Part 20 (Ke Suatu Tempat)

1861 Kata
Aku menatap langit-langit kamar sambil memikirkan banyak hal. Salah satunya adalah kejadian di lift tadi saat pulang kerja. Mengapa listrik di kantor bisa tiba-tiba padam? Sudah enam tahun aku bekerja di Vent Group, tidak pernah sekali pun kantor mengalami pemadaman listrik. Apakah tadi sedang ada perbaikan instalasi? Ah, aku tidak mengerti dan semakin pusing jika dipikirkan. Pak Rendra! Kenapa saat aku ingin berteriak minta tolong di lift tadi, nama itulah yang terucap di hatiku? Mengapa bukan Devian? Kenapa harus dia? Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal karena bingung dengan diri sendiri. Dan, entah mengapa aku merasa aman ketika ia menemukanku. Dan aku merasa begitu tenang dan nyaman saat ia menggendongku. Wajah tampan nan dingin itu, tiba-tiba membuatku tersenyum. Ah, mungkin aku sudah gila. Dia yang bermulut tajam, juga mengancamku dengan tindakan buruk, mengapa selalu ada setiap kali aku membutuhkan pertolongan? Akhir-akhir ini, aku juga sudah merasa tidak terlalu takut padanya, seperti saat awal-awal aku mengenalnya. Apakah aku sudah mulai nyaman dengan sikapnya? Astaga! Ini tak boleh terjadi, Ayana! Ekspresi Pak Rendra ketika menemukanku dengan kondisi lemas di dalam lift pun kembali terbayang. Raut wajah itu, wajah yang biasanya tampak dingin dan sangat tidak bersahabat. Tatapan yang biasanya tajam, tapi tadi terlihat sangat berbeda. Ia tampak begitu khawatir melihat kondisiku. Namun, ekspresi itu berubah seketika saat kami sudah duduk di sofa lobi kantor. Aku sama sekali tak bisa mengartikan raut wajahnya. Ia seperti marah, khawatir, atau sedang memendam sesuatu. Mengapa ada orang seperti itu? Mood-nya sepertinya mudah sekali berubah. Aku jadi penasaran dengan Pak Rendra. Orang seperti apa sebenarnya dia? Bagaimana kehidupannya? Dan, mengapa dia selalu mengancamku agar meninggalkan Devian? Aku harus mencari tahu semua itu. Pak Rendra, aku ingin tahu tentangmu, tentang rahasia yang mungkin kamu sembunyikan. *** Seminggu berlalu sejak pernikahan Devian, juga tragedi di lift kantor. Selama itu, Devian sama sekali tidak menghubungiku, baik telepon maupun pesan. Ia juga tidak ada di kantor. Jelas saja, Devian sedang menikmati bulan madunya di Benua Eropa bersama Bella, model cantik yang sedang naik daun. Dia pasti sangat bersenang-senang dengan istrinya itu. Aku juga ingin merasakannya. Berbulan madu ke Belanda, Jerman, dan beberapa negara lain di Eropa bersama Devian. Namun, sepertinya impianku itu hanya angan-anganku saja. Ponselku berdering. Sebuah panggilan dari Lesti. “Halo, Les,” sapaku setelah mengangkat telepon. “Lagi ngapain, Ay?” “Biasa. Rebahan.” Lesti tertawa mendengar jawabanku. “Jangan rebahan mulu kalau weekend. Jalan, yuk!” ajaknya. “Ke mana?” “Temenin gue nyari kado buat sodara gue yang mau nikah nikah. Sekalian kita cuci mata di mal.” “Oke. Jam berapa?” tanyaku. Aku melirik jam di dinding, saat ini masih jam sembilan pagi. “Jam sebelas, ya. Lo mau gue jemput?” “Gak usah, gue bawa mobil aja. Ketemu di sana.” “Oke. Ya udah, gue tutup, ya. See you. “See you.” Aku meletakkan ponsel dan melakukan pemanasan untuk meregangkan otot lengan dan kaki. Sejak bangun tidur, aku hanya berbaring di kasur. Aku bahkan tidak mencuci muka sama sekali. Perutku pun sekarang mulai protes minta diisi. Aku pun mengambil kembali ponsel dan membuka sebuah aplikasi berwarna hijau. Aku bingung mau makan apa pagi ini. Saat sedang memilih-milih makanan, bel rumahku berbunyi. Pikiranku langsung tertuju kepada Pak Rendra. Aku yakin lelaki itu yang datang pagi ini. Tapi, mau apa dia mendatangiku? Bergegas aku berjalan ke ruangan depan dan membuka pintu. Benar saja, lelaki itu yang kini sedang berdiri di depanku. “Ada apa, Pak?” tanyaku. “Menepati janji,” jawabnya singkat. Janji? Janji apa yang dia maksud? “Maksudnya, Pak?” “Melawan rasa takutmu.” Aku masih belum paham apa maksud dan ke mana arah pembicaraannya. Ia menarik napas panjang melihatku terdiam kebingungan. “Menghilangkan fobiamu,” ucapnya lagi. Ah, aku baru ingat! Saat pulang dari kantor setelah kejadian di lift, dia berkata akan membantuku menghilangkan fobiaku terhadap gelap. Aku tak menyangka dia benar-benar menepati ucapannya. “Oh, itu. Kenapa tidak bilang dari tadi?” ucapku. “Kamu saja yang lemot.” Astaga! Apa tidak bisa dia berbicara manis sedikit? Atau setidaknya menahan isi kepalanya itu! Aku mendesah kesal. “Cepat bersiap. Saya tunggu tiga puluh menit.” Aku melongo mendengar ucapannya. Ini ajakan atau perintah? Seenaknya saja dia mengatur-aturku di luar jam kerja. “Tidak bisa!” selaku. Dia mengerutkan dahi. “Saya ada janji dengan Lesti jam sebelas ini.” “Saya akan telepon Lesti kalau kamu akan pergi dengan saya.” “Apa?!” pekikku kaget. Apa kata Lesti nanti jika Pak Rendra melakukan itu? Lesti pasti akan curiga dan berpikir macam-macam, lalu gosip kedekatanku dengan manajer baru dengan cepat akan tersebar di kantor. Dan isu itu pasti akan sampai ke telinga Devian. “Kenapa kamu terkejut begitu?” tanya Pak Rendra yang masih berdiri di depan pintu apartemenku. “Pokoknya saya tidak bisa. Saya harus menepati janji pada Lesti.” Pak Rendra tidak mengatakan apa-apa dan langsung mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dia membuka kontak dan mencari nama Lesti. “Bapak mau apa?” tanyaku panik. “Memberitahu Lesti, kamu tidak bisa ikut dengannya.” “Jangan!” pekikku, lalu mencoba merebut ponselnya sebelum lelaki itu menekan tombol berlambang telepon warna hijau. Kami saling tarik menarik, berebut ponselnya. Aku kehilangan keseimbangan ketika dia menarik terlalu kuat hingga tubuhku menabrak tubuhnya. Astaga! Wajah kami begitu dekat. Pandangannya tepat bertemu dengan pandanganku. Aku menelan ludah akibat situasi canggung ini. Dua orang penghuni apartemen lain lewat. Mereka memperhatikan kami dan tersenyum. Aku segera mendorong tubuh Pak Rendra. Ini benar-benar kejadian tak terduga yang memalukan. Dia mengangkat sebelah alisnya sebagai tanda untuk mempertegas keinginannya. “O-oke!” ucapku gugup. “Saya mandi dulu,” lanjutku, lalu langsung masuk dan menutup pintu tanpa menunggu lelaki itu mengeluarkan sepetah kata pun. Kuletakkan kedua telapak tangan di d**a. Detak jantungnya kencang sekali. Kenapa aku jadi segugup ini? Ah, Lesti! Aku langsung teringat padanya. Alasan apa yang harus kuberikan? Sakit? Tidak! Lesti pasti akan langsung datang ke sini jika aku sakit. Orang tua sakit? Ah, aku tidak memiliki orang tua dan keluarga. Lalu, alasan apa yang harus kuberikan pada sahabatku itu? Aku benar-benar bingung. Ini semua karena Pak Rendra! Dia selalu saja membuatku berada dalam situasi yang membingungkan. Aaah, aku benar-benar bingung. Lebih baik aku langsung mandi saja sambil memikirkan alasan apa yang tepat untuk membatalkan janjiku dengan Lesti. Aku pun bergegas ke kamar mandi. Namun, hingga selesai mandi, aku masih belum juga menemukan alasan yang tepat. Ah, bilang saja kalau lelaki yang aku ceritakan padanya meminta bertemu siang ini. Sambil merias wajah, aku coba menelepon Lesti. “Ada apa, Besti?” tanyanya begitu mengangkat teleponku. “Hmm, Les, sorry. Gue kayaknya gak bisa nemenin lo nyari kado.” “Why?” “Cowok yang gue ceritain ke elo, dia minta ketemu siang ini. Jadi—“ “Hah? Yang bener?” potong Lesti seketika. “I-iya.” “Terus? Bukannya lo bilang dia udah mau nikah?” “Iya. Mungkin ini pertemuan terakhir gue sama dia,” jawabku berbohong. “Oh, Dear. Sedih banget, siih.” Aku mengangguk, meski Lesti tak mungkin melihat. “Jadi, lo gak apa-apa cari kado sendirian? Atau entar malem aja gue temenin lo. Gimana?” Aku langsung mengalihkan pembicaraan. “Gak apa-apa, Ay. Santai aja. Yang penting urusan lo sama cowok itu kelar. Jadi, Bestie gue gak sedih-sedih lagi,” ujarnya. “Makasih, ya, Les.” “Sama-sama. Ya udah, lo siap-siap, gih.” “Iya. Thx, Bestie,” ucapku sebelum menutup telepon. Aku mengembuskan napas lega. Akhirnya aku bisa kasih alasan yang masuk akal ke sahabatku itu. Aku nyaris selesai memoles kosmetik di wajah, ketika bel rumah berbunyi. Pak Rendra, apa dia tidak bisa memberikan toleransi waktu? Wanita, kan, harus berdandan dulu, pakai ini itu. Mana cukup waktu setengah jam mulai dari mandi sampai selesai berdandan. Apa dia tidak pernah menunggu pacarnya? Atau tidak pernah punya kekasih? Duh, kasihan sekali wanita yang akan menjadi istrinya nanti. Aku menggerutu kesal sambil mempercepat gerakan tangan yang memoles lipstik berwarna nude di bibir. Segera kuambil tas dan berjalan ke ruang depan. “Lama sekali,” ucapnya setelah aku membuka pintu. “Bapak saja yang terlalu cepat!” jawabku dengan ketus. Aku pun berjalan di belakangnya menuju basement. “Memangnya kita mau ke mana, Pak?” tanyaku setelah mobil keluar dari gedung apartemen. “Nanti kamu juga akan tahu,” jawabnya tanpa memandangku. Aku mendesah kesal. Kenapa tidak mau memberitahuku lebih dulu? Apa jangan-jangan .... Ah, pikiran-pikiran buruk pun mulai menghantuiku. “Pak, cepat katakan, Bapak mau bawa saya ke mana?” tanyaku lagi. “Cerewet sekali,” ucapnya pelan, seperti berbisik. Namun, aku masih bisa mendengarnya. “Apa?” “Saya tidak bicara apa-apa,” jawabnya. Aku melipat kedua tangan di d**a dengan kesal dan memalingkan wajah ke samping kaca mobil. Sekitar hampir tiga puluh menit perjalanan, Pak Rendra memarkirkan mobilnya di tempat parkir dunia fantasi. “Kenapa Bapak membawa saya ke sini?” tanyaku penasaran sambil membuka sabuk pengaman. Dia mendekatkan wajahku ke wajahku hingga aku refleks memundurkan kepala. “Apa kamu tidak bisa berhenti bertanya?” tanyanya dengan suara pelan. Kedua matanya tepat menatap mataku. “Ma-af,” ucapku gugup. Ia lalu mundur dan keluar dari mobil. Aku mengikuti ke mana kaki lelaki itu melangkah. Kami memasuki kawasan dunia fantasi. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh arah hingga badanku turut berputar. Ada banyak wahana dan spot foto yang menarik. Tempat yang ramai dan sangat indah. Ini menyenangkan! Seumur-umur, belum pernah aku bermain ke tempat seperti ini. Sejak kecil, aku ingin sekali ke dunia fantasi. Namun, itu hanya angan-angan masa kecilku. Dan ketika aku sudah bekerja, keinginan itu memudar dan tak pernah terpikirkan. Devian juga tak pernah mengajakku ke tempat ini. “Tempat untuk anak-anak,” katanya sewaktu aku mengajaknya untuk sesekali menghabiskan akhir pekan di dunia fantasi. Kini, aku benar-benar berada di tempat ini. Rasanya aku ingin memainkan semua wahana permainan yang ada. “Kamu sepertinya senang sekali,” kata Pak Rendra. Aku tersenyum lebar dan mengangguk. “Sejak kecil saya ingin sekali ke tempat seperti ini,” jawabku senang. “Ini pertama kalinya?” tanya lelaki itu lagi. Aku mengangguk malu. “Apa Devian tidak pernah mengajakmu ke sini?” Aku menggeleng. “Dia tidak suka tempat seperti ini.” Pak Rendra hanya mengangguk. “Pak, ayo kita naik itu!” Aku menunjuk wahana komedi putar. “Apa kamu lupa tujuan saya mengajakmu?” “Tidak. Tapi, mumpung di sini,” rengekku. Lelaki itu menggeleng tegas. “Ayo jalan!” “Pak, sebenarnya mau ke mana, sih? Kenapa ke sini kalau tidak menikmati permainan yang ada?” “Bawel!” ucapnya, tapi aku tidak peduli dan terus berbicara sambil mengejar langkah kakinya yang panjang. “Apa tempat ini bisa mengobati fobia saya?” “Kamu bisa diam tidak?” “Tidak!” Lelaki itu tiba-tiba berhenti sampai aku menabrak punggungnya. “Au! Sakit,” keluhku sambil memegangi kening. “Kenapa Bapak tiba-tiba berhenti?” “Sudah sampai,” ucapnya. “Sampai?” Aku menoleh ke kanan dan kiri. Tidak ada apa-apa selain sebuah wahana bertuliskan Rumah Hantu. “Te-mpat ini?” tanyaku gugup sambil perlahan menunjuk sebuah bangunan yang cukup luas, dengan gambar-gambar makhluk menyeramkan. Pak Rendra mengangguk dan tersenyum. “Tidak! Saya tidak mau!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN