Teror

2002 Kata
“Pak, terima kasih,” ucapku sambil memegang bagian bawah kausnya. Pak Rendra mengangguk, lalu berjalan menuju mobilnya di tempat parkir. Aku mengekor di belakangnya. Sesampainya di dekat mobil, aku berdiri mematung. “Kenapa tidak masuk?” tanyanya setelah menurunkan kaca mobil sebelah kiri. “Tidak apa-apa mobil Bapak basah?” “Taksi online juga akan menolakmu jika tahu penumpangnya basah kuyup.” Aku mencebik mendengar kalimatnya. Meskipun benar, tetapi rasanya tak enak saja setiap kali Pak Rendra berbicara. Akhirnya aku menurut dan masuk ke mobilnya. Mobil mulai melaju, tetapi pendingin ruangan masih tak juga dinyalakan. “Pak, kenapa AC-nya tidak dihidupkan?” tanyaku heran. “Kalau kamu tidak kedinginan, hidupkan saja,” jawabnya. “Apa Bapak kedinginan?” Dia menggeleng, sambil terus fokus melihat ke depan. Aku pun menyalakan AC mobil dan mulai bersandar. “Pak ....” Aku menoleh padanya. Rambut Pak Rendra yang masih basah, membuat kemaskulinannya semakin tinggi. Astaga, Ayana! Sejak kapan kamu mengagumi lelaki itu? “Ada apa?” “Hmm, kenapa Bapak mengikuti saya dan Devian sampai ke sini?” tanyaku ragu-ragu. Pak Rendra sama sekali tak menjawabku. Iya Bahkan tak mengatakan sepatah kata pun. Aku ingin menanyakannya sekali lagi, tapi takut nantinya ia jadi marah. Akhirnya aku memilih untuk diam saja. Di tengah perjalanan, aku mulai kedinginan. Kurapatkan kemeja Pak Rendra yang masih kupakai dan memeluk diriku sendiri. Tanpa suara, tiba-tiba Pak Rendra mematikan AC mobil. “Terima kasih, Pak,” ucapku. Ia hanya mengangguk sambil terus fokus mengemudi. Entah mengapa situasinya terasa canggung dan kaku. Aku tidak nyaman jika seperti ini terus. “Pak ....” Aku mencoba membuka obrolan. “Ada apa?” tanyanya tanpa menoleh sedikit pun padaku. “Ayo main tebak-tebakan!” “Main saja, saya sedang mengemudi.” “Kalau begitu coba Pak Rendra tebak. Buah apa yang tidak bisa dimakan?” Pak Rendra hanya tersenyum tipis, tetapi tidak menjawabnya. “Pak, ayolah tebak. Jangan senyum-senyum saja.” “Permaiman anak kecil.” “Bilang saja tidak bisa menebak!” gerutuku. “Buah d**a!” jawabnya tiba-tiba. Aku langsung melongo dan meletakkan kedua tanganku di d**a. “Kenapa? Apa jawaban saya salah?” tanyanya. “Sepertinya Bapak terlalu banyak menelan air laut tadi.” “Kamulah yang terlalu banyak menelan air laut.” Aku mencebik. Manusia satu ini benar-benar tidak mau salah dan tidak mau kalah. “Yang jelas bukan itu jawabannya!” “Apa?” tanyanya lagi. “Buahpakmu! Ahahaa!” Aku tertawa lepas. Namun, lelaki di sampingku ini tak terlihat tawa atau senyumnya sedikit pun. Ia justru tampak kaku dan marah setelah mendengar jawabanku. Apakah ada yang salah dengan jawaban dari teka-tekiku itu? “Pak, ada apa?” tanyaku hati-hati. “Tidak ada.” “Tapi, kenapa wajah Bapak kelihatan ....” Aku tak berani lagi melanjutkan kalimat. “Apa kamu punya teka-teki lain?” tanyanya tiba-tiba. “Ah, ada! Coba tebak, menu apa yang sangat mendebarkan?” tanyaku antusias. Ia tampak berpikir sejenak. “Menu ... rutmu?” Aku spontan tertawa mendengar jawabannya. Ternyata lelaki ini tahu humor juga. “Bapak ternyata humoris juga, ya,” ucapku yang masih tertawa. Namun, ia sama sekali tidak tertawa, hanya tersenyum. “Memangnya apa jawabannya?” “Jawabannya adalah ... menunggumu!” Aku kembali tertawa terbahak-bahak. “Apa begitu lucu?” tanyanya, yang membuatku terdiam seketika. Ternyata penilaianku tadi salah. Tingkat humornya sangat rendah. “Apa Bapak tidak punya rasa humor sama sekali?” ledekku. “Tebakanmu itu garing,” balasnya. “Apa? Memangnya Pak Rendra punya tebakan apa?” tantangku. Seenaknya saja dia melecehkan teka-tekiku. “Ayam apa yang sangat cerewet?” tanyanya. Aku pun berpikir mencari jawaban. “Ayam mau bertelur!” Pak Rendra menggeleng. “Ayam jago berkokok!” Lagi-lagi lelaki itu menggeleng. “Ayam kampus!” Pak Rendra spontan menoleh padaku dengan tatapan heran. “Ada-ada saja kamu,” ujarnya. “Lalu apa jawabannya?” “Jawabannya adalah ... Ayamna!” ucapnya keras pada kata terakhir, diikuti tawanya yang tampak puas. Baru kali ini aku melihatnya tertawa seperti itu. Ternyata Pak Rendra sangat manis jika tertawa. Tanpa sadar aku tersenyum melihatnya. “A-pa yang kamu lihat?” tanyanya yang tampak salah tingkah setelah kuperhatikan. Aku pun tersadar dan menghadap ke depan. “Ayamna? Apa itu?” tanyaku penasaran, hingga dia bisa tertawa seperti itu. “Ayamna, namamu,” jawabnya enteng. “APA?!” pekikku. Aku menatapnya kesal, tetapi dia hanya tersenyum tanpa rasa bersalah telah meledekku. Sisa perjalanan kami habiskan dengan mengobrol ringan tentang pekerjaan, hingga kami tiba di basement. Sesampainya di depan pintu apartemenku, aku melihat sebuah kotak sebesar kotak sepatu diletakkan di bawah. “Apa ini?” gumamku. Kuambil kotak itu dan membukanya. “Aaa!!!” Seketika aku melemparkan kotak itu ke sembarang arah setelah melihat isinya. Pak Rendra yang belum masuk ke apartemennya, langsung berlari menghampiriku yang gemetar ketakutan. “Ada apa, Ay?” “I-itu!” Aku menunjuk sebuah boneka barbie yang telah dilumuri dengan cairan merah berupa darah. Kepala dan badan boneka tersebut juga telah terpisah. Pak Rendra mengambil kotak dan boneka tersebut. Ia memeriksa kotak itu dan menemukan sebuah surat yang dilipat kecil di dalamnya. “Ada suratnya,” ucapnya seraya menghampiriku, setelah membuang kotak dan boneka puntung itu ke dalam tempat sampah. Dengan tangan gemetar aku membaca isi surat kaleng itu bersama Pak Rendra. [Sadarilah di mana posisimu!] Tulisan itu ditulis dengan lipstik berwarna merah. Aku semakim gemetar setelah membacanya. Sadari posisiku? Apa maksudnya? Aku langsung teringat sesuatu. Pak Rendra! Dialah yang selama ini selalu menekanku agar aku menyadari posisiku di kehidupan Devian. Aku langsung menatapnya tajam dan membuka jaket serta kemejanya yang masih kukenakan. Kulempar kedua benda itu ke hadapannya. Ia hanya menatapku heran. Aku yakin dia hanya pura-pura tidak tahu. “Begini cara Bapak? Pengecut!” umpatku, lalu segera masuk ke apartemenku. Aku bersandar di pintu sambil meletakkan telapak tanganku di d**a sebelah kiri, merasakan detak jantung yang begitu kencang. Aku sangat yakin Pak Rendra-lah pelakunya. Aku tidak pernah punya musuh, kecuali Pak Rendra, yang terkadang begitu baik, tetapi di sisi lain dia terus mengancam agar aku meninggalkan Devian. Aku benar-benar ketakutan atas teror itu. Apalagi Pak Rendra tinggal di depan apartemenku. Mengapa ia setega itu padaku? Mengapa harus menerorku dengan boneka mengerikan itu? Aku berlari ke kamar mandi dan segera membersihkan diri. Kubiarkan air dari shower mengalir membasahi seluruh tubuhku. Mengalir bersama air mata yang juga mengalir dengan derasnya. Dadaku rasanya sakit sekali. Mengapa aku selalu mendapatkan hal buruk sejak kecil? Aku terus menangis dan membiarkan tubuhku dialiri air, hingga rasa dingin mulai menembus kulit. Lalu beranjak ke kamar. Kurebahkan tubuhku di kasur setelah memakai pakaian yang cukup hangat. Kupandangi langit-langit kamar ini. Kembali air mataku menetes mengingat semua yang terjadi seharian ini. Devian yang meninggalkanku demi ibu dan istrinya, lalu Pak Rendra, yang tampak mengkhawatirkanku saat aku tenggelam. Namun, kenapa dia tega menerorku seperti itu? Aku tak tahan lagi menahan semua ini sendiri. Dadaku begitu sesak hingga rasanya ingin meledak. Aku butuh seseorang untuk berbagi, untuk mendengar semua beban yang kurasakan. Lesti, aku butuh dia untuk mendengarkan semua kisahku. Kisah yang selama ini kusembunyikan darinya. Segera kuambil ponsel dan menghubungi nomor sahabatku itu. “Halo, Ay.” “Les, lo sibuk?” “Enggak. Lo kenapa? Nangis?” tanyanya mendengar suaraku yang serak. “Gue pengen cerita, Les. Gue gak sanggup lagi nahan ini sendirian.” Aku semakin terisak. “Ya ampun, Ay! Lo kenapa? Gue ke sana sekarang ya?” “Iya. Makasih, Les.” “Oke. Lo coba tenangin diri dulu. Jangan lakukan apa pun. Oke?” “Iya.” “Tunggu gue!” Lesti menutup panggilan. Aku menyandarkan punggung di kepala ranjang dan menghapus air mata. Sambil menunggu Lesti, kupasang headphone di telinga dan mendengarkan musik. Hingga tanpa sadar aku tertidur. Entah sudah berapa lama aku terlelap, dan terbangun saat ponselku berdering. Dalam kondisi masih setengah sadar aku mengangkat telepon. “Ay, lo ngapain? Gue dah di depan rumah lo dari tadi,” cerocos Lesti. Aku gegas bangkit dan berlari ke depan. “Sorry, Les. Gue ketiduran,” ucapku setelah membuka pintu. Kami langsung berjalan ke sofa. “Lo kenapa, Bestie?” tanya Lesti begitu kami duduk. Aku pun menceritakan semuanya, tanpa ada yang kututupi seperti waktu itu. Aku jujur tentang siapa lelaki yang selama ini menjalin cinta denganku. Lelaki yang pada akhirnya menuruti perintah orang tua untuk menikah dengan gadis pilihan mereka. “Si Bos?!” pekik Lesti terkejut. Ia tampak tak percaya, atau mungkin tak menyangka kalau selama enam tahun ini, aku dan Devian menjalin hubungan dan berhasil menutupinya dari semua orang yang bekerja di Vent Group. “Iya. Devian-lah orangnya,” sahutku meyakinkan. “OMG, Ay! Kok bisa selama ini lo nutupin dari kita-kita? Terutama gue?” “Maafin gue, Les.”. “Lo gak perlu minta maaf ke gue. Lo gak salah, Ay. Hak lo gak ngasih tahu ke gue atau siapa pun. Cuma gue gak habis pikir Si Bos selama ini nutupin hubungannya. Ya ampun, kasihan sobat gue, enam tahun Cuma backstreet.” Lesti memelukku erat. Tampak kesedihan di matanya mendengar kisah asmaraku. “Les, ada satu hal lagi yang bikin gue sakit hati dan ketakutan,” ucapku setelah sahabatku itu melepaskan pelukannya. “Cerita, Ay. Gue siap dengar,” jawabnya. Aku pun menceritakan perihal Pak Rendra, tentang semua yang dilakukan lelaki itu padaku. Tentang ancamannya, sikapnya yang berubah-ubah, hingga teror yang kuterima sore ini. Lesti menutup mulutnya dengan tangan dan membuka lebar-lebar kedua matanya. “Ay, sumpah! Gue gak nyangka Pak Rendra kayak gitu,” ucap Lesti raut wajah yang begitu terkejut. “Gue juga gak ngerti, Les.” “Tapi, Ay. Dari semua cerita lo, gue punya asumsi yang beda dari pikiran lo.” “Apaan?” “Pertama, bisa jadi Pak Rendra pengen lo lepas dari Devian karena dia suka sama lo, Ay.” “Entahlah, Les. Gue bingung. Kalau dia suka sama gue, kenapa awal-awal kenal dia kejam banget ke gue? Dan kenapa sekarang dia neror gue kayak gitu? Kayak psikopat gak, sih? Yang bisa berubah moodnya secara drastis gitu?” ujarku panjang lebar. “Jauh amat lo mikirnya sampai psikopat segala, Ay,” sanggah Lesti. “Habisnya, sikap dia—“ “Manis ke elo?” potong Lesti. Aku mencebik kesal. “Lo apa gak ngerasa kalau Pak Rendra itu perhatian banget sama lo, Ay? Dia kayak ngelindungi lo banget.” “Kalau ngelindungin gue, napa dia sampai mau perkosa gue, Les?” “Gue yakin dia Cuma nakutin lo doank, Ay. Buktinya, setelah dia tahu lo masih berhubungan dengan si bos, Pak Rendra gak melakukan apa yang dia ancamkan ke elo, kan?” Aku menggeleng. Memang benar apa yang dikatakan Lesti. Namun, hatiku masih tidak bisa menerima semua yang dikatakan sahabatku itu tentang Pak Rendra. “Dan elo tahu kemungkinan kedua yang ada di pikiran gue?” tanyanya. Aku lagi-lagi hanya bisa menggeleng. “Gue gak yakin Pak Rendra yang neror elo pakai boneka itu. Pak Rendra bukan tipe pengecut kayak gitu!” Ekspresi Lesti tampak meyakinkan. “Emang lo kenal Pak Rendra? Sampai tahu dia bukan tipe pengecut?” “Ya elah, Ay! Tiap hari gue liat dia di kantor, sama gue denger dari cerita lo, gak ada ciri kayak gitu di dirinya.” “Terus, siapa menurut lo yang neror gue kalau bukan Pak Rendra?” “Lo emang polos banget atau ....” Lesti tak melanjutkan kalimatnya. “Atau apa? Bego?” tanyaku kesal. Lesti justru tertawa. “Bukan gue yang bilang, ya. Tapi elo sendiri,” celotehnya. “Ish, ya udah deh. Jadi siapa menurut lo?” “Bella. Istrinya Pak Devian,” jawab Lesti dengan raut wajah serius. “Bella?” Astaga! Apa benar Bella yang menerorku? “Tapi, gak ada yang tau hubungan gue sama Devian selain Pak Rendra, Les.” “Who knows? Bella punya banyak uang buat bayar mata-mata.” “Tapi ....” “Kalau lo gak yakin, gue bantu lo selidiki siapa yang neror lo pake boneka itu. Pak Rendra, atau Bella,” ucapnya sambil menggenggam tanganku. Aku mengangguk. Mulai sekarang, aku juga harus lebih berhati-hati lagi dengan Pak Rendra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN