Aku melangkahkan kaki dengan kesal menuju gedung perkantoran tempatku bekerja. Kejadian semalam di depan toilet restoran sebenarnya membuatku enggan bekerja dan bertemu dengan atasan baru itu. Namun, aku tak ingin memiliki catatan buruk hanya karena izin tidak masuk tanpa keterangan yang jelas.
Kuharap manajer baru itu tidak masuk hari ini. Entah karena diare akut, terpleset di kamar mandi, tiba-tiba menghilang, atau pindah kerja ke perusahaan lain. Ah, aku sampai berpikir konyol hanya karena berharap tak melihat wajahnya.
Aku masih sangat marah padanya. Bisa-bisanya ia menganggapku sebagai w************n yang bisa dibayar untuk menemaninya satu malam. Benar-benar manusia yang tak tahu sopan santun.
Apakah dia sering mengunjungi wanita-wanita malam? Kalau dilihat dari penampilannya, sepertinya dia bukan tipe seperti itu. Ah, bisa saja itu hanya tampilan. Mungkin saja ia jauh lebih buruk dari dugaanku!
Aku terus berjalan hingga hampir tiba di depan lift. Sial rasanya melihat Pak Rendra berdiri di sana, bersama beberapa staf lainnya. Lebih baik aku bersembunyi dulu hingga dia masuk ke lift.
“Ayana!”
Oh My God! Kenapa Lesti harus melihat dan meneriakkan namaku?
“Ayana, mau ke mana?”
Aku terpaksa menghentikan langkah dan perlahan berbalik. Semua mata tampaknya tertuju padaku, termasuk lelaki misterius sekaligus kurang ajar itu. Aku tersenyum kaku seperti orang yang baru saja tertangkap basah mencuri sesuatu.
Kulihat pintu lift sudah terbuka. Satu per satu mereka memasuki lift. Lesti melambaikan tangan dan memintaku segera ke sana.
Dengan berat hati dan langkah aku berjalan ke arah lift. Sejenak tatapanku beradu dengan Pak Rendra, lalu segera kualihkan ke arah lain. Tatapannya itu benar-benar membuatku tidak nyaman.
Aku berdiri di samping Lesti. Sedangkan manajer monster itu berdiri tepat di belakangku.
“Lo tadi mau ke mana, Ay? Kok malah ke arah sana?”
Lesti sepertinya penasaran dengan kelakuan absurdku tadi.
“Gak ada. Gue cuma ... hmm, gue tadi belum absensi,” alasanku. Mendadak aku teringat bahwa aku benar-benar belum melakukan finger print gara-gara memikirkan kejadian mengesalkan semalam.
“Oh My God!” Aku menepuk jidat.
“Hah? Lo belum absensi?”
Suara Lesti membuat semua orang menoleh heran padaku.
Ya ampun, sial sekali rasanya pagi ini. Aku harus turun lagi untuk mengisi absensi daripada dianggap tidak hadir. Ini semua gara-gara manajer m***m itu! Kurahap dia benar-benar kena diare akut hari ini!
Pintu lift terbuka. Aku segera keluar menuju lift sebelah karena lift yang kunaiki tadi masih terus naik ke lantai lainnya.
“Gue duluan, ya, Ay!” ucap Lesti.
Aku mengangguk. Kulihat Pak Rendra yang berjalan di belakang Lesti, menoleh sejenak padaku.
Dia tersenyum! Tapi bukan senyum ramah, melainkan seringai yang tampak meledekku.
Aku segera memalingkan wajah dan menekan pintu lift berkali-kali dengan kesal.
Akhirnya aku bisa mengisi absensi meski telat dan berjibaku dengan lift kantor. Aku berjalan ke ruangan dengan lunglai karena lelah fisik dan hati. Apalagi harus melihat wajah Pak Rendra yang sangat mengesalkan itu.
Aku segera duduk di tempatku dan menyalakan komputer. Kusibukkan diriku agar tak perlu melihat wajah Pak Rendra.
“Selesaikan laporan ini siang ini!”
Aku tersentak kaget mendengar suara itu, juga berkas yang diletakkan dengan kasar di mejaku. Sejak kapan lelaki monster ini berdiri di sampingku. Aku sama sekali tak mendengar langkahnya. Apakah dia pakai ilmu teleportasi?
Mataku semakin terbelalak melihat berkas bertuliskan laporan Cash Flow bulan lalu.
“Siang ini, Pak? Tapi, ini baru tanggal sa—“
“Memangnya kenapa kalau tanggal 1? Saya minta laporannya siang ini juga, letakkan di meja saya.”
Lidahku rasanya kelu untuk membantah. Semua bukti transaksi paling cepat kuterima besok. Berarti aku harus bekerja lebih ekstra untuk mengumpulkan semuanya pagi ini.
“Pak, bagian kasir biasanya—“
“Kalau tidak mampu, tidak usah bekerja!” potongnya lagi dengan tegas, lalu kembali ke mejanya.
Aku hanya bisa melongo menatap punggungnya yang tampak lebar itu. Benar-benar atasan yang kejam! Kuharap ia segera pindah kerja ke perusahaan lain!
“Bengong hanya akan membuang waktu!”
Glek! Aku langsung tersadar setelah mendengar sindiran dan melihat tatapannya yang tak pernah bersahabat itu. Segera kukerjakan apa saja yang menjadi job desk-ku di sini.
Kutelepon beberapa divisi yang berhubungan dengan pekerjaanku untuk meminta mereka segera memberikan data transaksi yang terjadi selama bulan lalu.
“Kami belum siap, Ay. Nanti siang kami berikan.”
Beberapa divisi mengatakan hal yang sama. Aku menghela napas, lalu memaksa mereka segera menyelesaikannya pagi ini.
Tak pernah aku mendatangi ruangan divisi-divisi lain untuk meminta semua berkas dan bukti transaksi, tapi kali ini terpaksa aku menjemput bola demi keberlangsungan karierku di Vent Group—perusahaan besar yang memberikan kesejahteraan yang baik untuk setiap jenjang karyawan.
Setelah mendapatkan semua yang kubutuhkan dari divisi lain—tentu saja setelah menerima omelan mereka—aku segera mengerjakan laporan yang diminta Pak Rendra, meski kakiku rasanya mau patah akibat naik turun tangga dan sedikit berlari.
Sesekali kulirik meja manajer keuangan itu. Si tatapan tajam sepertinya juga sangat sibuk.
Ups! Tiba-tiba dia menoleh padaku dan melemparkan tatapan membunuhnya.
Seketika jantungku rasanya mau lepas. Orang itu seperti hantu saja! Kenapa orang seperti itu bisa menggantikan Pak Handi, sih?!
Aku terus menggerutu dalam hati sambil mengerjakan laporan sampai siang hari.
“Ini, Pak, laporan yang Bapak minta sudah selesai. Sudah saya email juga.”
Aku meletakkan berkas yang sudah kucetak di mejanya.
Kutunggu beberapa detik responsnya. Namun, yang kudapat hanya sebuah lirikan dan anggukan pelan.
Apakah lelaki di hadapanku ini masih manusia? Kenapa ia tak bisa sedikit saja mengatakan terima kasih atas kerja kerasku hari ini?
Aku kembali ke mejaku dengan hati dongkol. Rasanya ingin sekali kulemparkan pulpen di tanganku ini hingga menusuk mata manajer baru itu!
***
“Manajer baru itu kayaknya workaholic banget, ya?” celetuk Lesti di tengah-tengah makan siang kami di kantiin.
“Workaholic apanya? Yang iyanya, dia tuh cuma mau nyiksa gue!” sahutku kesal.
“Kebetulan giliran lo, Ay. Besok-besok mungkin kita-kita juga bakalan kena, nih!”
“Maybe! Tapi si m***m itu emang keliatan benci banget ama gue!” balasku yang semakin kesal, mengingat kejadian saat makan malam dengan Devian dan staf lainnya di restoran.
“Si m***m? Emang lo diapain sama dia, Ay?”
“Apa kalian udah saling kenal sebelumnya?”
Ketiga temanku ini menatapku penuh curiga. Menyesal aku bicara kelepasan.
“Eh, maksud gue, itu tatapan dia kalau ke karyawan cewek, kelihatan gimana, gitu,” kilahku.
“Masa, sih? Gue liatnya sama aja, tuh! Ke karyawan cewek ataupun cowok. Tatapannya tajem kayak silet!”
“Iya. Apa jangan-jangan elo aja yang kegeeran, Ay?”
“Atau sama lo aja Pak Rendra kayak gitu?”
Dugaan-dugaan mereka malah membuatku pusing.
“Duh, udah deh. Gak usah bahas manusia monster itu!” kesalku yang mendadak kehilangan selera makan.
“Sabar, Ay. Jangan terlalu benci, entar jadi cinta,” celoteh Lesti, yang diikuti tawa yang lainnya.
“Apaan? Baru berapa hari kerja di sini aja udah bikin kaki gue rasanya mau patah!”
Bukannya menghibur, ketiga temanku ini malah tertawa. Sepertinya hanya aku yang menderita di antara semua staf keuangan sejak kedatangan Pak Rendra.
Aku tak mengerti mengapa ia tampak sangat membenciku. Sorot matanya setiap kali melihatku, jelas terlihat seperti ia hendak menerkamku hidup-hidup. Semoga ini hanya dugaanku saja.
Selesai makan siang, kami kembali ke ruangan. Sepertinya hari ini aku harus lembur gara-gara waktuku dari pagi hingga siang mengerjakan laporan yang diminta Pak Rendra. Tugas harianku jadi belum kelar.
Hingga petang menjelang, pekerjaanku masih belum juga kelar. Sementara, rekan-rekan lainnya sudah bersiap untuk meninggalkan kantor.
“Ay, lo lembur?” tanya Lesti yang datang ke mejaku.
Aku mengangguk lesu sambil mengarahkan dagu ke tumpukan berkas di mejaku.
“Semangat, ya! Sorry, gue pulang duluan.”
“Iya. See you tomorrow,” ucapku.
Ruangan staf keuangan pun terasa semakin sunyi. Aku memperhatikan sekeliling, tak ada seorang pun di ruangan ini kecuali aku seorang.
Namun, aku melihat tas Pak Rendra masih ada di kursinya, komputernya juga masih menyala. Apakah dia lembur juga hari ini? Tapi, ke mana dia sekarang?
Kalau ia benar lembur, berarti hanya tinggal kami berdua. Aku benar-benar merasa tidak nyaman berdua dengannya dalam satu ruangan.
Segera kulanjutkan pekerjaanku agar bisa cepat selesai. Aku tak ingin lagi mendengar kata-kata tajam nan menusuk dari lisannya malam ini.
Suara pintu dibuka tiba-tiba mengagetkanku. Refleks aku menoleh ke belakang.
Devian? Sedang apa dia di situ?
Lelaki itu berjalan ke mejaku.
“Aku ingin berbicara setelah kamu pulang kerja,” ucapnya pelan dengan sedikit membungkuk.
Rasanya aku ingin menolak karena lelah. Juga, tak ada yang perlu dibicarakan di antara kami. Bukankah beberapa hari lagi dia akan menikah? Ah, mengingat itu membuatku merasa semakin lelah saja.
“Pak Dev, sedang apa di sini?”
Suara Pak Rendra membuatku kembali menoleh ke pintu. Begitu juga dengan Devian.
“Saya lihat ruangan ini masih menyala. Jadi saya pikir Pak Rendra pasti lembur. Hanya ingin menyapa dan mengajak minum kopi sejenak.”
Devian terlihat santai menjawab pertanyaan manajer baru itu.
“Maaf. Saya harus menolaknya malam ini.”
“It’s okey. Jaga kesehatan, Pak Ren,” ucap Devian. Aku mendengar suara sepatunya, ia pasti sudah menjauh dari ruangan kami. Aku tak berani melihat kedua lelaki itu, pandanganku fokus ke layar komputer.
“Ini masih di tempat kerja. Berhati-hatilah dengan CCTV.”
Bisikan itu membuatku tersentak. Pak Rendra sudah berdiri di sampingku dengan seringainya.
“Apa maksud Bapak?” Kuberanikan diri untuk bertanya. Aku merasa tidak tahan dengan sindiran dan intimidasi darinya.
“Aku tahu kamu pintar, jadi tidak perlu kujelaskan,” ucapnya ketus, lalu berjalan ke mejanya.
Dadaku rasanya ingin meledak menahan kesal pada lelaki itu. Namun, aku tak ingin berlama-lama di ruangan ini dengannya dan mempertaruhkan karierku jika aku melawannya saat ini.
Lebih baik segera kuselesaikan pekerjaanku dan meninggalkan kantor, juga lelaki misterius nan aneh itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 20.15 saat semua pekerjaanku hari ini selesai. Aku bergegas membereskan semua barang-barangku dan meninggalkan ruangan ini.
“Saya duluan, Pak,” ucapku pada Pak Rendra, lalu bergegas menuju pintu tanpa menunggu responsnya.
Gedung perkantoran ini sudah terlihat sepi. Hanya beberapa orang saja yang masih bekerja atau baru pulang sepertiku. Aku bergegas menuju tempat parkir mobil.
“Aku sudah bilang ingin bicara. Kenapa tidak menemuiku?”
Lagi-lagi aku tersentak kaget dibuatnya. Devian muncul di belakangku. Apakah dia menungguku di basement ini?
Aku melihat sekeliling. Ada beberapa mobil karyawan yang masih terparkir di sini.
“Kamu tidak takut dilihat karyawan lain?” tanyaku.
“Jangan mengalihkan pembicaraan. Kita bertemu di taman.”
Devian berjalan meninggalkanku menuju mobilnya, tanpa menunggu jawabanku. Selalu begitu. Apa pun yang diinginkannya, aku tak diberi kesempatan untuk menjawab, apalagi menolaknya.
Dengan berat hati kuikuti kemauannya. Kulajukan mobil menuju taman kota, tempat yang biasa kami kunjungi bersama.
“Apa yang ingin kamu bicarakan, Dev?” tanyaku tanpa basa basi, setelah kami duduk di kursi taman.
“Santailah dulu. Apa kamu tidak merindukanku, Ay?” Ia menggeser posisi duduknya dan merangkul pundakku.
Aku menepis lengannya dan menatap Devian.
“Aku lelah, Dev. Katakan saja apa yang ingin kamu bicarakan.”
Di bawah lampu temaram dan cahaya bulan, tampak raut wajah Devian yang tiba-tiba berubah setelah mendengar ucapanku.
“Kamu berubah, Ay!” ketusnya.
“Tidak. Aku tetap Ayana yang dulu. Aku hanya lelah.”
“Kamu tidak bisa membohongiku. Sejak kukatakan akan menikahi Bella, sikapmu berubah. Kamu sudah tidak mencintaiku, Ay?”
“Seharusnya aku yang menanyakan kalimat itu padamu, Dev. Kamu sudah tidak mencintaiku makanya kamu bisa menikahi wanita lain?” balasku dengan luka di hati yang kembali menganga.
“Sudah kubilang, itu hanya perjodohan, Ay. Kenapa kamu tidak mengerti juga?”
“Aku harus mengerti kamu. Lalu, kapan kamu yang mengerti aku, Dev? Aku tidak mau terus-terusan seperti ini. Sembunyi-sembunyi seperti ini!”
Devian tampak frustrasi dengan mengusap kasar wajahnya.
“Kenapa itu terus yang kamu bicarakan, Ay?!”
“Lalu apa?”
“Semalam, kenapa kamu tidak ikut makan dan langsung pulang?”
“Jadi ini hal yang mau kamu bicarakan?”
“Iya!”
Aku menghela napas dalam-dalam.
“Aku lelah dan ingin segera istirahat.”
Devian mencebik mendengar jawabanku.
“Kamu tak pernah seperti itu sebelumnya, Ay.”
“Sekarang berbeda. Melihat namamu bersanding dengan wanita lain di kartu undangan, sudah membuatku merasa tidak bertenaga.”
Kali ini Devian yang menghela napasnya.
“Baiklah. Malam ini kamu juga pasti lelah. Istirahatlah,” ucapnya, lalu berdiri dan melangkah tanpa menoleh sedikit pun padaku.
Hatiku terasa semakin sakit dengan sikapnya. Ingin aku mengejar Devian, memeluknya, sambil berkata bahwa aku tidak rela ia menikahi wanita lain dan menjadikanku simpanannya.
Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya air mata ini yang mewakili perasaan dan harapanku saat ini.
Aku kembali ke apartemen dengan perasaan yang semakin hancur. Di basement apartemen, aku hampir membanting pintu mobil saat menutupnya karena emosi yang masih belum reda.
Saat berjalan keluar basement, sebuah mobil hitam baru saja masuk dan terparkir tak jauh dariku. Aku seperti mengenal mobil itu.
Tak lama, seseorang keluar dari mobil tersebut dan tersenyum tipis padaku. Sorot matanya tak pernah berubah, masih tajam dan menusuk.
“Pak Rendra?”