Suasana kerja di ruangan divisi keuangan ini benar-benar seperti kuburan. Hening. Tak ada seorang pun staf yang berani bersuara.
Suara keyboard yang terus menerus ditekan oleh jari-jemari staf untuk memasukkan data-data keuangan ke dalam file di komputer, terdengar nyaring di ruangan senyap ini. Jarum jam di dinding pun ikut mengambil bagian mengisi kekosongan suara di ruangan yang terasa pengap dan menyeramkan. Padahal pendingin ruangan berfungsi dengan baik dan lampu-lampu juga menyala terang.
Suara sepatu pansus yang beradu dengan lantai di depan pintu ruangan pun bisa kami dengar dengan jelas. Tak lama terdengar suara ketukan pintu, disusul suara deret pintu yang terbuka.
Aku sedikit menoleh untuk melihat siapa yang datang ke ruangan kami. Devian. Apa lagi yang akan diumumkannya kali ini?
“Wah, hening sekali, ya,” kelakarnya sambil berjalan menuju meja manajer. Pandangan kami beradu sejenak saat ia melirik ke arahku ketika berjalan melewati mejaku. Lalu seperti biasa, ia bersikap seolah-olah tak mengenalku. Sungguh pintar ia bersandiwara.
“Jangan terlalu serius, Pak Rendra. Santai saja agar ruangan ini tidak terasa seperti kuburan.”
Suara Devian menggema di seluruh sudut ruangan. Kulihat Pak Rendra hanya menatapnya tajam tanpa suara.
Devian sepertinya paham kalau manajer baru itu bukan orang yang senang berbasa-basi. Ia langsung mengubah sikapnya menjadi tampak serius.
“Malam ini saya ingin mengajak Pak Rendra makan malam sebagai penyambutan dari saya,” ucapnya kemudian dengan suara yang sedikit dipelankan. Aku masih bisa mendengarnya karena mejaku terletak tak jauh dari meja manajer.
“Baiklah. Terima kasih,” jawab manajer baru itu.
“Kalian semua juga ikut. Malam ini kita makan sepuasnya di tempat biasa!” Devian mengeraskan suaranya agar semua staf keuangan di ruangan ini mendengar.
Spontan sorak para staf pun terdengar. Ruangan yang tadinya hening menjadi ramai kembali seperti sebelum Pak Rendra bekerja di sini. Semua staf memang sangat senang jika Devian sudah mengajak makan malam. Sebab, kami bisa makan apa saja sepuasnya di restoran mahal, tempat para pejabat perusahaan menikmati makan malamnya yang mewah.
“Begitu saja, Pak Rendra. Selamat bekerja,” tutup Devian sebelum meninggalkan manajer baru itu menuju pintu ruangan. Ia kembali melirikku sejenak dengan tatapan datar, dan berlalu meninggalkan ruangan ini.
Aku menoleh melihat Pak Rendra di tempatnya. Deg! Jantungnya serasa dipukul keras, di saat yang bersamaan ia menatapku dengan tatapan elangnya yang begitu tajam. Aku tak berani berlama-lama melihat tatapan membunuh itu. Segera kutundukkan pandangan dan menyibukkan diri dengan berkas-berkas di meja.
Misterius sekali manajer baru ini. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan tentangku setelah mengetahui hubunganku dengan Devian di ruang rapat kemarin.
***
Devian sudah memesan sebuah meja panjang di restoran mewah ini untuk kami semua. Ia mengajak Pak Rendra duduk di sebelahnya. Kamu duduk dalam meja yang sama. Tak ada perbedaan yang tampak antara direktur dan para staf jika Devian mengajak kami makan malam di luar.
Devian memang tampak berwibawa, tetapi ia terkenal sangat ramah dan bersahabat dengan semua karyawan di Vent Group. Itulah salah satu hal yang membuatku begitu mencintainya. Ia tampak sangat berbeda dengan para petinggi-petinggi perusahaan lainnya yang tampak angkuh dan tak bersahabat dengan para karyawan seperti kami.
“Pesanlah apa pun yang kalian mau,” ucap Devian membuka percakapan di makan malam ini.
Seperti biasa, semua rekan kerjaku pun bersorak dan mulai memilih makanan apa saja yang ingin mereka makan.
Aku melihat daftar menu yang biasanya tampak sangat menggiurkan. Namun, malam ini semua makanan itu tak membuat nafsu makanku muncul. Duduk bersama Devian yang tak lama lagi akan menjadi suami dari wanita lain, membuatku tak bersemangat menikmati jamuan mewah ini. Apalagi, sosok di sampingnya yang sejak tadi melihatku dengan tatapan tajam.
Pak Rendra, ia berkali-kali melirik, bahkan terang-terangan menatapku dengan tatapan tajam. Aku merasa tersudut dan tidak nyaman dengan sikapnya itu. Suasana makan malam bersama rekan kantor malam ini benar-benar kurasakan berbeda. Tidak menyenangkan dan membuatku kenyang seketika. Jika boleh memilih, aku ingin pulang saja dan menghabiskan malamku dengan beristirahat. Aku ingin sejenak bebas dan melupakan semua hal yang terjadi padaku akhir-akhir ini.
“Ay! Pesen apa? Buruan!” Siku Lesti menyenggol lenganku. Aku sedikit terkejut karena tidak fokus. Hanya memandang kosong pada daftar menu, tetapi pikiranku melayang entah ke mana.
“Sama aja kayak lo,” jawabku sambil menutup buku menu. Aku tak tahu apa yang dipesan Lesti. Bagiku, semua makanan mewah di restoran ini sama malam ini. Sama-sama hampa, seperti kehidupanku.
Aku melirik sekilas ke arah Devian. Tak disangka ia juga sedang melihatku, dengan tatapan yang seolah-seolah bertanya-tanya akan sikapku. Sementara, Pak Rendra sudah tak lagi melihat atau melirik ke arahku. Lelaki itu tampak sibuk dengan ponselnya.
Aku pun mengambil ponsel dari dalam tas untuk menghindari tatapan Devian. Kubuka aplikasi Google untuk mencari foto-foto taman buah. Aku menyukai taman-taman seperti itu, dengan beraneka macam buah berwarna-warnai. Meski hanya foto, tetapi bisa sedikit membuat hatiku merasa lebih tenang. Aku pun tak lagi menghiraukan pandangan dari dua lelaki yang duduk bersampingan itu. Suara-suara dan tawa rekan kerja pun seolah-olah menghilang saat aku begitu fokus dengan foto-foto taman buah yang ada di Google hingga pesanan kami sudah tersedia semua di meja.
Ada begitu banyak jenis makanan di meja ini. Semua staf keuangan memang tidak pernah menyia-nyiakan momen seperti ini. Mereka benar-benar memanfaatkannya dengan baik untuk menikmati makanan dari restoran mewah secara gratis.
Aku sendiri masih seperti yang tadi, tidak berselera makan meski makanan ini terlihat sangat lezat. Aku menyeruput jus jeruk hingga habis setengah gelas. Lalu, permisi untuk ke toilet.
“Belum makan sudah ke toilet?” tanya Devian.
“I-iya, Pak,” jawabku sedikit gugup. Aku tahu dia heran dengan sikapku malam ini.
Tanpa menunggu lagi, aku pun berlalu meninggalkan meja. Kutatap wajahku di cermin besar dalam toilet. Tampak sangat kusut. Terlihat seperti orang yang memiliki beban hidup begitu berat.
Aku pun merapikan rambut, memakai bedak dan mengoles lipstik agar wajahku tampak lebih cerah. Kutarik kedua sudut bibir ke atas untuk mencipta senyum agar wajahku tampak semakin ceria, meski hatiku terasa gelap. Dan aku siap kembali ke meja, bergabung dengan yang lain.
“Berdandan?”
Aku tersentak mendengar suara saat berjalan di lorong depan toilet. Aku menoleh dan terkejut melihat Pak Rendra bersandar di dinding dengan kedua tangan dilipat di d**a. Apakah sejak tadi ia berada di sana?
“Ingin selalu tampik cantik di depan direktur?” tanyanya dengan nada sinis. Ia kini berjalan mendekatiku. Aku enggan menanggapinya.
“Maaf, di luar jam kerja, Anda bukan atasan saya dan saya tidak harus menanggapi pertanyaan Anda.”
“Kalau dibayar per malam?”
Pertanyaannya membuatku yang sudah melangkah, kini berhenti dan kembali menatapnya. Jantungku terasa berpacu kencang mendengar pertanyaan itu darinya. Dia benar-benar membuat emosiku naik keubun-ubun.
Napasku memburu menatapnya yang semakin berjalan mendekatiku.
“Kenapa? Bukankah kamu memang simpanan direktur? Apa aku bisa memakaimu?”
‘Plak!’
Refleks tanganku mendaratkan tamparan di pipinya. Kalimatnya benar-benar keterlaluan. Hatiku benar-benar sakit dibuatnya.
“Sebaiknya Anda tutup mulut jika tidak tahu apa pun!” tukasku sebelum berjalan cepat meninggalkannya.
Aku langsung berpamitan pada Devian dan rekan kerja untuk segera pulang dengan alasan tidak enak badan. Tanpa menunggu jawaban Devian, kulangkahkan kaki lebar-lebar meninggalkan tempat itu. Kuhiraukan semua tatapan aneh para staf keuangan saat memandangku, yang mungkin tampak lebih kusut dari sebelumnya.
Tak cukup Devian yang membuat hatiku hancur, mengapa muncul lagi seseorang yang begitu benci denganku?
***