Part 11 (Hanyut)

1114 Kata
Devian! Dia sudah duduk di tepi kasur sambil memandangku dengan raut marah. Ya, Devian memang bisa masuk ke apartemenku sesuka hatinya. Sebab, dia juga memegang kunci apartemen ini. “Aku tidak mau menunggumu di depan pintu terlalu lama,” ujarnya dulu ketika meminta kunci untuk dirinya sendiri. “Devian, kenapa tiba-tiba ke sini?” tanyaku setelah meletakkan kembali handuk di tempatnya. Aku bahkan masih memakai kimono mandi saat ini. “Bukankah aku selalu seperti ini? Kenapa kamu terkejut?” Ia malah bertanya balik. “Aku terkejut karena sudah cukup lama kamu tidak datang tiba-tiba ke apartemenku.” “Kenapa kamu tidak mengangkat teleponku?” “Kapan kamu meneleponku? Aku tidak mendengarnya.” “Ini!” Devian menunjukkan log panggilan keluar ke nomorku di ponselnya. Sekitar pukul 16.00. “Jam empat? Aku tertidur. Aku bahkan tidak tahu di mana hp-ku. Sepertinya kuletakkan di dapur saat memasak. “Benarkah?” Devian menatapku curiga. “Sejak kapan kamu tidak mempercayaiku, Dev?” “Sejak semalam,” jawabnya singkat, tetapi mampu membuatku mati kata. “Dev, kamu salah paham atas kejadian semalam.” “Kupikir kamu sengaja memintaku ke rumah sakit semalam, hanya untuk menunjukkan kemesraanmu dengan manajer baru itu.” Devian benar-benar salah paham. Ini semua gara-gara Pak Rendra! Dia sengaja membuat Devian marah kepadaku. Aku duduk di samping Devian dan menggenggam tangannya. “Dev, dengar. Aku sama sekali tidak tahu kalau Pak Rendra datang ke rumah sakit malam itu. Dan aku hanya butuh kamu, Dev. Aku butuh kamu menemaniku di rumah sakit,” terangku memelas. “Benarkah? Kenapa siang dia juga datang dan menyuapimu?” Devian tampaknya masih belum bisa mempercayaiku. “Dia berbohong!” jawabku. Aku terpaksa membohongi Devian agar dia tak lagi memperpanjang masalah ini. “Untuk apa dia melakukannya?” “Aku tidak tahu.” Devian tampak sedang berpikir. “Percayalah padaku, Dev. Selama enam tahun, aku tidak pernah mengkhianatimu. Bahkan, aku masih menurutimu meski kamu akan menikahi Bella.” Devian langsung menoleh padaku setelah mendengar kalimat terakhir. “Kenapa menyinggung masalah pernikahanku dengan Bella?” Devian tampak tak senang. “Aku hanya ingin kamu tahu, apa yang kamu dengar dari Pak Rendra itu tidak benar.” Devian menarik napas panjang. “Baiklah. Untuk saat ini aku mencoba mempercayaimu. Tapi aku tidak akan memaafkanmu jika melihatmu bersama lelaki lain,” ancamnya. Devian mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Hangat napasnya terasa menyapu wajah. Perlahan bibirnya menyentuh bibirku. Hangat seperti biasa. Namun, aku sama sekali tidak menginginkannya. Hatiku sedih mendengar ucapan Devian. Dia marah hingga mengancamku jika itu terjadi. Namun, aku tak bisa marah, bahkan ketika ia akan menikahi wanita lain dan hanya menjadikanku seorang wanita simpanan. “Kenapa diam?” tanyanya karena aku tak membalas ciumannya. Hanya diam kaku seperti patung. “Haruskah aku senang, Dev?” “Maksudmu?” “Bisakah aku marah dan tidak memaafkanmu saat melihatmu di pelaminan bersama wanita lain?” “Kenapa kamu selalu membahas itu, Ay?!” teriak Devian. Ia mengempaskan tanganku dengan kasar dan berdiri menghadapku. Sikapnya ini membuatku sedikit takut. Aku pun turut berdiri di hadapannya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa benar-benar menerima kondisi ini, Dev. Aku tidak ingin hanya menjadi simpananmu!” balasku dengan lantang. Akhirnya, aku bisa mengutarakan dengan jelas apa yang mengganjal di hati. “Kupikir kamu cukup pintar untuk tidak menerima penjelasanku berkali-kali padamu, Ay.” “Otakku paham, tetapi hatiku masih belum bisa menerima, Dev. Selama enam tahun kita menjalin kasih diam-diam. Apakah ada terbesit di hatimu untuk memberitahukannya kepada keluargamu? Pernah, Dev?” Tiba-tiba kedua tangan Devian mencengkeram erat pundakku. Ia menatapku tajam dan seolah-olah siap menerkam. “Kamu kamu masih mempertanyakan itu, aku akan benar-benar meninggalkanmu!” ancamnya. Benarkah ucapannya itu? Bukankah dia yang tak ingin aku pergi darinya? “Mungkin lebih baik begitu,” jawabku berusaha tetap tenang. “Apa? Kamu senang? Apa karena ada manajer baru itu?” tanya Devian dengan suara keras, nyaris berteriak. “Sekali lagi aku katakan, ini tidak ada hubungannya dengan siapa pun, Dev! Aku hanya tidak ingin terus-terusan menjadi kekasih yang tidak dianggap. Yang terus-terusan kamu sembunyikan. Aku ingin hubungan yang jelas!” Air mataku tak mampu lagi terbendung. Aku menangis di hadapannya. Di hadapan lelaki yang kucintai, tetapi akan menjadi suami wanita lain. Devian mengusap kasar wajahnya. Ia kemudian kembali memegang kedua pundakku tetapi kali ini dengan kelembutan. Kedua matanya menatapku sayu. “Apalah artinya sebuah ikatan jika tidak ada cinta, Ay?” ujarnya dengan sangat lembut. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku hingga aku bisa kembali merasakan hangat napasnya. “Meskipun statusku nanti sebagai suami Bella, tetapi cintaku hanya untukmu. Percayalah. Aku akan tetap memperlakukanmu seperti dulu. Tidak akan ada yang berubah.” Devian mengusap air mataku, lalu mencium keningku dengan lembut dan cukup lama. Aku memejamkan mata untuk merasakan kenyamanan saat ini. Kenyamanan ketika lelaki di hadapanku ini mengecup keningku. “Aku janji akan segera menceraikan Bella, lalu mengumumkan hubungan kita.” Dia belai lembut kedua pipiku. Aku hanya bisa diam merasakan setiap sentuhannya di wajahku. “Aku mencintaimu, Ayana,” ucapnya sebelum menyatukan dua muara di atas dagu kami. Devian selalu bisa membuatku hanyut dalam sentuhan dan kata-kata manisnya. Hingga tekadku yang ingin berpisah darinya, lagi-lagi menguap entah ke mana. Kami menghabiskan waktu melepas rindu hingga larut di apartemenku. Menggantikan waktu yang tertunda semalam. Mungkin ini akan menjadi malam terakhir Devian bisa menghabiskan waktu selarut ini denganku. “Sudah terlalu malam. Aku harus pulang,” ucapnya. Aku melihat jam, sudah pukul 01.00. “Kenapa tidak tidur di sini saja malam ini?” pintaku. “Dua hari lagi hari pernikahanku. Aku tidak mungkin tidak tidur di rumah. Orang tuaku akan curiga,” jelasnya. Aku mengerti dan mengangguk paham. “Pulanglah. Jangan sampai mereka cemas.” Devian mengangguk lalu mencium keningku. “Berhati-hatilah dan jaga jarak dengan manajer baru itu,” ucapnya memperingatkan sebelum keluar dari apartemenku. Aku hanya mengangguk, lalu mengantarnya keluar sampai depan pintu apartemenku. Kuharap Devian tak pernah tahu kalau aku dan manajer baru itu bertetanggaan di sini. “Tidurlah. Jangan lupa kunci pintunya,” ucap Devian sebelum berjalan meninggalkanku. Aku segera masuk dan mengunci pintu setelah melihat Devian mulai menjauh. Setelah lampu beberapa ruangan kumatikan, terdengar bel pintu dibunyikan. “Kenapa Devian kembali lagi?” gumamku. Mungkin ada yang tertinggal. Kunci mobil misalnya, pikirku. Aku pun segera membuka pintu. “Ada yang terti—“ Kalimatku spontan terhenti begitu membuka pintu dan melihat siapa yang berdiri di sana. Sosok lelaki yang baru saja dibicarakan Devian agar aku berhati-hati dengannya, sedang berdiri sambil menatapku dengan tajam. Entah mengapa aku merasakan kemarahan yang besar dari sorot matanya. “A-ada apa, Pak Rendra?” tanyaku gugup. Mendadak hatiku diselimuti rasa takut. Dia tak menjawab dan langsung mendorongku ke dalam, lalu menutup pintu. “Apa yang Bapak lakukan?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN