BAB 10: SENJATA MAKAN TUAN

1807 Kata
“But you didn't have to cut me off Make out like it never happened And that we were nothing And I don't even need your love But you treat me like a stranger And that feels so rough You didn't have to stoop so low Have your friends collect your records And then change your number I guess that I don't need that though Now you're just somebody that I used to know.” Irama lagu yang dinyanyikan Gotye feat Kimbra menggema di dalam sedan mewah berwarna abu-abu gelap metalik milik Haven. Pria itu terus ikut bernyanyi mengikuti nada dan lirik setiap lagu yang terputar dari playlistnya. Sepertinya ia sengaja memilih lagu-lagu dengan tema putus cinta untuk menyindir perempuan yang duduk di sampingnya. “Hav,” lirih Ari. Akhirnya ia menyerah dengan sikap dingin Haven yang bahkan tak meliriknya sedari tadi. “HAV!” Haven hanya mendengus. Ari geram, ia mematikan audio system di dalam kendaraan itu, menatap tajam pada Haven. “Sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini padaku, Hav?” “Sampai kamu setuju kita mengakhiri hubungan kita!” “Kenapa? Apa alasannya? Apa salahku?” Haven menepikan kendaraannya, menarik tuas rem, menyalakan lampu hazard. “Kamu menghancurkan hubunganku dengan Della!” Ari tertawa geli, merasa lucu dengan kalimat yang dilontarkan oleh Haven. “Perselingkuhan terjadi antara dua orang, Hav. Kamu dan aku. Kamu sendiri yang mengatakan padaku jika kamu jenuh dengan hubunganmu dan Della. Kamu yang merayuku. Kamu yang meniduri aku. Dan sekarang kamu hanya menyalahkanku?” “I was drunk!” “So what? Toh kesadaranmu ga hilang saat itu. Kamu sadar kamu meniduriku!” Haven mencengkram roda setir erat, urat tangannya sampai bertonjolan sangkin eratnya cengkramannya. “Aku sadar cara kita salah, Hav. Aku sangat tau itu. Tapi soal perasaanku, itu bukan kesalahan. Aku memang mencintaimu. Sangat mencintaimu.” Haven menyandarkan kepalanya di roda setir, memejamkan kedua matanya untuk meredam emosinya. “Bukankah dua tahun terakhir hubungan kita sudah mulai membaik, Hav?” “I’m trying, Ri...” lirih Haven. “I know...” “But I can’t love you!” ujar Haven lagi. "Kamu bisa meniduri aku, tapi kamu ga bisa mencintaiku? Wah, b******n sekali ya." Ari meneteskan air matanya, merasa kalah kembali. Entah kenapa dunia selalu saja mengambil orang-orang yang ia cintai. Ayahnya, Ibunya, kasih sayang Genta, kasih sayang Anindita yang tak sanggup melawan titah suaminya, dan kini ia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa pria yang dicintainya bahkan terang-terangan mengatakan tak bisa mencintainya. “Bukan karena kamu marah melihat Della bersama cowok lain?” Haven kembali diam. Merasa tersudut dengan pertanyaan Ari. “Kamu menjadi kekasihnya selama lima tahun, Ayah dan Ibumu menyayangi Della, dan kini kalian dihadapkan dengan kenyataan bahwa Della sudah memiliki pilihan lain. Itu yang membuatmu marah kan?” Haven tak menjawab, ia mematikan lampu hazard, berganti menyalakan lampu sein ke kanan, menurunkan tuas rem tangan, lalu menekan pedal gas, menjalankan sedan mewahnya kembali. Memorinya menjelajah ke masa lalu, saat dimana ia lebih mendengarkan emosi dibandingkan memperbaiki kualitas hubungannya dengan Della. Setahun terakhir hubungannya dengan Della dulu, Della terlalu sibuk dengan urusan riset dan tesisnya. Nyaris 24/7 ia habiskan di kampus, tempat penelitiannya, wawancara dengan narasumber, studi literasi, hingga penyusunan tesis itu sendiri. Sementara Teo saat itu sedang mengerjakan proyek besar di Perth dan Sydney. Karena kedua proyek memiliki nilai bisnis yang nyaris sama besar, mau tak mau Haven pun harus turun tangan langsung di kedua proyek sebagai tangan kanan sang Ayah, memastikan project timeline tercapai dan segala kendala bisa teratasi. Akibatnya, jangankan bertemu dengan Della, masih bisa membalas pesan singkat kekasihnya itu di hari yang sama saja sudah sangat ia syukuri. Ternyata, nasihat orang tua yang mengatakan bahwa cinta itu harus dipupuk dan dipelihara layaknya tanaman, benar adanya. Della yang tenggelam dalam kesibukan mengejar gelar Magisternya tak lagi merasakan rindu yang menggebu, semua ia redam sesempurna mungkin, mengejar kelulusan agar impiannya untuk bisa segera bekerja dan lebih memikirkan masa depannya dengan Haven bisa ia wujudkan. Sementara Haven yang terlalu lelah dengan rutinitas dan tumpukan pekerjaan tak lagi merasa perlu menjaga intensitas komunikasi dengan Della. Telpon Della seringkali diacuhkan, pesan singkat sang kekasih tak lagi segera dibalas bahkan terlupakan begitu saja, menganggap jika Della pasti bisa mengerti dengan keadaannya. Hingga saat penandatanganan MOU di Sydney, yang kala itu Haven mengajak Della, mereka bertemu dengan Ari yang menemani Genta menghandiri cocktail party di malam harinya. Entah apa yang merasuki Haven, ia sampai ternganga kala melihat Ari. Ari dengan sexy bodycon dress berwarna hitam mengalahkan pesona Della yang mengenakan pencil dress dan terlihat jauh lebih sopan juga tertutup. Della sangat sadar ada yang tak beres malam itu, Haven yang biasanya menjaga pandangan entah mengapa bisa menjadi setransparan itu, tak bisa menutupi kekagumannya pada Ari. Bukan sekali dua kali Della berusaha memperbaiki hubungan mereka, memaklumi cara Haven memandang Ari, bahkan menjadi ‘orang lain’ agar Haven kembali merasakan bara gairah kala bersamanya. Cukup banyak hal yang membuat Della tak nyaman tetapi ia paksa lakukan agar Haven kembali memujanya. Bahkan mengganti koleksi midi skirtnya dengan mini skirt agar terlihat lebih seksi pun Della rela. Haven tak tau saja berapa kali Della menarik-narik tepi bawah roknya karena tak nyaman berbusana seperti itu. Semuanya, demi Haven. Sayangnya, bukannya hubungan mereka semakin membaik, justru perasaan menjauh yang mendatangi relung asa Della. Haven semakin asing baginya. Bahkan kala mereka bercinta, Haven laksana tak bercinta dengannya, melainkan bercinta dengan seseorang yang ia simpan di benaknya. Hancur! Hubungan mereka hancur perlahan. Saat itu Della tak tau, jika Haven sudah mulai mencuri-curi waktu bertukar gairah dengan Ari. Haven berkhianat di belakang Della. “Kita sampai,” ujar Haven saat mobil yang dikendarainya tiba di sebuah hotel berbintang lima. Pagi tadi Teo menandatangi MOU dengan sebuah perusahaan makanan terbesar di Indonesia, dan malam hari ini sebuah pesta bisnis digelar untuk merayakan kerjasama dengan nilai proyek yang tidak sedikit itu. Ya, kerjasama bisnis antara Patch Nourish Corp dengan PT. Natha Food, Tbk dimana saham mayoritas dimiliki oleh keluarga Natha, Kakek Della. “Hav... enam bulan lagi kita akan melangsungkan pertunangan. Apa kamu lebih memilih menghancurkan segalanya?” tanya Ari, sendu. “Menghancurkan segalanya? Kamu pikir Ayahku menjalin kerjasama dengan Natha Food karena dirimu? Besar kepala sekali!” “Hav....” “Aku ga bisa melanjutkan ini, Ri. Kumohon.” “Bilang sama aku alasannnya. Kasih aku alasan yang jelas, Hav. Apa kekuranganku? Apa yang membuatmu justru berbalik mencintai Della padahal sebegitu bergairahnya kamu saat status kita masih berselingkuh. Apa salahku Hav?” Haven kembali terdiam. Ia tak tau jawaban dari pertanyaan Ari. Yang ia tahu, ia baru menyadari jika ia sungguh-sungguh mencintai Della setelah hubungan mereka berakhir. Oh bukan, mungkin lebih tepatnya ketika Haven menyadari Dellalah yang membuatnya merasa sempurna, menyempurnakan dirinya selama ini. Della yang selalu bisa menyeimbangkan ide-idenya, menyelaraskan cara berpikirnya, mengerti keinginan Haven, mengisi setiap hole plot dari setiap rencana yang Haven susun, bahkan meredam ambisi Haven yang terkadang terlalu terburu-buru kala menginginkan sesuatu. Della yang mengisi setiap titik ketidaksempuranaanya. Dan bodohnya, Haven terlambat menyadari itu semua. “Hav...” “I just feel... incomplete!” *** Haven menyapukan pandangannya saat memasuki ballroom hotel berbintang lima yang ia datangi malam itu, sementara Ari melingkarkan tangannya di siku Haven, berjalan beriringan dengan pria yang masih berstatus kekasihnya. Mereka memang sedikit terlambat karena Haven harus memenuhi temu janji dengan seorang dokter berhubung symptoms alerginya yang belakangan sering muncul kembali. “Itu mereka, sayang,” ujar Ari. Haven menolehkan tatapannya, memandang satu arah dengan arah pandang Ari. Di ujung sana, Teo melambaikan tangan. Haven dan Ari kembali melangkah, menuju sebuah meja yang diduduki Teo dan para petinggi PT. Natha Food, Tbk. Tiba di meja itu, keduanya menyalami para kolega bisnis mereka satu per satu. Haven membiarkan Ari berbaur dengan wanita-wanita lainnya di sana. Saat giliran Haven menyapa Lingga, yang sedang bercakap dengan seorang pemuda yang membelakangi Haven, kegugupan begitu saja menyergapnya. Haven menarik napas dalam sebelum mengeluarkan suara basnya. “Om Lingga?” Lingga mengalihkan pandangan, melewati bahu pemuda di hadapannya, menantang kedua netra Haven. Tak ada keramahan di sana. “Oh, Haven.” Haven baru saja menaikkan kedua sudut bibirnya kala sang pemuda yang memisahkan ia dan Lingga berbalik. Haven terkesiap, langkahnya terhenti sempurna. Sementara pemuda itu terlihat tak terganggu sama sekali. “Hi, Hav!” sapa Fadell, ramah. Haven mendengus, mengikis langkah, mengulurkan tangan pada Lingga terlebih dulu. “Apa kabar, Om?” “Baik,” jawab Lingga singkat. “Kalian sudah saling kenal?” kali ini Lingga yang bertanya. Haven tak menjawab, sebuah ide buruk muncul di pikirannya. Ia tahu tak seharusnya ia menanyakan ini, tetapi mungkin hanya dengan cara inilah Haven akan mendapatkan kebenaran dari sebuah pertanyaan yang terus saja menghantui sejak pertemuannya dengan Della dan Fadell beberapa waktu lalu. Haven mengulurkan tangannya pada Fadell, dan Fadell menyambutnya dengan cengkraman yang bersahabat. “Apa kabar Pak Fadell?” “Tentu saja baik Pak Haven. Bagaimana kabar Anda?” “Saya? Baik, tentu saja.” Haven menguraikan genggaman mereka, menarik napas sejenak sebelum menjabarkan pertanyaannya. “Saya pikir Anda akan membawa puteri Anda dan Della?” Senyum di wajah Fadell seketika menghilang, berubah datar. Jauh di dalam dadanya, ia berusaha berdamai dengan geramnya, mencegah diri agar tak memberi pria di hadapannya teguran keras karena tak bisa menahan diri dari mencampuri urusan pribadi dan perihal bisnis. “Apa? Della?” tanya Lingga. “Iya, Om. Della,” jawab Haven tanpa dosa. “Della siapa?” “Danita Della Natha tentu saja. Puteri Om,” jawab Haven lagi. Fadell terkesiap, manik matanya membesar kala mendapati kenyataan bahwa perempuan yang menjadikannya kekasih pura-pura untuk semalam adalah salah seorang puteri keluarga Natha. Fadell mengalihkan pandangannya, menatap Lingga yang sudah menatapnya lebih dahulu menuntut penjelasan. “Oh maaf, Pak. Saya tidak tau jika Anda adalah Ayah dari Della.” “Dan kamu mengencani puteriku?” Fadell terdiam sesaat, menimbang apa yang harus dikatakannya. “Saya rasa, jauh lebih baik jika Della yang menjawab pertanyaan Anda, Pak.” “Karena Anda hanya pasangan pura-puranya?” sindir Haven. Lingga tak terpengaruh. Kedua manik matanya masih menatap Fadell tajam. “Ada yang bilang pada saya, seorang perempuan luar biasa akan menyempurnakan pasangannya. Kehilangan perempuan seperti itu akan sangat menyakitkan,” Fadell menyindir Haven telak. “Saya tidak ingin merusak kepercayaan Della, ataupun merusak hubungan kami dengan menjawab pertanyaan Anda barusan Pak. Setidaknya saya harus menjaga hubungan kami. Della pasti punya alasan mengapa ia belum menceritakan tentang saya pada Anda kan Pak?” lanjut Fadell lagi. Lingga mencoba mencerna ucapan Fadell. Tak sekalipun ia mengalihkan pandangannya. Setelah beberapa waktu, Ayah Della itu tersenyum. “Mungkin Della ragu karena ga tau gimana caranya bilang ke Om kalau kekasihnya adalah seorang duda beranak satu,” ujar Haven lagi, dingin. Kali ini, pandangan Lingga beralih pada Haven yang masih lekat menatap Fadell dengan kebencian. “Well, berarti kita hanya perlu memikirkan mana yang lebih baik antara seorang duda beranak satu dan seorang pengkhianat!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN