Devian mematung di depan pintu dengan ekspresi terkejut. Sama halnya denganku yang tak kalah terkejut dengan situasi ini. Sedangkan Pak Rendra, kulihat ia hanya menunjukkan ekspresi seolah-olah tak terjadi apa-apa.
“Pak Rendra, di sini juga?” tanya Devian yang tampak kikuk. Suaranya terdengar menyembunyikan kegugupan. Ia pasti tak mengira kalau manajer keuangan juga ada di sini.
Perlahan Devian masuk dan menyalami Pak Rendra. Keduanya kini berdiri di dekat brankar.
“Iya, Pak,” jawab Pak Rendra. “Wah, sepertinya Ayana karyawan istimewa di Vent Group. Sampai-sampai Pak Direktur datang menjenguknya,” sambungnya sambil melirik ke arahku.
Aku tahu jelas kalau Pak Rendra sengaja menyindir kami.
Devian tampak pura-pura santai.
“Semua staf keuangan adalah keluarga saya. Jadi, siapa pun yang sakit, saya usahakan untuk menjenguknya,” tutur Devian. Pintar sekali direktur ini menutupi kebohongannya.
“Saya jadi semakin merasa beruntung bisa diterima di Vent Group,” balas Pak Rendra.
“Bisa saja Pak Rendra!” balas Devian diiringi tawa.
“Mari duduk, Pak Direktur,” ajak Pak Rendra.
“Kalau di luar kantor, panggil saja saya Devian.”
“Kalau begitu, Bapak, eh, Devian juga bisa memanggil saya Rendra saja.”
Mereka berdua pun tertawa bersama. Sedangkan aku melihat situasi ini sebagai awal dari sebuah petaka. Kuharap manajer baru itu segera pergi dari sini.
“Ayana, kamu pasti belum makan,” ujar Pak Rendra padaku.
“Sudah.”
“Oh. Tapi saya bawakan martabak mesir untukmu. Makanlah.” Pak Rendra berdiri sambil membawa sebuah bungkusan. Ia berjalan menghampiriku dan menggeser kursi ke samping brankar, lalu duduk di sana.
Kenapa orang ini selalu membawa makanan setiap kali ke sini? Apa aku terlihat seperti wanita yang banyak makan?
“Saya masih kenyang, Pak.”
“Cobalah sedikit. Kata orang, ini martabak mesir terenak di daerah sini.” Ia membuka bungkusan itu dan memperlihatkan isinya padaku.
Terlihat sangat lezat.
“Devian, maaf aku hanya membeli satu porsi untuk Ayana,” ucapnya pada Devian yang hanya diam memperhatikan kami dari tempat duduknya.
“Tidak apa-apa. Tapi, Ayana bilang dia sudah kenyang. Mungkin bisa dimakan malam nanti kalau dia lapar,” jawab Devian.
Ia tersenyum samar. Namun, aku bisa melihat rona cemburu yang terpancar di wajahnya. Aku tahu betul kalau Devian sangat posesif. Ia tak pernah senang jika melihatku berdua dengan lelaki lain.
“Kalau kusuapi seperti siang tadi, Ayana pasti mau.”
Oh tidak! Kenapa Pak Rendra harus mengatakan itu di depan Devian? Apa dia sengaja melakukannya?
Aku lantas melirik kepada Devian. Raut wajahnya Devian berubah. Dari cemburu menjadi marah.
“Sepertinya kalian cepat akrab,” ujar Devian. Aku tahu ia sedang menyinggungku.
“Tidak juga. Aku hanya berusaha memperhatikan bawahanku,” jawab Pak Rendra.
Hawa di ruangan ini mendadak terasa panas dan tidak nyaman bagiku. Kalau tahu akan begini, lebih baik aku pulang saja dari rumah sakit siang tadi.
“Perhatian sekali manajer baru kita ini, Ayana,” balas Devian, seraya menatapku penuh tanya.
Aku hanya tersenyum. Senyum getir untuk menutupi semuanya dari Devian.
“Ayo, Ayana. Saya bantu kamu duduk.”
Pak Rendra tiba-tiba meraih kedua pundakku dan perlahan membantuku duduk. Padahal aku sangat bisa duduk sendiri. Sepertinya ia sengaja melakukan ini untuk memancing reaksi Devian.
Ia kemudian menyodorkan sesuap martabak mesir itu ke mulutku.
“Sa-saya bisa makan sendiri, Pak,” ucapku gugup sekaligus takut. Aku takut Devian benar-benar marah padaku atas sikap Pak Rendra. Aku selalu takut jika Devian marah akibat cemburu.
Kulirik Devian yang masih duduk di sofa. Sorot matanya benar-benar tajam menatapku. Aura kemarahannya terasa jelas.
Rasanya aku ingin mengusir dan menendang b****g Pak Rendra saat ini juga, agar tak mengusik waktuku dengan Devian.
“Tidak usah malu-malu. Di luar jam kerja, kami semua ini temanmu. Lagi pula, siang tadi juga saya menyuapimu.”
Astaga! Sepertinya Pak Rendra memang sengaja memancing masalah.
“Sepertinya saya mengganggu waktu kalian berdua di sini,” sela Devian tiba-tiba. Ia pun beranjak dari tempat duduknya menghampiri aku dan Pak Rendra.
“Ah, maaf, Dev. Jangan salah sangka,” ujar Pak Rendra. Aku tahu ia sedang berpura-pura. Aktingnya pintar sekali. Kurasa dia lebih cocok menjadi aktor daripada manajer keuangan.
“Tidak apa-apa. Saya pulang dulu.”
Astaga, Devian! Jangan pulang. Kamulah yang aku butuhkan di sini. Bukan manajer sialan ini!
Ingin sekali kuteriakkan kalimat itu. Namun, aku hanya bisa meneriakkannnya di dalam hati.
“Loh, kenapa cepat sekali?” tanya Pak Rendra, yang kutahu ia hanya berbasa-basi.
“Saya masih banyak pekerjaan. Hanya memastikan kalau staf saya baik-baik saja,” jawab Devian, lalu melirikku dengan tajam.
Aku hanya bisa terdiam, menangis di dalam hati dan berharap Devian tidak pergi malam ini.
“Kalau begitu hati-hati di jalan,” ucap Pak Rendra.
Devian hanya mengangguk, lalu meninggalkan kamar inap ini.
Aku menatap lelaki yang duduk di samping brankar ini dengan tatapan kemarahan dan kebencian. Dia merusak rencanaku! Dia membuat Devian pulang dengan membawa kemarahan padaku.
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanyanya.
“Pergi!” usirku.
“Aku hanya—“
“Aku bilang pergi!!!” teriakku, seperti orang frustrasi.
Aku tak mampu lagi menahan sesak di d**a yang kurasakan sejak tadi. Air mataku kini mengalir deras. Rinduku pada Devian pupus sudah karena kelakuan lelaki ini.
“Sebegitu besarnya cintamu pada lelaki yang akan menjadi suami orang?” ujar manajer sialan ini sambil berdiri. Tatapannya padaku kembali tajam dan menusuk.
“Bukan urusanmu! Kenapa kamu selalu mencampuri urusanku dengan Devian?”
“Karena kamu tidak pantas dengannya!”
‘Plak!’
Tanganku refleks menampar pipi lelaki itu setelah mendengar kalimatnya yang begitu menyakitkan.
Segera kulepas selang infus di tanganku. Aku tak ingin lagi berada di rumah sakit ini. Devian-lah yang membuatku bertahan di sini.
Kini, Devian meninggalkanku begitu saja dengan membawa api cemburu akibat ulah lelaki di hadapanku ini.
“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya seraya mencoba menghentikanku.
“Lepaskan!” Kutepis kasar tangan Pak Rendra, lalu mengusap air mataku dengan tangan.
“Kamu ingin mengejarnya?” Lelaki itu menyunggingkan senyum penghinaannya padaku. Membuat dadaku semakin bergemuruh emosi.
“Puas? Apa Bapak sekarang puas bisa mempermainkan saya?!”
“Ternyata benar kamu hanya pura-pura sakit agar bisa bersama Devian.” Dia malah mengalihkan pembicaraan.
“Ya! Saya memang melakukannya. Kenapa? Bapak tidak senang? Dan sekarang Devian meninggalkan saya dengan rasa cemburu dan marah. Apa Bapak puas sekarang?!”
“Tidak. Saya belum puas, sebelum kamu benar-benar berpisah dengan Devian,” ucapnya pelan, tetapi sangat menekan. Ditambah sorot matanya yang sama sekali tak memancarkan simpati dan empati padaku. Malah memandangku seolah-olah ia ingin membunuhku saat ini juga.
“Dengar, ya, Pak! Semakin Bapak menekan saya agar meninggalkan Devian, semakin besar pula keinginan saya untuk bersamanya!” balasku tak kalah sengit.
Mendengar jawabannya, sorot matanya semakin tajam. Raut wajahnya dipenuhi amarah.
Aku tidak tahu apa yang membuat lelaki yang baru kukenal ini bisa bersikap begitu dingin padaku, dan terlalu mencampuri urusan pribadiku.
Dia tak mengatakan apa-apa lagi setelah itu, dan langsung keluar meninggalkanku seorang diri di ruangan rawat inap ini.