Tubuhku rasanya seperti orang habis dipukuli. Aku membuka mata dengan berat dan memiringkan badan ke kanan dan kiri agar otot-ototku tidak terlalu kaku. Aku butuh pergi ke SPA setelah pulang dari rumah sakit nanti.
Sudah jam tujuh pagi. Seharusnya aku sudah berangkat kerja hari ini. Namun, pagi ini aku masih tergolek di brankar rumah sakit. Tanpa seorang pun yang menemani.
Terdengar ketukan di pintu kamar ini.
“Permisi. Mbak, ini sarapannya.”
Petugas rumah sakit membuka pintu dan meletakkan nampan makanan itu di meja.
“Terima kasih,” ucapku.
“Sama-sama.” Wanita berseragam biru itu kembali menutup pintu.
Kebetulan sekali, perutku juga sudah lapar. Aku pun bangkit dari tempat tidur dan berjalan perlahan menuju sofa, sambil menarik tiang penyangga kantong infus.
Di samping nampan sarapan dari rumah sakit, kulihat ada sebuah bungkusan. Penasaran, segera kukeluarkan isinya. Seporsi bubur ayam, s**u, dan air mineral. Siapa yang membawanya ke sini?
Apakah Pak Rendra? Ah, mana mungkin dia repot-repot ke sini hanya untuk mengantarkan sarapan untukku.
Sudahlah. Aku tak mau pusing memikirkannya. Lebih baik langsung kusantap saja makanan ini. Ini lebih menaikkan nafsu makanku dibandingkan sarapan yang diberikan dari rumah sakit.
Selesai makan aku kembali ke brankar dan duduk bersandar. Kubuka ponsel yang sejak tadi berbunyi notifikasi pesan masuk. Ada banyak pesan dari Lesti yang menanyakan kabarku pagi ini.
Ada satu kontak di antara pesan Lesti yang memenuhi chat-ku. Devian. Segera kubuka pesan darinya.
[Ayana, kamu di mana? Mobilmu di kantor, tapi kenapa kamu tidak ada?]
[Aku tidak bisa meneleponmu saat ini karena sedang rapat. Segera balas pesanku.]
[Sekuriti bilang, mobilmu di parkiran sejak semalam. Ke mana kamu, Ay? Tolong jangan buat aku khawatir!]
[Kamu jangan berbuat hal aneh, Ay! Aku akan segera meneleponmu seusai rapat.]
[Aargh! Konsentrasiku buyar! Tolong balas pesanku SEKARANG!]
Masih ada beberapa pesan lagi dari Devian dengan isi yang nyaris sama. Dia khawatir padaku? Benarkah? Aku meragukannya sekarang. Tak seperti dulu, yang langsung percaya seratus persen dengan semua omongannya.
Sebuah ide pun muncul di kepalaku. Aku tak ingin buru-buru pulang dari rumah sakit kalaupun kondisiku memang sudah boleh pulang. Aku ingin membuktikan, sebesar apa rasa khawatir Devian padaku. Seberapa peduli ia denganku saat ini.
Dan lagi, aku juga sangat merindukannya di saat-saat seperti ini. Aku ingin dia berada di sisiku, menemani dan merawatku. Namun, aku harus sadar bahwa aku hanya bisa berharap pada lelaki yang akan segera menikahi wanita lain.
“Permisi. Sudah sarapan?” Seorang dokter dan perawat datang memeriksa kondisiku pagi ini.
“Sudah, Dok. Baru saja.”
“Masih terasa pusing?”
“Ti—eh, iya, Dok. Aduh, kepala saya masih terasa sakit, Dok,” keluhku berpura-pura. Nyaris saja aku kelepasan bicara. Bisa-bisa aku diperbolehkan pulang hari ini.
“Obatnya sudah diminum?”
“Yang pagi ini belum, Dok.”
Pria paruh baya berkacamata itu mengangguk.
“Kita periksa dulu, ya,” ujar dokter itu.
Perawat yang menemaninya mengecek tensi darahku.
“Tensinya 110/90, Dok.”
Lagi-lagi dokter itu mengangguk, lalu memakai stetoskop untuk memeriksaku.
“Semuanya bagus. Obatnya nanti diminum, ya.”
“Jadi, saya belum boleh pulang hari ini, Dok?” tanyaku. Berharap dokter menjawab tidak.
“Sudah bisa. Tapi nanti pukul 11.00 harus dipastikan lagi.”
“Oh, iya, Dok. Dirawat satu hari lagi juga tidak apa-apa, Dok. Saya mau benar-benar sembuh. Di rumah juga tidak ada siapa-siapa. Lebih baik dirawat di sini,” ujarku panjang lebar. Dokter dan perawat itu malah tertawa.
“Ya sudah kalau begitu. Semoga besok sudah benar-benar sehat. Semangat, ya!” ucap dokter.
“Terima kasih, Dok, Sus.”
Kedua petugas medis itu pun keluar dari kamar ini. Akhirnya aku bisa menginap satu malam lagi di rumah sakit ini.
Aku kembali mengambil ponsel dan membaca pesan-pesan yang masuk. Segera kukirimkan pesan kepada Lesti bahwa aku masih harus dirawat satu hari lagi di rumah sakit.
[Bukannya lo bilang udah bisa pulang hari ini, Ay? Kondisi lo separah apa, Ay? Duuh, mana gue tadi pagi gak sempat jenguk lo lagi di rumah sakit.] balas Lesti.
[Udah. Lo tenang aja. Gue cuma masa pemulihan aja di sini. Ketimbang di rumah entar pala gue sakit lagi? Mending gue tiduran di rumah sakit.]
[Aneh lo, Ay. Orang-orang pengen cepat keluar dari rumah sakit, elo malah kayak yang nyaman gitu.]
Aku tertawa membaca balasan pesan Lesti. Mana mungkin aku nyaman berada di rumah sakit? Kalau bukan demi Devian, aku juga bakal milih pulang hari ini.
[Udah, fokus kerja lagi, sana! Balesin chat gue mulu, entar lo disemprot si monster lagi.]
[Iya, nih. Gue udah mulai diliatin sama Pak Rendra. Lo istirahat, ya. Pulang kerja gue ke sana.]
[Oke. Met kerja.]
Setelah saling berbalas pesan dengan Lesti, sekarang aku bingung harus apa di dalam ruangan yang terasa pengap ini meski pendingin ruangan terus menyala. Aku pun memutuskan untuk keluar kamar dan berjalan-jalan di sekitar sini.
Sambil membawa tiang penyangga kantong infus, aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit hingga tiba di halaman depan. Taman kecil dengan miniatur air mancur membuat pandangan dan suasana hati kembali cerah.
Aku duduk di sebuah kursi kayu panjang bercat putih untuk menikmati udara segar pagi ini.
Setengah jam sudah aku duduk di sana, dan kini punggungku terasa lelah. Aku ingin berbaring lagi di brankar.
Setelah kembali, aku pun menyalakan televisi untuk menghilangkan rasa bosan. Tak sengaja aku membuka siaran infotainment yang menayangkan berita tentang Bella dan Devian. Keduanya sedang fitting baju pengantin.
Dua sejoli itu tampil mesra di depan para wartawan. Bella tampak sangat cantik mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu. Aku jadi iri dibuatnya. Seharusnya, aku yang berada di posisinya saat ini, bukan malah terbaring lemah di brankar rumah sakit.
Terlebih, lengannya yang dengan mesra merangkul lengan Devian, lelaki yang sudah menjalin hubungan selama enam tahun denganku, membuatku terbakar cemburu.
Senyum Devian di layar televisi membuat dadaku sesak. Aku tidak tahu apakah itu hanya senyum pura-pura, atau dia memang senang akan bersanding dengan seorang model cantik di pelaminan?
Semakin aku menonton berita tentang mereka, semakin sakit terasa di d**a. Segera kumatikan televisi agar tidak melihat lagi wajah keduanya.
Hatiku benar-benar sakit. Aku tak mampu lagi menahan air mata yang terus mendesak keluar. Kutumpahkan tangis sepuasnya di ruangan ini.
Devian, tega sekali dia berbuat seperti ini padaku. Aku merasakan cintanya selama enam tahun ini meski Devian sedikit egois. Namun, mengapa ia tak pernah berniat menikahiku?
Aku menangis sesenggukan hingga merasa sedikit tenang. Kuhapus air mata dan mencoba untuk kuat.
Tiba-tiba ponselku berdering. Nama Devian tertera sebagai pemanggil. Mengapa dia bisa meneleponku sekarang? Apakah rapatnya selesai secepat itu?
Tanpa ragu segera kuangkat telepon darinya.
“Ay, katakan kamu di mana?” Suara Devian terdengar pelan dan ditahan.
“Kamu udah selesai rapat?”
“Jangan alihkan topik!”
“Aku ... di rumah sakit.”
“Rumah sakit? Kamu kenapa?” Suara Devian kali ini terdengar panik. Aku senang mendengarnya. Merasa Devian masih peduli padaku.
“Hanya kecelakaan kecil.”
“Astaga, Ay! Rumah sakit mana?”
“Harapan kita.”
“Oke. Selesai rapat aku langsung ke sana.”
Telepon langsung dimatikan tanpa menungguku bicara. Mungkin dia mencuri-curi waktu di sela-sela rapat. Aku hanya perlu menunggunya menemuiku di sini.
Pukul 10.15 Devian datang sesuai janjinya. Wajahnya yang terlihat panik saat membuka pintu kamar ini, membuatku sulit menyembunyikan senyum.
“Ay! Apa yang terjadi?” tanyanya sambil memelukku. Pelukan yang akhir-akhir ini kurindukan. Pelukan yang terasa memberikan cinta dan perhatiannya padaku.
“Hanya kecelakaan kecil,” jawabku.
“Kecelakaan kecil bagaimana? Dan kenapa mobilmu ada di kantor?” cecarnya seraya melepas pelukan.
Haruskah kuceritakan padanya bahwa aku pergi bersama manajer baru itu untuk membeli kado pernikahan untuknya?
Tidak mungkin! Devian sangat posesif. Ia pasti cemburu dan marah jika tahu aku pergi berdua saja dengan lelaki lain, meski itu atasanku di kantor. Tak ada bedanya denganku saat berjalan dengan Devian, yang juga atasanku.
“Ay, kenapa diam? Jelaskan padaku apa yang terjadi?” Devian duduk di tepi brankar. Ia membantuku untuk duduk dan bersandar.
“Sepulang kerja kemarin, aku berniat mencari kado pernikahanmu naik taksi online. Tiba-tiba terjadi kecelakaan hingga aku tak bisa kembali lagi ke kantor.”
“Yakin?” Wajah Devian tampak tak percaya dengan ceritaku.
Aku hanya mengangguk.
“Kenapa kamu tidak naik mobil sendiri saja? Dan lagi, aku tidak butuh kado pernikahan darimu, Ay. Aku hanya ingin kamu tetap seperti dulu. Bersamaku ....”
Devian mulai memasang wajah memelasnya. Aku tak ingin terus seperti dulu, Dev. Aku ingin kamu membuktikan cintamu dengan menikahiku.
Sayangnya, kalimat itu hanya mampu kukatakan di dalam hati.
“Aku mungkin tak bisa lagi seperti dulu, Dev. Kamu sudah mau menikah. Aku tak ingin dicap sebagai simpanan, wanita yang merusak rumah tangga orang lain.”
“Lalu kamu mau bagaimana, Ay?”
Aku menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri memberikan dua pilihan untuknya.
“Kamu batalkan pernikahan dengan Bella, atau lepaskan aku.”
Raut wajah Devian mendadak berubah. Rona sedih yang tadi terpancar jelas, kini terlihat sangat marah.
“Aku tak akan memilih satu pun!”
“Kamu memang egois, Dev!” Aku mulai emosi mendengar jawabannya. Dia benar-benar hanya mengikuti keinginannya sendiri.
“Ya. Aku egois! Karena aku mencintaimu, Ay. Aku tidak mau melepasmu!”
“Tapi kenapa kamu tidak pernah mau melamarku, Dev? Dan sekarang, hanya tinggal beberapa hari saja kamu akan menjadi suami orang lain. Kamu anggap aku apa? Kamu tidak pernah sekali pun memikirkan perasaanku!”
Dadaku bergemuruh. Kedua maraku juga terasa panas. Bulir-bulir air mata yang menggenang di kelopak mulai mengganggu pandanganku.
“Mau berapa kali aku katakan, Ay? Pernikahanku dengan Bella hanya sebatas bisnis.”
Aku tak meresponsnya. Air mataku mulai mengalir.
“Ay ... maafkan aku.” Devian meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Pelukan hangat yang membuatku merasa diperhatikan dan dilindungi.
Hanya dari Devian aku bisa merasakan cinta, kehangatan, perhatian, dan kenyamanan. Sejak kecil, aku tinggal di panti asuhan. Aku tidak merasakan kasih sayang dan pelukan dari orang tua yang telah meninggalkanku di sana.
Aku tumbuh tanpa kasih sayang hingga aku bertemu dengan Devian. Dia memberikan warna yang berbeda dalam hidupku. Dia memberikan cinta, yang tak pernah kudapatkan sejak kecil.
“Dev, temani aku malam ini di sini,” pintaku.