Aku dan Pak Rendra saling pandang untuk beberapa saat. Hingga akhirnya ia berdehem, lalu sedikit menjauh. Aku pun tersadar dan menarik tanganku dari bibirnya.
Astaga! Rasanya aku malu sekali. Mengapa aku bisa menyentuhnya? Duh, pipiku pasti sangat merah sekarang.
Pak Rendra sendiri juga tampak canggung. Dia kembali ingin mengompres keningku, tetapi aku melarangnya.
“Emm, Pak, biar saya saja.” Aku mengambil kain itu dari tangannya dan mengompres keningku sendiri.
“Pak, itu ... berdarah,” ucapku malu-malu sambil menunjuk ke arah bibirnya.
“Iya, tidak apa-apa. Saya mau mengobati lukamu dulu,” jawabnya.
Aku bingung, luka mana yang dia maksud? Aku tidak merasa terluka selain benjolan di kening.
Pak Rendra terlihat cekatan menuangkan obat ke cutton buds, lalu mengarahkannya ke sikuku, membuatku sedikit terkejut. Ternyata ada luka kecil di sana yang tak kusadari.
Setelah mengoleskan obat itu di tanganku, ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.
“Kutemukan saat mencarimu,” ucapnya.
Ternyata ponselku yang terjatuh tadi ada padanya.
Syukurlah, aku nyaris saja lupa kalau ponselku tidak ada.
Ia tiba-tiba mengarahkan layar ponsel ke wajahku.
‘Klik!’
Seketika layar ponselku terbuka. Kubiarkan ia melakukan sesuatu pada ponselku. Beberapa detik kemudian, ia meletakkan ponsel itu di telinganya.
“Halo, Lesti. Ke ruang tengah sekarang, bantu Ayana ke kamar,” ucapnya pada seseorang di telepon, lalu memberikan ponsel itu padaku.
“Sa-ya bisa sendiri, Pak. Tidak perlu memanggil Lesti. Lagi pula saya masih ingin—“
“Akan saya antar makanan untukmu,” potongnya sebelum aku selesai protes.
Ya ampun, lelaki ini. Seenaknya saja mengaturku seperti anak kecil. Aku ‘kan masih ingin menikmati malam barbeque bersama yang lain. Tapi ... mengapa ada rasa senang di hatiku dengan perlakuannya ini?
“Ayana! Ay, lo gak apa-apa?” Lesti berlari dari arah pintu.
“Dia kenapa, Pak?” tanyanya kepada Pak Rendra.
“Kamu tanyakan saja pada temanmu itu,” jawab lelaki itu.
“Istirahatlah,” ucapnya padaku, lalu berdiri dan meninggalkan kami.
“Ay, lo kenapa? Ini kenapa ada kotak P3K? Ada kompres?” cerocos Lesti dengan wajah panik.
“Gue gak apa-apa, Les. Udah, mending lo bantu gue dulu balikin ini semua ke tempatnya,” pintaku.
Lesti pun meletakkan kembali kotak P3K itu ke lemari dan membawa mangkuk berisi air serta kain itu ke dapur.
“Ayo!” ajaknya sambil menggandeng lenganku.
“Gak perlu dipegangin. Gue gak apa-apa,” ucapku sambil melepas tangannya.
“Yakin?”
“Iya, lah. Pak Rendra aja itu yang lebay. Pake nyuruh lo nemenin gue segala. Padahal gue pengen ikutan barbeque-an,” gerutuku sambil berjalan ke kamar.
Lesti malah tertawa.
“Itu artinya Pak Rendra perhatian sama lo. Lagian lo kenapa bisa kayak gini, sih? Eh, tadi gue juga lihat dekat bibir Pak Rendra kayaknya memar. Kalian habis pukul-pukulan, ya?”
“Ngaco lo!” Kucubit lengannya.
Kami pun duduk di kasur masing-masing. Satu kamar di vila ini untuk tiga orang staf dengan tiga single bed. Aku dan Lesti memang meminta satu kamar yang sama, dengan seorang staf keuangan lainnya.
“Les, lo balik aja gak apa-apa. Sayang kalau lo lewatin acara malam ini,” ujarku.
“Gak usah. Gue lebih sayang ngelewatin momen buat wawancarain lo tentang apa yang terjadi antara lo dan Pak Rendra tadi.”
“Yaach, dia mulai lagi.”
Lesti kini duduk di sampingku.
“Buruan cerita ke gue, kalian habis ngapain tadi?”
Aku menoleh dan menatapnya dengan kedua mata terbuka lebar. Kalimat yang digunakan sahabatku satu ini seolah-olah menanyakan hal yang berbau dewasa.
“Maksud gue, kalian tadi ke mana kok bisa pada bonyok?”
Belum sempat aku menjelaskan, pintu kamar ini diketuk dari luar. Lesti langsung beranjak membuka pintu.
Seorang wanita paruh baya berdiri membawa nampan berisi aneka makanan barbeque.
“Permisi, Mbak. Tadi Pak Rendra nyuruh saya antarkan ini buat Mbak Ayana,” kata ibu itu, yang kutahu ia salah satu yang membersihkan vila ini.
“Oh, terima kasih, Bu,” ucap Lesti sambil mengambil nampan itu.
“Terima kasih, ya, Bu,” ucapku sebelum wanita tersebut menutup kembali pintu kamar ini.
“Yaach, kok Cuma buat Mbak Ayana, sih? Buat Mbak Lesti mana? Huhuuu, sedih beuut gue kagak ada yang perhatiin,” celoteh Lesti sambil menirukan gaya anak kecil.
“Ya kale Pak Rendra ngasih buat gue doank sebanyak ini.”
Kami pun tertawa melihat makanan yang sangat banyak di nampan itu.
“Lihat nih, Pak Rendra perhatian banget gak, sih? Duuuh, kalau gue jadi lo, gue udah klepek-klepek di pelukannya ....” Lesti bergelayut manja di lenganku, seolah-olah aku adalah Pak Rendra.
Lesti memang benar. Akhir-akhir ini, aku merasa Pak Rendra sangat memperhatikanku. Aku merasa dilindungi olehnya.
“Geser, ih. Gue bukan Pak Rendra,” protesku sambil mendorong tubuh Lesti. Aku lantas mengambil satu tusuk cumi-cumi jumbo yang tampak menggiurkan. Cumi-cumi bakar memang makanan favoritku sejak mengenal makanan laut.
“Eh, tadi lo batal cerita gara-gara si mbok datang. Sekarang cerita, deh. Gue udah gak sabar,” pinta Lesti dengan mulut penuh makanan.
Sambil menikmati hidangan lezat barbeque malam ini, aku pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi beberapa saat lalu.
“Lo yakin ini semua perbuatan Pak Bos?” tanya Lesti, yang tampak ragu atas dugaanku menuduh Devian yang telah merencanakan penculikan tadi.
“Terus gue harus nuduh siapa?”
Lesti pun diam, tampak sedang berpikir.
“Nih! Jelas-jelas dia yang nge-chat gue buat nemuin dia di belakang vila.” Kutunjukkan isi pesan singkat Devian pada Lesti.
“Terus, dengan ‘kebetulan' ada dua orang asing yang nutupin wajahnya, mau nyulik gue. Apa Cuma kebetulan?” terangku.
“Iya, sih. Gak mungkin kebetulan. Dan lagi, vila ini dijaga ketat banget, kan? Gak mungkin orang luar bisa masuk ke kawasan ini. Pulau terpencil lagi. Emang siapa yang mau ke sini?” tutur Lesti.
“Nah, itu. Gue curiga Devian ngebayar orang-orang yang kerja di sini buat nyulik gue. Biar gue gak dekat-dekat sama Pak Rendra.”
“Bisa jadi! Cemburu membuat orang bisa kalap,” ucap Lesti. “Tapi, kita mesti buktiin dugaan lo, biar gak jadi fitnah,” lanjutnya.
“Iya. Gue bakal buktiin kalau Devian yang merencanakan hal buruk tadi.”
“Dengan begitu, lo bisa punya alasan kuat buat lepas dari dia, Ay. Dia ... psikopat!”
Aku merinding mendengar ucapan Lesti.
“Ngomong sembarangan!” protesku.
Lesti lagi-lagi tertawa.
“Jadi, gimana cara lo ngebuktiin kalau itu perbuatan Devian?” tanyanya.
“Gue sempat lihat wajah salah satunya waktu Pak Rendra membuka penutup wajah orang itu. Besok, lo bantuin gue nyari orang itu di antara para pekerja di vila ini, ya? Kita lihat satu per satu orang yang sama,” usulku.
Lesti mengangguk.
Aku harus bisa menemukan lelaki itu untuk mengetahui kebenarannya.