuka kembali. Dan alangkah terkejutnya aku melihat seseorang yang sudah berdiri di dalam lift sambil menekan tombol. Aku terperangah dan mematung sesaat. “Mau masuk tidak?” tanyanya. Sambil menelan ludah, aku mengangguk pelan dan masuk ke lift. Hanya ada kami berdua di dalam lift ini—aku dan Pak Rendra. Aku memilih untuk berdiri di sudut lift kiri, sedangkan Pak Rendra di kanan depan dekat tombol. Suasana canggung sekali, benar-benar kaku. Ada rasa takut di hatiku, jika sewaktu-waktu lelaki ini akan berbuat buruk padaku di sini. “Kamu mengira saya yang mengirimkan kotak itu?” tanyanya tiba-tiba saat lift mulai turun dari lantai 4 ini. Ia menoleh padaku setelah beberapa saat tak mendapatkan respons dariku. “Siapa lagi yang menginginkan saya menjauhi Devian selain Bapak?” jawabku dengan sinis. Pintu lift terbuka. Aku merasa lega karena Pak Rendra tidak melakukan hal buruk apa pun padaku selama di lift tadi. Namun, Pak Rendra menatapku sebelum keluar dari lift. “Sekali pun saya katakan bukan saya, kamu akan tetap mengira saya yang melakukannya.” Ia lalu berjalan keluar lift dengan langkah-langkah lebarnya. Meninggalkanku yang termangu melihat sikapnya. Ia terlihat tegas dan berwibawa. Astaga, Ayana! Mengapa kamu malah terpana dengan pembawaan lelaki itu? Aku menepuk kedua pipi agar terbangun dari hipnotis sosok lelaki itu. Mobil Pak Rendra baru saja keluar dari basement saat aku masih berjalan menuju mobilku. Sikap Pak Rendra pagi ini kembali seperti saat-saat di kantor. Dingin, tegas, dan misterius. Aku tahu, dia pasti tersinggung dengan sikapku yang seolah-olah, atau bahkan sudah sangat jelas menuduhnya mengirimkan teror itu untukku. Di kantor, Pak Rendra bersikap seperti biasa. Tak ada yang berbeda caranya memperlakukanku walau sudah terlalu banyak hal yang terjadi di antara kami, di luar pekerjaan. Pintu ruangan ini tiba-tiba diketuk dari luar. Seorang karyawan cleaning service membuka pintu ruangan. Semua staf keuangan yang ada di ruangan hening ini langsung menoleh. “Permisi, Pak. Ada tamu mencari Mbak Ayana,” katanya pada Pak Rendra. Manajer keuangan itu pun mengangguk. Aku langsung beranjak keluar ruangan mengikuti petugas kebersihan itu. “Siapa, Pak?” tanyaku. “Tidak tahu, Mbak. Saya hanya dipesankan sama orang bawah.” “Di mana tamunya?” “Di ruang rapat.” “Makasih, ya, Pak,” ucapku pada lelaki paruh baya itu. Aku pun berjalan menuju ruangan yang dimaksud, sembari bertanya-tanya dalam hati, siapa kiranya orang yang ingin bertemu denganku sampai harus datang ke kantor? Aku membuka pintu ruang rapat dan melihat seorang wanita tengah berdiri menghadap di dekat kaca. Dilihat dari belakang, wanita itu tampak anggun dengan tinggi semampai. “Maaf, apa Anda mencari saya?” tanyaku dengan sopan. Wanita itu perlahan menoleh. Aku spontan menutup mulut dengan kedua tangan setelah melihat sosok wanita, yang kini berdiri di hadapanku dengan seringainya. “Kenapa? Kamu terkejut melihatku di sini?” tanyanya sinis. Aku berdehem dan mencoba bersikap biasa. “I-iya. Saya terkejut bisa bertemu langsung dengan seorang model cantik seperti Mbak Bella.” “Nyonya Devian. Ingat? Nyonya Devian Hartadi! Anak dari pemegang saham terbesar di Vent Group,” ucapnya angkuh, seolah-olah ia harus dihormati setinggi-tingginya. “I-ya, Nyonya Devian.” “Benarkah kamu terkejut karena bertemu seorang model?” tanyanya seraya menyunggingkan senyum anehnya dan berjalan menghampiriku. “I-iya,” jawabku gugup ketika ia berjalan memutariku, lalu kembali berdiri di depanku. “Bukan terkejut karena ada hal lain?” bisiknya di telingaku, membuatku merinding seketika. Mengapa Bella tiba-tiba menemuiku dan bertanya hal barusan? Apakah dia sudah mengetahui hubunganku dengan Devian? “Kenapa diam?” tanyanya lagi. “Nyonya, ada apa memanggil saya?” Wanita cantik itu tiba-tiba menepuk tangannya tiga kali. “Kamu memang benar-benar pintar berakting, ya? Tidak perlu menunjukkan tampang polosmu padaku!” ucapnya, lalu menekan kedua pipiku dengan tangannya. Aku semakin deg-degan dibuatnya. Apa sebenarnya yang mau dilakukan wanita ini padaku? Apa dia mau mencelakaiku setelah tahu hubunganku dengan Devian? Kutepis tangannya dari wajahku. “Maaf. Jika tidak ada hal penting untuk dibicarakan, saya izin kembali bekerja,” pamitku, lalu berbalik. “Dasar tidak tahu diri!” Kalimatnya itu membuatku berhenti melangkah dan menatapnya. “Apa Anda memanggil saya hanya untuk mengatakan itu?” “Kamu--!” Dia mengangkat tangannya hendak menamparku. Namun, ponselnya berdering, membuatnya batal melakukan itu. Wanita di hadapanku ini pun mengambil ponsel dari dalam tasnya dengan kesal dan mengangkat telepon. “Aku hanya ingin bertemu dengannya,” ucap Bella di telepon. Aku menduga Devian yang sedang meneleponnya saat ini. “Kenapa? Kamu pikir aku bodoh?” ucapnya lagi, sambil memandangku sinis. “Apa perlu aku bongkar perselingkuhan kalian di media? Seluruh dunia akan tahu, Devian Hartadi, direktur keuangan sekaligus anak dari pemilik saham terbesar di Vent Group memiliki afair dengan stafnya!” Benar saja, dia sudah mengetahui hubunganku dengan Devian. Namun, dari mana dan sejak kapan ia mengetahuinya? Aku tak ingin mendengar obrolan mereka, yang membuat dadaku terasa nyeri. Lebih baik aku segera keluar dari ruangan ini. “Kamu tidak akan bisa mendapatkan Devian!” teriaknya saat tanganku sudah memegang knop pintu. Aku tak peduli dengan kata-kata ataupun ancamannya. Aku segera keluar dari ruang rapat tanpa menoleh sedikit pun kepada wanita itu. Dengan kesal aku berjalan menuju pantri. Beruntung, tidak ada seorang pun di sana, sehingga tak ada yang melihat wajahku yang teramat kesal. Aku mengambil air minum dan menegaknya sampai habis satu gelas untuk menenangkan diri. Detak jantungku masih sangat kencang sejak pertama kali melihat Bella di ruangan rapat. Aku tidak tahu apa lagi yang akan dikatakan Bella padaku—yang mungkin akan lebih menyakitkan—jika saja Devian tidak meneleponnya. Setelah ini, aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi dalam hidupku setelah Bella mengetahui hubunganku dengan Devian. Seketika aku langsung teringat dengan teror kotak berisi boneka berdarah di depan pintu apartemenku. Jangan-jangan benar yang dikatakan Lesti. Bisa jadi memang Bella yang mengirimkan teror itu untukku. Jika benar, berarti aku telah salah paham kepada Pak Rendra. Aku merasa sangat bersalah padanya. Aargh! Betapa bodohnya aku!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN