Aku kembali seorang diri di kamar berukuran 3x3 meter ini. Devian sudah kembali ke kantor beberapa waktu lalu, meninggalkanku yang berharap akan jawaban yang tak kunjung ia lontarkan.
Aku hanya memintanya menemaniku malam ini. Hanya malam ini. Namun, Devian membisu. Ia hanya diam. Tidak menolak, tidak juga mengiyakan.
Apakah aku memang sudah tak penting lagi baginya?
Kepalaku kini dipenuhi dengan pikiran-pikiran negatif. Aku benar-benar merindukan cinta, yang selama ini Devian berikan.
Di kamar inap ini, aku hanya termenung hingga jam makan siang tiba. Senampan makanan dari rumah sakit sudah terletak di meja. Namun, aku sama sekali tak memiliki nafsu untuk makan. Sikap Devian yang tidak jelas membuat selera makanku hilang. Bahkan semangatku juga memudar.
Seseorang mengetuk pintu kamar dari luar. Aku tak peduli dan hanya berbaring miring, menatapi lantai keramik berwarna putih.
Pintu kembali diketuk. Tak biasanya seperti ini. Para perawat selalu mengetuk sekali, lalu membuka pintu. Aku jadi penasaran dan berbalik badan untuk melihat ke arah pintu.
Pintu pun dibuka dari luar. Aku pun cukup ketika melihat siapa yang datang menemuiku siang ini. Kemudian aku menghela napas kecewa karena berharap Devian-lah yang datang kembali untukku.
“Kenapa ekspresimu seperti itu?” tanya lelaki bermata elang itu tanpa permisi masuk ke kamar ini. Lalu ia duduk di sofa dan meletakkan dua buah bungkusan di meja.
Aku hanya memperhatikannya dengan malas tanpa merespons pertanyaannya.
“Kamu kecewa karena bukan Devian yang datang?” tanyanya lagi tanpa basa-basi.
Orang ini, apa tidak bisa berempati sedikit dengan keadaanku?
“Kalau tidak ada kepentingan, silakan Bapak keluar. Saya mau istirahat,” ucapku dengan ketus.
Kulihat Pak Rendra hanya tersenyum tipis, lalu melirik ke nampan yang ada di hadapannya.
Ia membuka tutup nampan itu dan berkata, “Kenapa belum dimakan?”
Aku tak ingin menanggapinya. Rasa kecewa dengan Devian, ditambah kekesalanku pada lelaki ini, membuatku malas melihatnya. Aku pun membalikkan badan, memunggunginya.
“Tidak sopan memunggungi orang yang sedang berbicara padamu,” ujarnya.
Aku pun kembali berbalik, posisi miring menghadapnya.
“Bapak sebenarnya mau apa ke sini?”
“Melihat kondisimu. Bukankah kata dokter, kalau sudah tidak pusing kamu boleh pulang hari ini?”
“Saya masih sakit.”
“Benarkah?” Ia berdiri dan berjalan menghampiriku. Pandangannya menyapu wajahku cukup lekat.
“Sepertinya kamu sudah sehat.”
“Katakan saja apa tujuan Pak Rendra ke sini?” tanyaku kesal.
“Karena kamu kecelakaan di mobil saya, maka saya harus bertanggung jawab sampai kamu benar-benar pulih.”
“Tidak perlu!” Aku kembali memunggunginya.
Kudengar suara langkahnya menjauh dari brankar. Kupikir Pak Rendra akan keluar dari kamar ini. Ternyata dugaanku salah.
“Ayo makan!” ucapnya di sampingku.
Aku pun kembali menghadapnya dan berkata, “Saya tidak mau makan.”
“Kamu harus punya tenaga untuk melawan saya.”
Tiba-tiba Pak Rendra menarik tubuhku hingga duduk.
“Saya bilang saya tidak mau makan, Pak! Kenapa Bapak memaksa saya?”
Dia sama sekali tak memedulikan protesku. Bungkusan yang dibawanya dikeluarkan. Sebungkus nasi padang dengan lauk rendang, kesukaanku.
Ia mengambil sendok di nampan makanan rumah sakit dan menarik kursi ke samping brankar.
“Buka mulutmu!” perintahnya sambil menyodorkan sesendok nasi.
Aku menatapnya dengan kesal sekaligus heran dengan sikapnya. Mengapa lelaki misterius ini memaksaku makan, bahkan sampai mau menyuapiku?
“Ayo cepat!”
“Kenapa Bapak memaksa saya—“
Belum siap aku bicara, ia sudah memasukkan sendok itu ke mulutku.
“Pak Rendra!” protesku.
“Jangan banyak bicara. Cepatlah makan.”
Aku menarik napas panjang menahan emosi atas sikapnya yang semau hati.
“Saya bisa makan sendiri!”
“Diamlah! Buka mulutmu!” bantahnya.
Ia kembali menyuapiku. Rasanya canggung sekali. Baru kali ini aku disuapi oleh seorang lelaki. Bahkan, Devian saja tak pernah melakukannya.
Suapan ketiga, dan seterusnya. Aku merasa sedikit aneh, tetapi juga menikmatinya. Sedangkan lelaki ini tampak biasa-biasa saja.
Sesekali pandangan kami bertemu saat suapan nasi itu masuk ke mulutku. Membuat suasana di ruangan ini semakin kaku. Namun, dia masih terlihat santai.
“Bapak, tahu dari mana kalau saya suka nasi padang pakai rendang?” tanyaku basa-basi, untuk mencairkan suasana.
“Tidak tahu. Saya hanya asal beli,” jawabnya acuh, sambil menyodorkan sesuap nasi ke mulutku.
Orang ini benar-benar to the point dan tak bisa berbasa-basi. Aku yakin hidupnya sangat membosankan. Ah, aku jadi penasaran, apa orang seperti dia pernah punya pacar?
Sampai nasi itu hampir habis, aku tak berani menanyakannya. Aku juga takut jika nantinya ia menyinggung-nyinggung masalah Devian. Aku tak ingin mendengar komentar pedasnya saat ini tentang hubungan kami.
“Saya sudah kenyang, Pak,” ujarku.
“Minum.” Dia menyodorkan sebotol air mineral yang telah ia buka segelnya.
“Cepat sembuh. Ada banyak laporan menunggumu,” ucapnya saat membuka pintu.
“Pak!” panggilku sebelum ia pintu kamar ini benar-benar tertutup kembali. “Apakah ... pagi tadi Pak Rendra yang mengantarkan sarapan untukku?”
Lelaki itu mengangguk dengan raut wajah datar. Tangannya hendak kembali menutup pintu, tetapi aku kembali memanggilnya.
“Pak!”
“Ada apa lagi?”
“Terima kasih,” ucapku.
Dia tersenyum! Ya, aku tak salah lihat. Pak Rendra tersenyum sebelum menutup pintu dari luar. Bukan senyum licik atau senyum terpaksa. Aku melihat senyumnya yang tulus.
Kuharap aku tidak salah melihat. Aku ingin berdamai dengannya sebagai atasanku. Aku tak ingin terus-menerus perang dingin dengannya.
Perutku kini sudah kenyang. Kulirik nampan berisi makan siang dari rumah sakit. Sejak pagi tadi, aku sama sekali tidak menyentuh makanan yang disediakan. Hanya makanan dari Pak Rendra yang mengisi perutku yang lapar.
Aku tak mengerti mengapa Pak Rendra melakukan semua itu. Sampai harus repot-repot datang hanya untuk mengantarkan makanan. Padahal, dari sorot matanya, aku bisa melihat ada kebencian terhadapku.
Tak ingin memikirkannya terlalu dalam, aku memilih untuk mengambil ponsel yang kuletakkan di dekat bantal. Tanganku menyentuh plastik.
“Apa ini?” gumamku dan langsung membukanya.
Plastik hitam itu berisi sikat gigi baru dan odol.
“Apa Pak Rendra juga yang meletakkannya di sini?”
Ya, tak ada orang lain yang menjengukku sejak semalam selain Pak Rendra dan Devian. Sedangkan Devian yang super sibuk itu, tak mungkin sempat memikirkan untuk membawakan ini buatku.
“Pengertian juga atasan monster itu.”
Aku memang sudah sangat ingin menyikat gigi sejak semalam. Namun, harus bersabar. Baru saja aku ingin mengirimkan pesan kepada Lesti agar membawakan beberapa barang kebutuhanku.
Perlahan aku bangkit dari brankar dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku merasa lebih segar setelah menyikat gigi dan mencuci muka.
Setelah kembali ke brankar, aku membuka ponsel dan mengirim pesan ke Lesti untuk membelikanku pakaian lengkap dengan dalamannya jika dia datang menjengukku. Rasanya risi sekali dari kemarin tidak mengganti pakaian.
Setelah itu, aku memilih untuk menghabiskan waktu dengan menonton drama dari negeri ginseng favoritku. Hingga tanpa terasa, jam sudah menunjukkan jam pulang kerja di kantorku.
“Ayana, lo gak apa-apa?” cerocos Lesti begitu ia membuka pintu kamar inapku.
Aku sampai terkejut dibuatnya karena ia sama sekali tak mengetuk pintu. Hanya langsung membukanya dan masuk begitu saja bersama dua rekan kerja lainnya.
“Gue gak apa-apa. Lo gak udah panik gitu,” jawabku.
“Gimana gak panik? Lo bilang lo kecelakaan. Terus lo bilang boleh pulang hari ini, tapi nyatanya lo masih dirawat. Jadi sebenarnya kondisi lo gimana, Ay?” tanyanya.
“Gak gimana-gimana, Les. Besok juga gue udah pulang.”
“Yakin, Ay?” tanya temanku yang lainnya.
“Iya.”
“Syukur deh kalau gitu.”
“Eh, gimana ceritanya lo bisa kecelakaan? Lo keluar sama Pak Rendra kan kemarin?”
“Iya. Tiba-tiba ada mobil nyalip, terus Pak Rendra banting setir ke kiri.”
“Oh gitu. Tapi Pak Rendra kelihatan baik-baik aja, ya? Malah udah kerja hari ini.”
“Gue juga baik-baik aja, kok. Cuma lagi males kerja aja,” balasku.
“Bisa aja lo, Ay!”
Setelah mengobrol dan membantuku mengganti pakaian, Lesti dan dua teman lainnya pun berpamitan pulang. Tinggallah aku sendirian lagi di kamar pasien VIP ini.
Aku terus melihat jam dengan hati penuh harap. Jarum jam di dinding kamar ini sudah menunjukkan pukul 19.30. Namun, Devian tak kunjung datang.
Apakah dia benar-benar mengabaikan permintaanku?
Tak lama, terdengar ketukan di pintu. Aku berharap Devian-lah yang datang. Namun, lagi-lagi aku harus mendesah kecewa.
“Menunggu Devian?” tanya Pak Rendra tanpa basa-basi setelah masuk ke ruangan ini. Lalu meletakkan sebuah bungkusan di meja dan duduk di sofa.
“Bukan urusan Bapak!” jawabku kesal.
“Berhentilah mengharapkannya. Dia akan menjadi suami orang lain.”
“Sudah saya bilang itu bukan urusan Bapak! Pergilah kalau hanya ingin mencampuri urusan saya dengan Devian!” usirku.
Lelaki itu berdiri dan menghampiriku.
“Dengar, Ayana!” ucapnya dengan sorot mata yang begitu tajam, seperti saat pertama kali kami bertemu di lift kantor. Tatapannya ini selalu menimbulkan rasa takut di hatiku.
“Sampai kapan pun, kamu tidak akan bisa mendapatkan Devian!” ujarnya begitu dalam dan serius.
Aku nyaris menyangkalnya, tapi tak sempat berbicara. Pintu kamar ini tiba-tiba dibuka dari luar.
Aku dan Pak Rendra sama-sama menoleh ke sana dan terkejut melihat sosok yang datang malam ini.
“Devian?”