Aku hanya bisa menangis dan menjerit dalam hati. Siapa orang-orang ini dan ke mana mereka akan membawaku pergi?
Di saat kalut dan takut seperti itu, tiba-tiba terdengar suara yang tak asing lagi bagiku.
“Berhenti!” teriaknya. Aku sangat yakin itu suara Pak Rendra.
Kedua orang yang mengangkatku spontan berhenti, lalu menoleh ke sumber suara, dari belakang pintu vila.
“Ayo cepat!” ucap lelaki memegang kakiku pada temannya.
“Mereka semakin cepat berjalan membawaku menuju mobil yang terparkir tak jauh lagi dari sini. Saat sudah tiba di dekat mobil itu, mereka menurunkanku dan memaksaku masuk ke mobil. Mereka melempar tubuhku dengan kasar ke dalam hingga kepalaku membentur pintu. Pintu ditutup dengan sangat keras.
Sambil meringis, aku mendengar suara perkelahian di luar. Segera aku melihat sambil menahan sakit.
Pak Rendra! Dia berkelahi dengan kedua lelaki bertopeng itu.
Hatiku merasa cukup lega akan kehadirannya. Namun, aku harus segera keluar dari mobil ini. Segera kubuka pintu dan keluar dari mobil.
Pak Rendra menendang perut salah seorang dari mereka hingga tersungkur. Sedangkan satu orang lainnya, berusaha bangkit sambil memegangi perutnya.
Pak Rendra berjongkok di depan lelaki yang terlihat menahan sakit itu, lalu membuka penutup wajahnya.
“Siapa yang menyuruh kalian?” bentak Pak Rendra seraya menekan kedua pipi lelaki itu. Namun, lelaki itu hanya diam.
“Cepat katakan!” teriak Pak Rendra, diikuti oleh sebuah pukulan dari tangannya ke wajah lelaki itu.
Aku refleks memekik dan menutup mulut dengan kedua tangan melihat kejadian itu.
Pak Rendra terus memaksa, tetapi orang asing itu masih saja menutup mulut.
Satu orang lainnya yang sudah berdiri, terlihat hendak menyerang Pak Rendra dari belakang.
Oh, tidak! Aku segera berlari untuk menghalang orang itu.
“Pak, awas!” teriakku yang sudah berada di dekat mereka.
Pak Rendra berbalik. Namun, lelaki yang hendak menyerang itu sudah mengangkat kakinya.
Tendangan orang itu nyaris saja menyentuh tubuhku jika Pak Rendra tidak sigap menjadikan dirinya sebagai tameng.
Kami berdua pun terjatuh di tanah.
“Ayana!” Sebuah teriakan membuat kami menoleh.
Devian? Kenapa dia baru kelihatan sekarang?
Kedua pria asing itu pun langsung masuk ke mobil dan melarikan diri.
“Kamu tidak apa-apa, Ayana?” tanya Pak Rendra.
Posisi kami terbaring miring saling berhadapan. Jarak antara wajah kami juga begitu dekat, hingga aku bisa melihat dengan jelas raut khawatir dari sorot matanya, meski lampu di belakang vila ini tidak begitu terang.
Jantungku berdebar-debar setiap kali berada dalam situasi canggung seperti ini.
Aku pun mengangguk sebagai jawaban. Niat ingin menghalau orang asing itu untuk melindungi Pak Rendra, yang terjadi justru sebaliknya.
Lelaki di hadapanku ini berdiri, lalu membantuku.
“Ayana, kamu tidak apa-apa? Apa yang terjadi?” tanya Devian setelah mendorong Pak Rendra dengan kasar. Aku bisa melihat kekhawatiran yang besar di matanya terhadapku.
Aku menepis kasar tangan Devian di pundakku dan menatapnya penuh kemarahan. Ini semua tidak akan terjadi jika dia tidak memintaku bertemu di tempat ini.
Aku pun menghampiri Pak Rendra.
“Bapak tidak apa-apa?” tanyaku yang khawatir padanya. Punggungnya mengenai tendangan lelaki tadi saat melindungiku.
“Ayana, ada apa sebenarnya?” Devian menarik tanganku.
“Kamu masih bertanya apa yang terjadi?” tanyaku sinis. Aku berusaha melepas tanganku, tetapi cengkeraman Devian begitu kuat.
“Lepaskan!” Pak Rendra menarik tangan Devian dari tanganku.
“Kenapa Anda di sini, Pak Manajer?” tanya Devian dengan sinis.
“Bagaimana dengan Anda sendiri, Pak Direktur?” balas Pak Rendra tak kalah sinis.
Devian tampak bingung. Dia jelas tak ingin Pak Rendra tahu hubungan kami. Di luar dugaannya, lelaki itu justru sudah lama tahu dan bahkan melarangku berhubungan lagi dengannya.
“Ayo, Ayana!” Pak Rendra merangkul pundakku.
Kami pun berbalik hendak kembali ke vila. Namun, tiba-tiba Devian menarik tangan Pak Rendra dari pundakku.
“Jauhkan tanganmu darinya!” pekik Devian sambil melayangkan tinju ke wajah Pak Rendra.
Aku sangat terkejut dengan kejadian mendadak ini. Pak Rendra mengusap tepi bibirnya yang berdarah.
Lelaki itu seketika membalas serangan Devian. Satu sama. Bibir Devian juga mengeluarkan darah. Sementara, aku hanya bisa mematung dengan kaki gemetar melihat kedua lelaki itu saling melayangkan tinju.
“Itu untuk Ayana,” ucap Pak Rendra pada Devian. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Tapi, aku tak menyangka Pak Rendra akan seberani itu melawan Devian. Apakah dia tidak takut dipecat secara tidak hormat dari Vent Group?
Devian hendak kembali membalas. Aku segera berdiri di antara mereka yang sudah bersiap melayangkan pukulannya masing-masing.
“Berhenti!” teriakku. Gemuruh di dadaku rasanya sudah sampai ke ubun-ubun. Baru saja selamat dari dua orang jahat yang ingin menculikku, kini aku harus melihat dua lelaki itu saling beradu.
Aku menoleh ke kanan dan kiri bergantian, melihat Devian dan Pak Rendra dengan wajah memelas.
“Tolong hentikan,” pintaku yang diiringi air mata yang tak lagi tertahan.
“Ay ....” Devian hendak meraih tanganku, tetapi dengan cepat aku menolaknya.
“Ayo, Pak,” ucapku pada Pak Rendra, tanpa memedulikan Devian yang memandangku dengan penuh tanda tanya di raut wajahnya.
Pak Rendra lalu menggandeng tanganku masuk kembali ke vila dari pintu belakang. Aku menoleh ke belakang untuk melihat Devian. Lelaki itu mematung melihatku menjauh, dengan raut wajah yang seperti sedih bercampur marah, dan bingung.
Hatiku benar-benar sakit. Di mana dia saat memintaku menemuinya di belakang vila? Ataukah ini memang rencana Devian, menyuruh orang menculikku untuk menjauhkanku dari Pak Rendra?
Pak Rendra memintaku duduk di sofa yang ada di ruang tengah vila ini. Ia lalu bangkit dan mencari-cari sesuatu. Pak Rendra mengeluarkan kotak P3K dan meletakkannya di meja. Ia kembali berjalan menuju dapur. Aku tidak tahu apa yang ia cari lagi.
Tak lama ia kembali dengan sebuah mangkuk berisi air dingin dan kain.
Pak Rendra memeras kain itu, lalu mengarahkannya ke keningku. Aku menahan tangannya.
“Untuk apa, Pak?” tanyaku heran mengapa ia mau mengompresku.
Ia lalu menekan kening sebelah kanan. Refleks aku memekik kesakitan. Akhirnya aku diam saja saat kain itu ditekan-tekan lembut ke keningku yang terbentur pintu mobil.
Aku melihat sisa darah di sudut bibirnya. Tanpa sadar tanganku terangkat dan mengusapnya.
Seketika Pak Rendra berhenti menekan kain di keningku. Ia menatapku lembut, sangat lembut. Hingga aku terhipnotis untuk menatapnya tanpa berkedip.
Perasaan apa ini? Jantungku berdebar-debar kencang. Aku sampai menelan ludah dengan situasi canggung ini. Mengapa Pak Rendra menatapku seperti itu?