Jangan Temui Dia

1067 Kata
Ya ampun! Kenapa mereka semua memandangku seperti itu? Apa yang salah kalau aku membantu Pak Rendra yang sedang muntah karena mabuk laut? Duuh, aku jadi merasa malu dan canggung. Jika bisa, rasanya ingin aku melompat ke laut dan berenang kembali ke tempat di mana bus kami berhenti. Aku pun terus berjalan ke tempat dudukku semula, di samping Lesti. “Napa lo senyum-senyum gitu, Les?” tanyaku sewot. Dia sama saja dengan yang lainnya. “Cocok!” jawabnya singkat diikuti tawa kecil yang ditahan. “Apanya?” “Lo sama Pak Rendra.” “Apaan, sih? Orang gue Cuma bantu dia aja, kok.” “Lebih juga gak apa-apa, kok ...,” godanya. Aku hanya menggeleng-geleng dan menarik napas, lalu kembali memandang hamparan laut biru yang luas. Sesekali aku melirik ke belakang, tempat Pak Rendra duduk. Sepertinya ia sudah mulai baikan. Lelaki itu bersandar sambil memejamkan mata. Kacamata hitam yang ia kenakan tadi, ia gantungkan di kerah kausnya. “Ciee, yang melirik. Kalau khawatir, pindah aja sono. Gue gak apa-apa sendiri,” ujar Lesti. “Apaan, sih? Gue ngeliat laut, juga.” “Laut apa laut?” Lesti tak henti-hentinya menggodaku. Dua jam pun berlalu. Kapal yang kami tumpangi kini sudah terparkir di tepi. Ada satu kapal lainnya yang juga baru saja menepi. Kapal itu mengangkut orang-orang yang memiliki jabatan tinggi di Vent Group. Seharusnya Pak Rendra naik ke kapal itu bersama petinggi lainnya. Namun, entah apa alasannya dia malah ikut dengan para staf sejak di jalur darat. Satu per satu para staf turun dari kapal ini. Ketika aku turun, kakiku tersandung. Aku nyaris terjatuh, tetapi seseorang menahan tubuhku dari belakang. Pak Rendra dengan sigap membantuku berdiri tegak. “Hati-hati,” ucapnya. “Terima kasih.” Aku kembali turun. Sesampainya di daratan, aku melihat Devian di dekat kapal yang lain sedang memperhatikanku. Ia menatap tajam dan tampak marah. Aku hanya bisa menarik napas atas kondisi ini. Apa pun yang kulakukan rasanya selalu salah di mata Devian. “Ayo, Ay!” Lesti menggamit lenganku menuju rombongan. Kami tiba di sebuah vila yang diketahui milik orang tua Devian. Vila yang sangat luas, asri, bernuansa putih, dan sangat nyaman. Kami menuju kamar yang sudah ditentukan, lalu berkumpul untuk mendengar sambutan dari para petinggi Vent Group di halaman vila. Setelahnya, acara bebas untuk sore ini. Kami bisa melakukan apa saja sore ini. Sebagian memilih beristirahat di kamar masing-masing, sebagian lagi memilih mencemplungkan diri ke laut. Sedangkan aku dan Lesti memilih untuk berjalan-jalan di tepian pantai hingga matahari terbenam. Malam harinya, semua tampak bergembira menikmati acara barbeque, terkecuali satu orang yang kulihat hanya duduk memperhatikanku sejak tadi. Sedangkan aku, sedang memanggang makanan bersama beberapa orang karyawan wanita lainnya. Devian. Ia terus saja melihat ke arahku, membuatku tidak leluasa bergerak dan merasa risi. Sejak dia memberikan kunci apartemen padaku, kami tak lagi berkomunikasi lewat pesan ataupun telepon. Sekarang, dia memandangku dengan raut cemburu. “Au!” pekikku refleks. Karena tak konsentrasi, tak sadar tanganku menyentuh alat pemanggang yang sangat panas. Rasanya perih sekali. “Lo gak apa-apa, Ay?” tanya Lesti. Aku melirik ke tempat Devian. Lelaki itu berdiri dan tampak khawatir. Dia mungkin ingin sekali menghampiri dan mengobati lukaku. Namun, tidak mungkin baginya melakukan itu. Aku merasa sedih atas kondisi hubungan kami saat ini. Entah mau sampai kapan seperti ini. “Ay? Lo kenapa, sih?!” tegur Lesti. Aku pun tersadar dan menatapnya. “Jangan ngelihatin Devian mulu!” bisiknya di telingaku. Ternyata sahabatku itu menyadari ke mana arah pandang dan pikiranku. “Tunggu di sini. Gue ambilin odol dulu,” pintanya. “Tidak perlu! Odol bisa menyebabkan iritasi.” Pak Rendra menghampiri kami. Ia langsung meletakkan sebuah handuk kecil yang basah di tanganku. Aku meringis menahan nyeri. “Tahanlah sedikit. Ini akan meringankan sakitnya,” ucap Pak Rendra. Aku mengangguk, sedangkan Lesti hanya mematung di tempatnya sambil tersenyum-senyum ke arahku. Aku kembali melirik ke arah Devian. Lelaki itu sudah tidak ada lagi di tempat ia berdiri tadi. Kuedarkan pandangan dan melihatnya berjalan meninggalkan acara barbeque ini. Apakah dia cemburu karena Pak Rendra menghampiriku? Dev, aku bisa apa jika sudah begini? “Duduklah. Jangan dilanjut lagi. Biarkan yang lain saja,” pinta Pak Rendra. Aku menurut dan duduk di sebuah kursi sambil memegangi handuk yang menutupi luka di tanganku. “Biarkan lima belas menit. Kalau masih sangat nyeri, akan kucarikan parasetamol,” ujar Pak Rendra. “Terima kasih, Pak,” ucapku, yang dibalas anggukan olehnya. Kulihat orang-orang di sini memperhatikan aku dan Pak Rendra. Aku mengela napas dan pasrah atas apa yang akan terjadi berikutnya antara aku dan Devian. “Kenapa?” tanya Pak Rendra, yang mungkin melihatku seperti menahan suatu beban. Aku hanya menggeleng. “Dia sudah pergi. Pasti karena cemburu,” ucap Pak Rendra dengan entengnya. Ingin sekali aku menendang kaki lelaki ini, jika saja tak ada orang lain di sini. Juga akan kulempar handuk itu ke wajahnya! Apakah dia membantuku mengobati luka hanya untuk membuat Devian cemburu? Lelaki itu justru tersenyum puas melihatku yang sangat kesal padanya. Ponselku berbunyi, sebuah notifikasi pesan masuk. Devian mengirimiku pesan singkat. [Temui aku di belakang vila. Kamu bisa keluar dari pintu belakang.] Aku pun berdiri dan berjalan untuk menemui Devian. Tetapi Pak Rendra menahan tanganku. “Menemuinya?” tanyanya. Aku tak ingin menjawab. Kutarik tanganku agar terlepas dari genggamannya. “Kamu tidak boleh menemuinya!” larang Pak Rendra dengan sorot mata tajamnya yang penuh kemarahan. Aku tak peduli dengan apa pun yang dia katakan. Kakiku terus melangkah menuju vila. “Mau ke mana, Ay?” tanya Lesti. “Toilet,” jawabku singkat dan berjalan terburu-buru. Di dalam vila, aku sedikit kesulitan mencari pintu belakang bangunan itu. Akhirnya ketemu juga meski sedikit lama. Aku pun segera keluar dan menutup kembali pintu itu, lalu berjalan mencari Devian. Aku tidak melihatnya di mana pun. Di mana dia menungguku? Kucoba untuk meneleponnya. Namun, baru saja hendak memencet tombol panggilan, seseorang membekap mulutku dari belakang. Siapa ini? Devian tidak mungkin melakukan ini padaku. Aku ingin berteriak minta tolong, tetapi tangan ini begitu kuat membekap mulutku. Aku mencoba meronta untuk melepaskan diri, tetapi seseorang tiba-tiba memegang kedua pergelangan kakiku. Seorang lelaki yang mengenakan penutup wajah. Siapa orang-orang ini? Apa yang mau mereka lakukan padaku? Oh Tuhan, tolong aku. Aku begitu takut hingga air mataku mengalir. Aku pun terangkat seperti sebuah ayunan. Mereka terus berusaha membawaku menjauh dari vila meski aku terus meronta. Ada sebuah mobil tak jauh di depan sana. Tidak! Mereka pasti mau menculikku. Devian, Pak Rendra! Tolong aku!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN