Part 10 (Memanjakan Diri)

1032 Kata
Part 10 Siang ini aku keluar dari rumah sakit. Namun, saat meminta rincian biaya dan hendak membayar semua biaya selama aku dirawat, pihak rumah sakit mengatakan sudah ada orang yang membayarnya. “Siapa, Sus?” tanyaku penasaran. “Tidak menyebutkan nama, Mbak. Hanya menanyakan biaya, lalu membayarnya via transfer.” “Perempuan atau laki-laki?” “Laki-laki.” “Baik. Terima kasih, Suster.” Aku pun bergegas keluar dan memesan taksi online. Tujuanku bukan apartemen, tetapi kantor. Aku ingin mengambil mobilku terlebih dahulu baru pulang. Selama di perjalanan ke kantor, aku terus bertanya-tanya sendiri dalam hati. Siapakah yang telah membayarkan biaya rumah sakitku? Devian? Ataukah manajer sialan itu? Aku penasaran sekali. Namun, tak mungkin aku menanyakan kepada kedua lelaki itu satu per satu. Devian sampai saat ini tidak mengirim pesan ataupun meneleponku. Dia pasti masih marah karena kejadian semalam. Sedangkan Pak Rendra, ia juga tak datang ataupun mengirimkan makanan seperti biasanya. Bagus, sih! Aku juga tak senang dia datang lagi. Aaargh! Aku pusing sendiri dibuatnya. Aku tak ingin berutang budi pada siapa pun. Namun, bagaimana caraku mencari tahu siapa orangnya? Terlalu banyak berpikir membuatku tak sadar kalau mobil yang kutumpangi ini sudah tiba di depan gedung kantorku. Setelah membayar ongkos taksi, segera aku berjalan menuju tempat parkir untuk mengambil kembali mobilku. Syukurlah aku tak bertatap muka dengan Devian maupun Pak Rendra. Di jam-jam seperti ini, memang biasanya semua staf dan petinggi perusahaan sedang sibuk bekerja. Segera kulajukan mobil menuju apartemenku. Sesampainya di depan pintu apartemen, aku menoleh sejenak ke belakang, memperhatikan pintu apartemen Pak Rendra. Aku masih tak mengerti apa niatnya memilih apartemen ini dan mengambil yang kosong tepat di depan hunianku? Sudahlah. Aku terlalu lelah memikirkan semua masalahku. Segera aku masuk dan membersihkan diri. Rasanya tubuhku lengket sekali tidak mandi selama di rumah sakit. Aku memanjakan diri dengan berendam di buthup yang telah dipenuhi busa. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bisa menikmati momen-momen seperti ini. Kesibukanku bekerja membuatku tak punya waktu untuk melakukannya. Sepulang kerja hanya bisa mandi biasa. Sesekali aku memilih pergi ke SPA jika hari libur. Aku jadi teringat momen-momen hari libur kerja sebelum Devian memutuskan untuk menikahi wanita lain. Devian selalu mengunjungiku. Tak jarang ia mengajakku berlibur ke pantai, tempat yang paling kusukai. Terkadang Devian juga menemaniku di salon dan SPA, meski sesekali ia menggerutu karena merasa bosan. Mengingat itu aku jadi tertawa sendiri. Tawa yang hanya sesaat, lalu berubah menjadi kesedihan. Apakah aku masih bisa merasakan momen-momen seperti itu setelah Devian menikah nanti? Atau ... haruskah aku menyerah saja saat ini dan melepaskan lelaki yang sudah enam tahun memberikan cinta di hatiku? Selesai membersihkan diri, perutku terasa lapar. Tidak ada bahan makanan di kulkas yang bisa kumasak. Ini saatnya aku berbelanja dan memasak makanan kegemaranku. Akan kumanfaatkan hari libur ini untuk memanjakan diriku sendiri. Masalah Devian yang marah karena kejadian semalam, aku tak ingin memikirkannya untuk saat ini. Aku hanya ingin menyenangkan diriku sendiri tanpa dirinya. Aku lantas pergi ke supermarket membeli bahan makanan, camilan, juga minuman ringan kesukaanku. Setelah semuanya terbeli, aku gegas kembali ke apartemen. Kubersihkan semua bahan makanan dan kususun rapi di lemari es. Kusiapkan semua yang hendak kumasak siang ini. Aku memang tidak begitu pintar memasak, tetapi jika ada waktu aku senang membuat masakan yang simpel untuk diriku sendiri. Dengan berbekal resep yang kucari di internet, aku siap untuk memasak makan siangku sendiri. Tak lupa kunyalakan lagu-lagu lawas dari penyanyi wanita Indonesia untuk menemani aktivitasku di dapur. “Demi cinta yang membara, kurela menggenggam bara api demi kasih ....” Bibirku ikut melantunkan lirik lagu dari Inka Cristie tersebut, seraya tanganku memotong-motong wortel berukuran kecil. Sepertinya siang ini aku merasa lebih bahagia, bebas, dan nyaman. Entahlah mengapa bisa seperti itu. Padahal, masalahku dengan Devian belum ada ujungnya. Setelah tiga puluh menit berjibaku dengan peralatan dapur dan bahan-bahan masakan, akhirnya makan siang buatanku selesai juga. Seporsi capcai jamur dan sepiring cumi-cumi saus padang sudah tersaji di meja. Semuanya adalah makanan kesukaanku dan Devian. Aku duduk menatap makanan di hadapanku. Pikiranku kembali melayang ke masa-masa di mana aku dan Devian memadu kasih tanpa adanya orang ketiga. Pertengkaran-pertengkaran kecil mewarnai jalinan cinta kami, yang membuatnya semakin romantis. Devian selalu makan dengan lahap jika kubuatkan menu makanan ini. “Aku ingin makan masakanmu setiap hari,” ujarnya setiap kali ia makan hasil masakanku. “Setelah kita menikah, mungkin aku bisa membuatkan makanan untukmu setiap hari,” jawabku kala itu. Devian hanya tersenyum setiap kali aku menyinggung tentang pernikahan. Kupikir saat itu ia memang belum siap menikah. Atau belum siap meyakinkan keluarganya untuk menikahi seorang staf perusahaan milik keluarganya seperti aku. Pada akhirnya aku harus menelan pil pahit mengetahui Devian akan menikahi wanita lain yang dijodohkan orang tuanya, seorang model cantik dan terkenal bernama Bella. Aku pernah bertemu sekali dengan wanita itu di kantor beberapa bulan sebelum kabar pernikahan mereka kudengar. Kupikir saat itu, Bella ada keperluan apa dengan perusahaan tempatku bekerja. Sekarang aku yakin bahwa Bella dan Devian sudah saling mengenal cukup lama. Mungkin ada banyak hal yang disembunyikan Devian dariku. Aku terlalu polos mencintai Devian tanpa pernah curiga atau menuntut banyak hal darinya. Bagiku selama ini, merasakan cinta dari sosok lelaki itu sudah lebih dari cukup mengubah hidupku yang hampa. Kini, kehampaan itu perlahan mulai kurasakan kembali. Aku menghela napas panjang melihat takdir hidupku. Sendok di tanganku terjatuh akibat terbuai dengan lamunan. Aku pun tersadar bahwa makanan di meja ini sudah sejak tadi memanggilku untuk segera dilahap. Aku pun tak lagi memikirkan tentang hubungan percintaanku dengan Devian. Kini saatnya memanjakan lidah dengan hasil masakan sendiri. Seusai makan, aku duduk di sofa ruang tamu dan menyalakan televisi. Tak lupa beberapa camilan dan minuman ringan kuletakkan di dekatku. Aku mencari siaran televisi yang menghibur sambil menikmati makanan ringan yang kubeli di supermarket tadi. Kini, aku benar-benar menikmati hari liburku di rumah seorang diri. Ternyata seasyik ini rasanya. Selama ini aku hanya tahu bekerja dan bekerja, juga menghabiskan waktu bersama Devian. Aku terus menonton hingga akhirnya tertidur di sofa. Saat terbangun, kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 17.30. Sepertinya sudah hampir tiga jam aku tertidur di sofa. Bahkan televisi masih menyala. Segera kumatikan televisi dan merapikan semua makanan dan minuman ke tempatnya kembali. Lalu aku mandi. Baru saja selesai mandi, aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang di kamarku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN