Surat undangan berwarna gold itu membuat heboh seisi kantor. Pasalnya, tak seorang pun di perusahaan ini yang mengetahui kisah asmara Devian dengan wanita yang akan dinikahinya. Wanita yang ternyata seorang model terkenal bernama Bella.
Mendadak, ruangan terdengar riuh dengan bisik-bisik karyawan tentang pernikahan itu. Aku hanya bisa menghela napas. Sakit! Bukankah seharusnya namaku yang bersanding dengan Devian di surat undangan itu?
Seseorang membuka pintu dan memasuki ruangan dengan wajah datar, seolah-olah tak ada sesiapa pun di ruangan ini. Aku memperhatikannya dengan saksama hingga tubuh jangkung si pemilik mata elang itu duduk di ‘singgasana’nya.
Ia tampak menoleh ke meja bagian samping, memperhatikan sesuatu. Tangannya lalu mengangkat surat undangan berwarna gold itu. Oh, tidak! Surat undangan itu ia lempar ke tempat sampah! Benar-benar tidak menghargai atasannya!
Ia berdiri dan mulai meninggalkan meja kerjanya. Mau ke mana manajer baru itu? Langkahnya semakin dekat ke mejaku. Astaga! Apa dia tahu kalau dari tadi aku memperhatikan gerak-geriknya?
Sebelum kena semprot, aku segera membuka file di komputer dan mengerjakan pekerjaanku. Namun … embusan napas di dekat telinga membuat detak jantungku mendadak kencang.
“Fokus saja dengan pekerjaanmu jika tidak ingin dipecat!”
Pelan, tetapi cukup mengintimidasi. Aku benar-benar terkejut dan nyaris tak bernapas sesaat dibuatnya. Aku bahkan tak berani menoleh ke arah lelaki yang kini telah meninggalkan ruangan. Benar-benar tak terduga sikap manajer baru itu! Aku baru bisa bernapas ketika punggung lelaki monster itu tak terlihat lagi, seiring pintu yang tertutup rapat.
“Ay, Pak Rendra ngomong apa barusan? Kok pakai bisik-bisik? Bikin curiga aja, lo!”
Lesti, si bawel ini benar-benar membuat onar. Berkat ucapannya, semua karyawan menoleh ke arahku dan menatap penuh tanya.
“Apaan, sih? Orang diomelin juga!” gerutuku.
“Diomelin atau dibisikin something?” celetuk yang lain.
Aku malas meladeni mereka. Tidak ada habis-habisnya jika mereka sudah mulai menggoda teman satu kantor.
Aku kembali fokus dengan pekerjaan tanpa peduli dengan berbagai tanya dari bibir rekan kerjaku, yang terdenger seperti suara komponi lebah. Tiba-tiba suasana kantor kembali hening dan semua karyawan sibuk dengan berkas dan komputer di meja kerjanya. Aku menoleh ke belakang untuk melihat sesuatu yang membuat mereka mendadak diam.
Manajer kaku itu berdiri di pintu. Seketika tatapan kami beradu. Aku segera berpaling dan menyibukkan diri dengan berkas-berkas di meja. Tatapannya benar-benar tajam! Aku merasa ia hendak memakanku hidup-hidup.
“Letakkan berkas keuangan bulan lalu di meja saya!” perintahnya dengan tegas saat berada tepat di samping mejaku.
“I-iya, Pak!”
Tanpa menunggu jawabanku, manajer baru itu terus melangkah dan duduk di kursinya. Benar-benar kaku! Seperti monster. Setiap kali ia masuk ke ruangan ini, mendadak aura di sini terasa suram seperti rumah angker.
Segera kuambil berkas yang dimaksud di filling kabinet dan menuju mejanya.
“Ini berkasnya, Pak.” Kusodorkan map dengan kedua tangan di depan mejanya.
“Letakkan,” jawabnya singkat tanpa menoleh padaku sedikit pun. Ia tampak sibuk dengan berkas-berkas keuangan bulan ini.
Aku pun meletakkan berkas yang diminta di atas mejanya dan bergegas kembali ke meja kerjaku.
Suasana kerja di ruangan ini sangat berbeda dengan dua hari sebelumnya. Benar-benar hening layaknya kuburan, kecuali saat si monster ini meninggalkan ruangan.
Tatapan elangnya mampu membuatku dan seluruh karyawan di ruangan ini tak berani bersuara jika bukan urusan pekerjaan. Benar-benar terasa membosankan!
Jarum jam terus bergerak, mengisi heningnya ruangan ini. Tak terasa, waktu istirahat kantor tiba. Perut yang sudah minta diisi makanan ini pun mulai ‘menyanyi’. Segera kurapikan meja dan meninggalkan ruangan menuju kantin.
Baru saja menutup kembali pintu ruangan, Devian mendekatiku dan memberi kode dengan dagunya untuk mengikutinya ke suatu ruangan. Aku pun menurut. Permintaan Devian yang mana yang tak kuikuti? Aku sungguh lemah di hadapannya. Cinta membuatku menjadi wanita yang tak pernah berani menolak keinginan Devian.
Tanpa basa-basi, Devian menarik pinggangku begitu kami tiba di ruang rapat dan menutup pintu. Kini aku berdiri sangat dekat dengannya, bahkan tanpa jarak. Hanya wajah kami yang tidak menyentuh. Namun, bisa kurasakan hangat napasnya di wajahku.
Aku tahu apa yang akan dilakukan Devian jika sudah mengajakku ke ruangan ini. Perlahan ia semakin mendekatkan wajahnya. Namun, kali ini aku refleks memalingkan wajah sebelum kedua bibir kami menyatu.
Ia mengerutkan dahi menatapku.
“Kau menolak?” tanyanya dengan raut wajah yang tampak marah.
Ingin sekali aku menjawab agar ia menikahiku. Namun, aku tak bisa mengatakan apa pun saat ini. Hanya sakit yang terasa di hatiku, yang membuatku menatapnya dengan air mata berlinang di pelupuk mata. Sekuat tenaga kutahan agar tidak menangis di hadapannya.
“Kenapa?” tanyanya tanpa rasa bersalah. Aku meringis saat kedua tangannya mencengkeram lenganku.
“Kau tidak mencintaiku lagi?”
Bohong jika aku berkata tidak mencintainya. Namun, aku juga tak ingin hanya dijadikan boneka yang harus selalu menuruti keinginannya, tanpa bisa merasakan cinta yang sesungguhnya, dalam sebuah ikatan pernikahan.
Devian menempelkan satu tangannya di pintu, tepat di samping kepalaku hingga membuatku terkejut sekaligus takut. Ia tak pernah terlihat kasar seperti ini selama enam tahun menjalin hubungan denganku. Namun, kali ini ia menjadi sosok yang berbeda. Apakah karena aku menolaknya?
Tanpa kata Devian menarik pintu hingga membuatku hampir tersungkur. Ia keluar dari ruangan ini, meninggalkanku seorang diri, dengan luka di hati yang semakin menganga.
Aku luruh di lantai, merasakan nyeri di hati yang tak tahu apakah ada obatnya. Kupandangi lantai keramik tanpa peduli waktu makan siangku terus berjalan dan berkurang.
Devian, sampai kapan ia akan memperlakukanku seperti ini? Ia datang dan pergi sesuka hati. Aku hanya harus menurutinya. Pernahkah ia memikirkan perasaanku sedikit saja?
Pertanyaan yang selama ini tak pernah terbersit di pikiranku, kini meluap sudah. Aku mulai meragukannya, meragukan cintanya. Devian, apakah aku hanya boneka yang kau gunakan saat kau butuh?
Perasaanku semakin sakit memikirkan semua ini. Mataku memanas, seiring air mata yang jatuh berderai. Aku menangis, menumpahkan semua resah di d**a yang membuatku sesak.
“Berisik!”
Aku mendongak demi melihat sosok yang berbicara di ruangan ini. Aku terperangah melihat ia berjalan mendekat. Mungkin saat ini wajahku tampak aneh, mulut dan mata terbuka lebar dengan wajah yang basah.
Pak Rendra? Sejak kapan manajer baru itu ada di ruangan ini? Bukankah di sini hanya ada aku?
“Jelek sekali!”
Apa? Sudah dua kali ia mengataiku di ruangan ini. Aku pun segera menghapus air mata dan berdiri. Kami kini saling berhadapan. Ia terus menatapku tanpa berkedip.
“Ba-Bapak bisa teleportasi?” tanyaku gugup. Aku masih penasaran, di mana ia sejak tadi? Sedikit pun aku tak melihatnya.
Ia tampak ingin menertawaiku. Ya, mungkin pertanyaanku begitu bodoh. Mana mungkin manusia bisa teleportasi.
“Perhatikan sekeliling sebelum menciptakan skandal,” ucapnya. Entah mengapa, aku seperti mendengar getar kemarahan dari suaranya.
Skandal? Apakah dia melihat semuanya? Oh, tidak! Habislah sudah!
“Perhatikan posisimu!” tegasnya sebelum keluar dari ruangan ini, meninggalkanku yang tak mengerti apa maksudnya. Apa dia menghina, seorang staf biasa yang menjalin hubungan dengan direktur?
Tak ingin ambil pusing dengan manajer misterius itu—sudah cukup Devian yang membuatku pusing—aku pun menepis semua tanya di kepala. Kucoba memeriksa ruang rapat untuk memastikan tak ada orang lain lagi di ruangan ini. Namun, aku menemukan sebuah buku catatan kecil di sudut ruangan.
Mungkinkah ini punya Pak Rendra? Apakah sejak tadi ia berdiri di sini, di balik tirai ini? Pantas saja jika tidak kelihatan dari dekat pintu.
Ah, aku penasaran apa isi buku ini. Mungkinkah curahan hati lelaki dingin itu?
Tak kuasa menahan rasa penasaran, jariku perlahan membuka sampul buku berwarna navy ini. Namun, tiba-tiba aku dikejutkan dengan pintu yang dibuka dengan keras. Pak Rendra! Ia berjalan cepat ke arahku dan langsung merebut buku itu dari tanganku.
“Jangan mengambil yang bukan milikmu!” tegasnya padaku dengan tatapan tajam. Pelan, tetapi perkataannya membuatku tak bisa berkata-kata. Ia pun berlalu meninggalkanku di ruangan ini.
Mengambil yang bukan milikku? Aku hanya ingin tahu isi catatannya, mengapa ia sampai berkata begitu?
***