Hari ini adalah kali pertama Della mendatangi rumah Fadell, memberi terapi pada Kimi, walaupun bukan terapi pertama karena terapi perdana sudah dilakukan beberapa hari lalu di klinik Della. Sayangnya, di sesi terapi pertama Della tak bertemu Fadell, mungkin akan begitu pula hari ini.
“Minum dulu Miss Della?” pinta Batari, Ibu Fadell, pada Della.
Della mengangguk seraya tersenyum, melangkah mendekat ke ruang tamu dan duduk bersama Kimi yang masih menempel padanya.
“Terima kasih Bu,” ujar Della sopan.
“Miss Della rumahnya jauh?”
“Ngga juga, Bu. Saya tinggal di Taman Rasuna.”
“Oh, lumayan juga ya Miss ke tempat terapi.”
“Iya, Bu. Dinikmati saja.”
“Betul. Memang harus begitu supaya tidak jadi beban.”
“Iya, Bu.”
Della menyesap minuman hangat yang disuguhkan Batari, Kimi yang memperhatikan menirukan Della dengan cangkir mungil miliknya.
“Kimi anak pintar,” puji Della seraya mengusap lembut surai gadis kecil itu.
Batari tersenyum haru, betapa ia berharap ada seorang perempuan yang bisa mengisi hati puteranya sekaligus mencintai cucunya. Bukan perempuan-perempuan tak jelas seperti yang sudah beberapa kali puteranya bawa ke kediaman mereka.
“Bagaimana terapi Kimi hari ini Miss?”
“Hari ini Kimi belajar pemahaman ungkapan ya Uti. Mau, sudah dan lagi. Masih lumayan dibantu. Tapi tadi menjelang selesai, saya bilang; Miss Della mau minum dulu, Kimi mau? Dan akhirnya Kimi jawab lantang; mau!
“Untuk instruksi tunggal, Kimi sudah paham. Tetapi begitu masuk ke instruksi bertingkat sederhana, masih harus dibantu. Contohnya saat saya bilang lari, Kimi langsung lari, begitupun saat saya minta lompat, Kimi langsung melompat. Tetapi saat saya minta lari lalu lompat, Kimi hanya melompat-lompat.”
“Ooo... oke Miss,” gumam Batari.
“Tapi untuk instruksi tunggal yang Kimi pahami sekarang dibandingkan saat pertemuan sebelumnya, berkembang kok Uti.”
“Alhamdulillah. Baik, Miss.”
“Untuk melabeli nama benda dan warna juga masih dibantu jika labelnya sudah lebih dari satu. Misalnya saya minta lingkaran kuning, Kimi hanya mengambil apapun yang berwarna kuning atau apapun yang bentuknya lingkaran.”
“Seharusnya sudah paham ya Miss untuk anak seumur Kimi?”
“Sekalipun mungkin belum konsisten, tapi iya Uti. Biasanya mereka sudah paham.”
Batari mendengus. Pilu.
“Semangat Uti. InshaaAllah Kimi bisa ngejar. Progressnya cukup baik kok selama empat jam pertemuan di minggu ini.”
“Iya Miss,” lirih Batari, sengau.
Della mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Batari lembut, menyalurkan kekuatan pada perempuan yang sudah memasuki usia senja itu.
“Kasihan Kimi, Miss....”
“Iya Uti. Tapi kita harus semangat, supaya Kimi ga merasa dirinya berbeda. Anak-anak seumur Kimi masih pesat perkembangannya, jadi masih sangat mungkin untuk mengejar ketinggalan.”
“Baik. Ada yang perlu dilakukan lebih intens ga Miss?”
“Untuk home treatment bisa dengan mengulang konsep; mau, sudah, dan lagi. Juga konsep apa dan siapa. Misalnya, siapa yang sedang duduk? Siapa yang sedang makan? Apa yang Kimi minum? Dan lain sebagainya. Lalu, bisa dengan meningkatkan aktifitas luar ruangan. Kalau Uti suka bercocok tanam, boleh Kimi diikutkan, sambil dikasih tau ke Kimi juga. Learning by doing. Misalnya ini akar, ini daun, ini bunga. Hal-hal sederhana seperti itu.”
“Baik Miss.”
Della tersenyum hangat. Ia lalu kembali mengusap lembut surai Kimi. Kimi mengulurkan kedua tangannya, meminta Della memeluknya. Tentu saja Della tak mungkin menolak permintaan bidadari mungil itu.
“Miss Della pulang dulu ya sayang?”
Kimi menggeleng. Kedua sudut bibirnya tertarik ke bawah.
Della tersenyum hangat, memastikan kontak mata mereka lekat sempurna.
“Kita main sama-sama lagi hari Sabtu. Miss Della tunggu Kimi di Wonderland. Oke?”
“Oke.”
Batari terdiam, haru mendengar suara Kimi mengucapkan satu kata sederhana.
“Kimi pintar sekali. Mau antar Miss Della ke pintu?”
“Oke.”
Kini, Batari tertawa haru.
“Saya pulang dulu, Uti.”
“Baik Miss. Terima kasih sekali Miss Della.”
Della mengangguk, lalu berdiri dari posisi duduknya seraya menggandeng tangan kiri Kimi.
“Taksinya sudah ada Miss?” tanya Batari begitu mereka menginjakkan kaki di halaman muka kediaman Fadell.
“Sudah, Uti. Nunggu di depan.”
“Hati-hati, Miss.”
“Iya, terima kasih, Uti.”
“Sampai ketemu hari Sabtu ya Kimi,” ujar Della lagi.
“Bye-bye!” ujar Kimi dengan suara anak kecilnya yang menggemaskan.
“Bye, sayang,” balas Della hangat.
***
Fadell baru saja kembali dari mencari nafkah. Ia duduk berhadapan dengan Batari di ruang makan mereka, menyesap perlahan secangkir teh jahe hangat yang dibuatkan khusus oleh sang Ibu.
"Tadi gimana terapinya Kimi, Ma?" tanya Fadell pada Batari seraya menyuap makan malamnya.
Sudah dua minggu ini Fadell disibukkan dengan segala urusan bisnisnya. Fadell memiliki perusahaan pribadi yang belum lama berdiri, bergerak di bidang food and beverage. Perusahaan itu menaungi satu merek yang tadinya hanya menjual minuman-minuman kekinian yang cukup viral belakangan. Tak ada yang menduga jika racikan Fadell disukai banyak konsumennya, hingga dari satu gerai, kini gerainya sudah menyebar nyaris di setiap kota besar di Indonesia.
Karena pesatnya perkembangan usahanya, perusahaan Fadell bahkan dinobatkan sebagai salah satu perusahaan start up unicorn di Indonesia. Hal ini juga yang menyebabkan beberapa investor ternama menggelontorkan dana besar untuk ikut membangun usaha Fadell agar semakin dikenal dunia. Konsekuensinya? Tentu saja ia tenggelam dalam berbagai proyek pengembangan usaha. Dan karena kesibukannya itu, Fadell nyaris melewatkan pillow talk time-nya dan sang buah hati setiap malam. Seperti malam ini, Kimi sudah tertidur sebelum Fadell tiba. Tetapi memang malam ini Kimi tidur lebih cepat, mungkin letih karena hari ini adalah hari pertamanya menjalani terapi selama dua jam penuh.
"Terapisnya cantik lho Dell," jawab Batari.
"Fadell nanya tadi terapinya Kimi gimana Mama?"
"Lancar. Bagus kok. Itu tadi yang disampaikan sama Miss Della sudah Mama rekam. Rangkuman penilaian terapinya juga sudah Mama taruh di atas meja di kamarmu."
"Oh? Miss Della?"
"Iya."
"Fadell pikir terapis yang lain yang akan datang."
"Memang kenapa?"
"Di tempat terapinya Kimi hanya ada dua psikolog, Ma. Psikolog yang satu lagi, kalau ga salah baru gabung seminggu belakangan. Biasanya mereka stand by. Ga nyangka aja Della sendiri yang datang."
"Fadell dan Della, cocok kan Dell?" ujar Batari lagi, menggoda puteranya.
"Mama, jangan mulai deh!"
"Lho kan Mama cuma bilang cocok. Nama kalian."
"Hmm..."
Batari mendengus, berusaha bersabar dengan sikap dingin Fadell setiap kali ia membahas permasalahan wanita dalam hidup putranya.
"Lagi pula ini sudah mau tiga tahun, Nak," lirih Batari lagi.
"Tapi rasanya masih seperti baru kemarin, Ma," rajuk Fadell.
Batari mendengus lagi. Perempuan itu lekat menatap wajah anak tunggalnya. Ia sangat tau jika Fadell lelah membicarakan persoalan Ibu sambung untuk Kimi. Puteranya yang tak siap. Kehilangan sang istri melukainya terlalu dalam.
"Ya sudah, habiskan makan malammu. Habis itu mandi. Jangan jorok malas mandi!"
"Iya, Ma."
“Fadell....”
“Apa lagi Ma?”
“Setidaknya, jangan berhubungan dengan sembarang wanita. Mama paham kebutuhanmu, tapi hal itu pun tak bisa membenarkan apa yang kamu lakukan selama ini, nak.”
“Fadell ga berhubungan sama sembarang wanita, Ma. Fadell hanya berhubungan sama cewek Fadell, pacar Fadell. Dan aman!”
“Aman gundulmu! Jangan takabur kamu! Lagi pula kamu ga pernah mencintai mereka kan? Lantas untuk apa kamu pacaran dengan mereka, nak?”
Fadell mendengus.
‘Masa ketauan juga sih?’
“Sudahlah, percuma bicara denganmu! Mandi sana!” omel Batari lagi. Fadell hanya terdiam, tak berani membantah sang Ibu. Siapa yang tak ingin melabuhkan hati kembali? Sendiri menghadapi dunia dengan seorang anak bukanlah cita-cita dalam hidupnya. Sakit, pedih, dan menyedihkan secara bersamaan.
Usai membersihkan diri, Fadell duduk di sisi ranjangnya, meraih sebuah buku yang bertuliskan nama tempat puteri kecilnya melakukan terapi. Ia membaca daily report terapi private hari pertama yang Kimi lakukan tadi.
Evaluasi:
Label warna dan bentuk: bantu sedang.
Lempar tangkap bola: bantu sedang.
Lompat maju dua kaki: bantu sedang
Meronce: bantu sedang
Instruksi dua tahap, contoh ambil segitiga kuning: bantu sedang.
Instruksi dua tahap, lari lalu lompati tali: bantu sedang.
Tanya jawab sederhana: bantu sedang
Menamai benda-benda: bantu sedang, bahasa campur
Instruksi mengungkapkan: mau, sudah, lagi; bantu sedang.
Program di Rumah:
Peningkatan pemahaman
Aktifitas outdoor
Mengulang konsep apa dan siapa.
Setelah memahami penilaian yang dituliskan Della, Fadell meraih earphone-nya, menonton video terapi Kimi tadi. Berkali-kali Fadell tersenyum, ia sangat menyukai cara Della berkomunikasi dengan Kimi. Tak ada keterpaksaan, tak ada asas kepentingan, jelas terlihat Della tulus menjalankan perannya sebagai seorang terapis sekaligus teman bagi Kimi.
‘Wajar kan? Secara Della itu psikolog.’
Usai menonton video, pandangan Fadell teralihkan. Ia menatap fotonya dan sang istri, Arini, yang kala itu mengandung Kimi. Fadell sangat merindukannya. Tak pernah terbayang olehnya kehilangan Arini saat sang istri bertaruh nyawa melahirkan puteri mereka. Langit seakan runtuh, dunia seolah bergoyang, bahkan Fadell berharap jika kiamat datang saja saat itu.
Karena putus asanya, ia bahkan sampai membawa Kimi yang belum genap satu bulan ke rumah orang tua Arini. Memohon pada keduanya agar mereka mau merawat bayi yang bahkan belum bisa melihat dengan jelas itu. Menatap Kimi membuatnya sesak. Mungkin sudah ribuan kali ia mengatakan pada dirinya jika kepergian Arini bukanlah kesalahan Kimi, menjaga kewarasannya. Saat itu, Fadell merasa tak sanggup jika harus hidup bersama sang bayi. Keberadaan Kimi seolah memberi asam di atas lukanya. Entah apakah ia harus bersyukur atau menyesali. Dan saat itu, sang mertua jelas-jelas telak menolak keinginannya.
"Kalau Ibu ambil Kimi, lantas kamu mau apa? Bunuh diri?"
"Fadell ga sanggup Bu...."
"Sanggup! Karena kamu sanggup Kimi hidup. Rawat Kimi. Dia akan menjagamu dari berbuat konyol."
"Fadell mohon Bu...."
"Ngga Fadell! Kalau perlu Ibu, Bapak dan adik-adikmu di rumah ini tak akan lagi melihat kalian. Apapun akan Ibu lakukan supaya kamu ingat kamu memiliki Kimi. Kimi tak berdosa Fadell! Kamu pikir Arini tak murka melihat sikapmu ini?"
Fadell kembali meneteskan air matanya, mengingat Arini terus saja membuatnya kembali merasakan perih. Sungguh, kepergian Arini menghancurkan hati kecilnya.
"Mas rindu, Dek...."